EKOSISTEM
HUTAN
Latar
Belakang
Makhluk hidup dalam perkembangan dan
pertumbuhannya tidak dapat hidup sendiri, selalu memerlukan makhluk lainnya
dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Antara makhluk yang satu dengan makhluk
yang lain selalu berhubungan dan mengadakan kontak yang saling menguntungkan.
Tetapi ada juga sebagian kecil mahkluk hidup yang selalu merugikan makhluk
lain, biasanya makhluk ini disebut dengan parasit.
Ekologi adalah kajian mengenai
interaksi timbal-balik jasad individu, di antara dan di dalam populasi spesies
yang sama, atau di antara komunitas populasi yag berbeda-beda dan berbagai
faktor non hidup (abiotik) yang banyak jumlahnya yang merupakan lingkungan yang
efektif tempat hidup jasad, populasi atau komunitas itu. Lingkungan efektif itu
mencakup kesemberautan pada interaksi antara jasad hidup itu sendiri. Kaji
ekologi itu memungkinkan kita memahami komunitas itu secara keseluruhan. Guna
memastikan kenyataan ini, perlu kiranya diadakan berbagai percobaan di lapangan,
di laboratorium atau di kedua lingkungan itu sekaligus (Ewusie, 1990).
Adapun ekologi sendiri mencakup
suatu keterkaitan antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi, sepeti tumbuhan dan sinar matahari, tanah dengan air, yang pada umumnya
dikatakan sebagai hukum alam yang berimbang dan biasa disebut ekosisitem.
Komponen-komponen dalam ekosistem telah dikelolah oleh alam dan mereka saling
berinteraksi. Ada komponen yang bersifat netral, bekerjasama, menyesuaikan
diri, bertentangan bahkan saling menguasai. Akan tetapi pada akhirnya antara
kekuatan-kekuatan tersebut terjadi keseimbangan (Arief, 1994).
Untuk mengetahui keterkaitan atau
interaksi antara komponen abiotik dengan biotik serta hubungan antara kedua
komponen tersebut maka percobaan ini layak dilakukan, karena untuk mengetahui
hubungan antara kedua komponen tersebut butuh suatu pengamatan di lapangan.
Dalam pengamatan yang dilakukan, ekosisitem yang diamati itu ada dua tempat
yaitu padang rumput dan hutan. Dari kedua ekosistem ini akan dihasilkan
data-data mengenai jenis-jenis spesies yang ada pada kedua ekosisitem dan dari
data yang ada dapat diketahui perbedaan spesies, keanekaragaman spesies, jumlah
spesies, peranan dari masing-masing spesies yang nantinya berkaitan dengan jaring-jaring
makanan atau food web yang ada pada ekosistem itu serta dari data yang ada
dapat dibuat piramida jumlah spesiesnya berdasarkan peranannya masing-masing.
Jika semua komponen tersebut sudah di dapat atau diketahui maka dapat diketahui
perbedaan dari kedua ekosistem tersebut, dan mengapa hal itu terjadi serta apa
penyebabnya. Hal ini nantinya dikaitkan dengan keadaan dari masing-masing
ekosistem yang diamati.
Satu ciri mendasar pada ekosistem
adalah bahwa ekosistem itu bukahlah suatu sistem yang tertutup, tetapi terbuka
dan daripadanya energi dan zat terus-menerus keluar dan digantikan agar sistem
itu terus berjalan. Sejauh yang berkenaan dengan struktur, ekosistem secara
khas mempunyai tiga komponen biologi, yaitu; produsen (jasad autotrof) atau tumbuhan
hijau yang mampu menambat energi cahaya; hewan (jasad heterotrof) atau kosumen
makro yang menggunakan bahan organik; dan pengurai, yang terdiri dari jasad
renik yang menguraikan bahan organik dan membebaskan zat hara terlarut (Ewusie,
1990).
Pembahasan
Setelah diadakannya
pengamatan pada kedua ekosistem yaitu padang rumput dan hutan ternyata
organisme-organisme yang mendiami ekosistem, baik ekosistem padang rumput
ataupun ekosistem hutan pada umumnya sama pada setiap sub petak yang diamati
dan diukur, dimana tanaman antar sub plot pada padang rumput sama, jika pada
sub plot satu terdapat rumput kawat maka pada pada sub plot lain juga terdapat
spesies yang sama, begitu halnya dengan ekosistem hutan. Komponen–komponen
pembentuk ekosistem dari masing-masing ekosistem itu berbeda-beda, hal ini
ditunjukkan dengan jenis-jenis organisme dan komponen abiotik dari kedua
ekosistem tersebut yang juga berbeda, dimana suhu pada kedua tempat tersebut
masing-masing untuk hutan sebesar 31 oC sedangkan pada padang rumput sebesar 34
oC. perbedaan iklim ini disebabkan karena hutan seperti yang diketahui dapat
menciptakan iklim mikro sedangkan pada padang rumput cahaya matahari langsung
menyinari areal sehingga suhunya lebih tinggi daripada hutan.
Padang rumput adalah salah
satu jenis ekosistem yang memiliki stratifikasi yang sederhana yaitu hanya
terdiri dari satu strata, tetapi walaupun demikian padang rumput ini memiliki
keragaman spesies yang tinggi.
Pada padang rumput spesies yang paling banyak ditemui adalah jenis jotang
(Spilanthes iabadicensis) dan rumput-rumputan yang salah satunya adalah famili
Cyperaceae, sedangkan hewan yang paling banyak adalah semut dan pacat.
Komponen-komponen yang terdapat pada ekosistem ini adalah produsen yang
jenisnya dapat dilihat pada hasil, konsumen tingkat I yaitu kupu-kupu, capung,
belalang ; konsumen tingkat II yaitu semut, pacat, keong ; konsumen tingkat
tiga katak. Dari piramida jumlah dan food web, dapat dilihat secara langsung hubungan
dari masing-masing individu dan bagaimana perpindahan energi yang terjadi.
Pada ekosistem ini jumlah yang
paling banyak ditemui adalah jenis jotang (Spilanthes iabadicensis), hal ini
karena karakteristik dari jotang itu sendiri memungkinkan untuk dapat bertahan
hidup di daerah tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Maradjo (1987) bahwa
jotang tumbuhnya di daerah yang banyak mengandung air, tumbuh di daerah dataran
rendah sampai pegunungan pada ketinggian 1000 mdpl. Tumbuhan jotang
berkambangbiak dengan biji, biji tumbuhan ini ringan sehingga dapat di bawa
terbang oleh angin kemana-mana. Bila biji tersebut jatuh ke tanah maka
tumbuhnya biji menjadi tumbuhan baru tinggal menunggu waktu saja. Biasanya
tumbuhan ini menyukai tempat yang lembab, seperti pematang sawah. Di tempat
inilah jotang tumbuh serta berkembang dengan cepat. Pada kawasan pengamatan
yang dilaksanakan memang benar bahwa tempat itu mengandung banyak air sehingga
hal itu mendukung hidupnya tanaman jotang ini disitu serta hal lain yang mendukungnya
adalah kelembaban dari kawasan itu yang juga agak lembab karena kandungan air
yang agak banyak.
Untuk hewan, pada ekosistem ini yang
paling banyak adalah semut, sebagaimana yang telah diketahui bahwa semut itu
dapat hidup dimana saja tanpa memandang tempat, seperti di hutan, rawa,
pegunungan, hewan ini juga dapat ditemui, dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa semut juga merupakan hewan yang mempunyai toleransi tinggi terhadap
lingkungan tempat tinggalnya.
Komponen-komponen
ekosistem yang ada pada hutan ini adalah mulai dari tingkat produsen yaitu
semua jenis tanaman heterotrof yang ada, tingkat konsumen I yaitu belalang,
kupu-kupu, ulat dan capung. Konsumen II terdiri dari semut, nyamuk dan pacat.
Dari tabel hasil yang sudah ada dapat dilihat jenis spesies yang ada pada ekosistem ini, dimana jenis tumbuhannya sangat beranekaragam dari tingkat stratum yaitu mulai dari strata A sampai dengan strata tumbuhan bawah tanah seperti perdu atau semak. Dari sini dapat dilihat bahwa persaingan yang terjadi pada ekosistem ini sangat tinggi terutama dalam memperoleh sinar matahari, karena jumlah produsen pada ekosistem ini sangat banyak dan masing-masing pasti membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Michael (1995) bahwa bilamana sejumlah organisme bergantung pada sumber yang sama, persaingan akan terjadi. Persaingan demikian dapat terjadi antara anggota-anggota spesies yang berbeda (persaingan interspesifik) atau antara organisme yang sama (persaingan intraspesifik). Persaingan dapat terjadi dalam makanan atau ruang. Persaingan interspesifik yang dapat terjadi pada ekosistem ini dapat dilihat dari food web yang terjadi yaitu antara nyamuk dengan pacat, dimana mereka sama-sama bersaing dalam memakan dengan kata lain menghisap darah manusia. Sedangkan untuk yang intraspesifik yaitu antara produsen itu sendiri dalam memperoleh sinar matahari, antara hewan yang satu dengan hewan yang lain dalam satu jenis seperti belalang dengan belalang dalam memperoleh tanaman muda yang dapat untuk dimakan.
Hewan yang paling banyak ditemui pada tempat ini adalah semut, hal ini dikarenakan sifat dari semut itu sendiri yang dapat hidup dimana saja.
Dari tabel hasil yang sudah ada dapat dilihat jenis spesies yang ada pada ekosistem ini, dimana jenis tumbuhannya sangat beranekaragam dari tingkat stratum yaitu mulai dari strata A sampai dengan strata tumbuhan bawah tanah seperti perdu atau semak. Dari sini dapat dilihat bahwa persaingan yang terjadi pada ekosistem ini sangat tinggi terutama dalam memperoleh sinar matahari, karena jumlah produsen pada ekosistem ini sangat banyak dan masing-masing pasti membutuhkan intensitas cahaya yang berbeda sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Michael (1995) bahwa bilamana sejumlah organisme bergantung pada sumber yang sama, persaingan akan terjadi. Persaingan demikian dapat terjadi antara anggota-anggota spesies yang berbeda (persaingan interspesifik) atau antara organisme yang sama (persaingan intraspesifik). Persaingan dapat terjadi dalam makanan atau ruang. Persaingan interspesifik yang dapat terjadi pada ekosistem ini dapat dilihat dari food web yang terjadi yaitu antara nyamuk dengan pacat, dimana mereka sama-sama bersaing dalam memakan dengan kata lain menghisap darah manusia. Sedangkan untuk yang intraspesifik yaitu antara produsen itu sendiri dalam memperoleh sinar matahari, antara hewan yang satu dengan hewan yang lain dalam satu jenis seperti belalang dengan belalang dalam memperoleh tanaman muda yang dapat untuk dimakan.
Hewan yang paling banyak ditemui pada tempat ini adalah semut, hal ini dikarenakan sifat dari semut itu sendiri yang dapat hidup dimana saja.
Perbandingan antara
ekosistem hutan dan ekosistem padang rumput
Dari data yang telah diperoleh maka keanekaragaman jenis pada kedua ekosistem dapat dilihat perbedaannya dari jumlah spesies masing-masing, ekosistem hutan adalah yang paling beranekaragam jenisnya hutan, dimana pada ekosistem hutan jenis spesiesnya ada 20 jenis sedangkan pada padang rumput jenis spesiesnya ada 16 jenis. Hal ini berlawanan dengan pendapat Reso (1989) yang mengatakan bahwa meskipun padang rumput ini hanya ada satu stratum, tetapi keanekaragaman jenis mungkin tinggi jika dibandingkan dengan kebanyakan hutan. Perbedaan pendapat ini mungkin terjadi karena praktikum yang dilakukan itu menggunakan lahan yang kurang representatif atau kurang mewakili. Jika lahan yang diamati tersebut representatif maka benarlah apa yang dikatakan oleh Reso (1992) tersebut.
Keragaman jenis ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dari komunitas atau individu yang ada di dalamnya serta dapat menjadi pembeda antara ekosistem yang satu dengan yang lainnya. Menurut Michael (1995) bahwa keragaman spesies dapat diambil untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubugan ini dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keragaman. Jumlah spesies di dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil.
Jika dilihat dari jenis maka banyak terdapat perbedaan antara jenis spesies yang ada pada padang rumput dengan hutan, diantaranya pada pengamatan di hutan tidak terdapat satupun rumput teki sedangkan pada padang rumput spesies ini adalah salah satu jenis yang paling dominan ditemui, hal ini disebabkan karena karakteristik dari rumput teki itu sendiri adalah tidak tahan akan naungan atau termasuk jenis tanaman yang intoleran. Sehingga rumput ini tidak dapat hidup di hutan karena pada hutan penutupan kanopinya sangat rapat sehingga cahaya matahari tidak dapat langsung mengenai lapisan bawah. Sedangkan pada padang rumput matahari dapat secara langsung sampai pada lapisan yang paling bawah sehingga rumput teki dapat hidup dan berkembangbiak dengan cepat serta hal lain yang mendukung perkembang biakannya ini menurut Maradjo (1987) adalah karena sifatnya yang liar itu, tumbuhan teki dapat tumbuh serta teki dapat tumbuh baik disegala macam tanah, ia tidak memilih tanah baik di daerah dataran rendah maupun di daerah dataran tinggi atau pegunungan sampai ketinggian 1000 mdpl.
Pada hutan jenis spesies yang paling banyak tumbuh adalah tanaman suplir hal ini disebabkan karena menurut Maradjo (1987) bahwa daerah penyebaran meliputi daerah yang beriklim tropis dan mempunyai curah hujan yang cukup pada ketinggian 30 – 2800 mdpl. Merupakan jenis tanaman liar yang hidup menahun. Tempat tumbuhnya meliputi daerah-daerah di dalam hutan, di dalam jurang atau di tepi tebing, di pinggir-pinggir kali atau sungai, seringkali membentuk suatu hutan yang rapat, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan yang banyak. Dengan melihat ciri-ciri dari suplir ini dapat dikatakan bahwa suplir hidup pada daerah yang kelembabannya tinggi atau membutuhkan naungan seperti didalam hutan, sehingga hal ini menyebabkan tanaman ini tidak dapat hidup pada daerah padang rumput yang penuh dengan cahaya matahari.
Dari data yang telah diperoleh maka keanekaragaman jenis pada kedua ekosistem dapat dilihat perbedaannya dari jumlah spesies masing-masing, ekosistem hutan adalah yang paling beranekaragam jenisnya hutan, dimana pada ekosistem hutan jenis spesiesnya ada 20 jenis sedangkan pada padang rumput jenis spesiesnya ada 16 jenis. Hal ini berlawanan dengan pendapat Reso (1989) yang mengatakan bahwa meskipun padang rumput ini hanya ada satu stratum, tetapi keanekaragaman jenis mungkin tinggi jika dibandingkan dengan kebanyakan hutan. Perbedaan pendapat ini mungkin terjadi karena praktikum yang dilakukan itu menggunakan lahan yang kurang representatif atau kurang mewakili. Jika lahan yang diamati tersebut representatif maka benarlah apa yang dikatakan oleh Reso (1992) tersebut.
Keragaman jenis ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dari komunitas atau individu yang ada di dalamnya serta dapat menjadi pembeda antara ekosistem yang satu dengan yang lainnya. Menurut Michael (1995) bahwa keragaman spesies dapat diambil untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Hubugan ini dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keragaman. Jumlah spesies di dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil.
Jika dilihat dari jenis maka banyak terdapat perbedaan antara jenis spesies yang ada pada padang rumput dengan hutan, diantaranya pada pengamatan di hutan tidak terdapat satupun rumput teki sedangkan pada padang rumput spesies ini adalah salah satu jenis yang paling dominan ditemui, hal ini disebabkan karena karakteristik dari rumput teki itu sendiri adalah tidak tahan akan naungan atau termasuk jenis tanaman yang intoleran. Sehingga rumput ini tidak dapat hidup di hutan karena pada hutan penutupan kanopinya sangat rapat sehingga cahaya matahari tidak dapat langsung mengenai lapisan bawah. Sedangkan pada padang rumput matahari dapat secara langsung sampai pada lapisan yang paling bawah sehingga rumput teki dapat hidup dan berkembangbiak dengan cepat serta hal lain yang mendukung perkembang biakannya ini menurut Maradjo (1987) adalah karena sifatnya yang liar itu, tumbuhan teki dapat tumbuh serta teki dapat tumbuh baik disegala macam tanah, ia tidak memilih tanah baik di daerah dataran rendah maupun di daerah dataran tinggi atau pegunungan sampai ketinggian 1000 mdpl.
Pada hutan jenis spesies yang paling banyak tumbuh adalah tanaman suplir hal ini disebabkan karena menurut Maradjo (1987) bahwa daerah penyebaran meliputi daerah yang beriklim tropis dan mempunyai curah hujan yang cukup pada ketinggian 30 – 2800 mdpl. Merupakan jenis tanaman liar yang hidup menahun. Tempat tumbuhnya meliputi daerah-daerah di dalam hutan, di dalam jurang atau di tepi tebing, di pinggir-pinggir kali atau sungai, seringkali membentuk suatu hutan yang rapat, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai curah hujan yang banyak. Dengan melihat ciri-ciri dari suplir ini dapat dikatakan bahwa suplir hidup pada daerah yang kelembabannya tinggi atau membutuhkan naungan seperti didalam hutan, sehingga hal ini menyebabkan tanaman ini tidak dapat hidup pada daerah padang rumput yang penuh dengan cahaya matahari.
Untuk hewan pada
masing-masing tempat itu tidak jauh berbeda seperti semut adalah jenis spesies
yang paling banyak ditemui pada kedua ekosistem hal ini disebabkan karena
ciri-ciri dari hewan itu sendiri menurut Borror, et.al (1992) bahwa semut ini
adalah suatu kelompok yang sangat umum dan menyebar luas, terkenal bagi semua
orang. Semut-semut itu barang kali yang paling sukses dari semua
kelompok-kelompok serangga.
Mereka praktis terdapat dimana-mana di habitat darat dan juga jumlah
individunya melebihi kebanyakan hewan darat lainnya.
Perbedaan diantara ekosistem ini juga dapat diakibatkan oleh pengaruh faktor abiotik dari daerah tersebut, dimana menurut Guslim (1996) bahwa perbedaan antara ekosistem itu terjadi karena adanya :
Perbedaan diantara ekosistem ini juga dapat diakibatkan oleh pengaruh faktor abiotik dari daerah tersebut, dimana menurut Guslim (1996) bahwa perbedaan antara ekosistem itu terjadi karena adanya :
1. perbedaan kondisi iklim (hutan hujan
tropis, hutan musim, hutan savana)
2. letak di atas permukaan laut,
topografi dan formasi geologi (zonasi pada pegunungan, lereng pegunungan yang
curam, lembah sungai, formasi lava dan sebagainya)
3. kondisi tanah dan air tanah
(misalnya pasir, lempung, basah, kering)
Suhu juga merupakan faktor penyebab terjadinya perbedaan dari ekositem yang satu dengan yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Ismail (2001) bahwa suhu merupakan ekologi yang sangat menetukan dam mempengaruhi kehidupan organisme, termasuk tumbuhan. Pertumbuhan dan penyebaran tumbuhan sering dibatasi oleh suhu. Umumnya tumbuhan akan dapat mempertahankan kehidupan dengan aktifitas pertumbuhan yang normal pada kisaran suhu antara 10 o C sampai 40 o C.
Suhu juga merupakan faktor penyebab terjadinya perbedaan dari ekositem yang satu dengan yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Ismail (2001) bahwa suhu merupakan ekologi yang sangat menetukan dam mempengaruhi kehidupan organisme, termasuk tumbuhan. Pertumbuhan dan penyebaran tumbuhan sering dibatasi oleh suhu. Umumnya tumbuhan akan dapat mempertahankan kehidupan dengan aktifitas pertumbuhan yang normal pada kisaran suhu antara 10 o C sampai 40 o C.
Dalam piramida jumlah dari
kedua ekosistem ditemukan kerancuan dimana jumlah komponen konsumen I lebih
sedikit daripada konsumen II, padahal kenyataan yang sering dijumpai dan yang
telah dipelajari bahwa jumlah dari masing-masing komponen itu harus seimbang
antara yang satu dengan yang lainnya agar kehidupan dari tiap organisme itu
dapat stabil.
Menurut Reso (1989) bahwa
piramida ekologi memberikan gambaran kasar tentang efek hubungan rantai pangan
untuk kelompok ekologi secara menyeluruh. Populasi dan bobot organisme yang
dapat ditunjang pada setiap tinggkat tropik dan setiap situasi tergantung pada
banyaknya energi yang ditambah pada setiap waktu dalam tingkat trofik yang
lebih banyak dan kecepatan produksi makanan. Dalam setiap ekosistem pasti
terdapat rantai makanan antara organisme yang satu dengan yang lainnya dalam
perpindahan energi.
Menurut Reso (1989) bahwa rantai pangan adalah pengalihan energi dari sumbernya
dalam tumbuhan melalui sederetan organisme yang memakan dan yang dimakan.
Semakin pendek rantai pangan ini semakin dekat jarak antara organisme pada
permulaan dan organisme pada ujung rantai dan semakin besar pula energi yang
disimpan. Rantai ini tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan
yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk jaring-jaring pangan/makanan.
Dari jaring makanan yang telah di dapat bahwa pada padang rumput itu perpindahan energi yang terjadi yaitu dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> konsumen III -> pengurai, pada hutan jaringan makanan yang terjadi adalah dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> pengurai. Menurut Guslim (1996) sebagian besar pengurai adalah mewakili bakeri dan jamur yang menguraikan ikatan kompleks protoplasma yang mati sambil menyerap beberapa pengurai dan melepaskan zat sederhana yang kembali ke ekosistem untuk selanjutnya dapat dipakai oleh produsen.
Dari jaring makanan yang telah di dapat bahwa pada padang rumput itu perpindahan energi yang terjadi yaitu dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> konsumen III -> pengurai, pada hutan jaringan makanan yang terjadi adalah dari produsen -> konsumen I -> konsumen II -> pengurai. Menurut Guslim (1996) sebagian besar pengurai adalah mewakili bakeri dan jamur yang menguraikan ikatan kompleks protoplasma yang mati sambil menyerap beberapa pengurai dan melepaskan zat sederhana yang kembali ke ekosistem untuk selanjutnya dapat dipakai oleh produsen.
a.
Komponen
Biotik
Komponen biotik seperti disinggung di
atas tersusun atas berbagai jenis organisme. Komponen biotik mencakup
tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Masing-masing memiliki peranan yang
berbeda dalam sebuah ekosistem.
- Produsen merupakan kelompok organisme yang mampu
memanfaatkan secara langsung energi dari lingkungan abiotik. Produsen terbesar
dalam bumi ini adalah tumbuhan. Tumbuhan memiliki kemampuan melaksanakan
fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses yang mengubah senyawa
anorganik (karbondioksida dan uap air), menjadi senyawa organik berupa gula
(glukosa dan gula lain seperti triosa-posfat). Senyawa tersebut menyimpan
energi dalam bentuk ikatan kimia.
- Konsumen dimulai dari kelompok herbivora hingga karnivora
seperti elang. Herbivora merupakan konsumen yang berada pada tingkat
paling bawah, sehingga dinamakan konsumen primer. Selanjutnya, konsumen primer
yang berupa herbivora akan dimakan oleh hewan-hewan karnivora pertama. Kelompok
hewan pemakan konsumen primer dinamakan dengan konsumen sekunder, yang berarti
terjadi pemindahan energi dari konsumen primer ke konsumen sekunder. Proses
tersebut merupakan proses makan memakan, yang berujung pada konsumen puncak.
- Detritivor merupakan kelompok organisme pemakan detritus.
Detritus merupakan sisa-sisa bagian tubuh dari tumbuhan ataupun organisme lain
yang mati ditanah.
- Dekomposer merupakan kelompok organisme yang menguraikan
senyawa-senyawa sisa organisme mati. Dekomposer memiliki mekanisme kerja
penguraian yang melibatkan proses metabolisme dalam tubuhnya. Sisa kehidupan
tersebut akan terurai dalam tubuh dan keluar sebagai metabolit, hasil
metabolisme tubuh dari organisme dekomposer. Dekomposer dapat bekerja
menguraikan sisa kehidupan dalam ekosistem karena mereka memiliki enzim yang
mampu memecah senyawa sisa tersebut.
Komponen biotik dalam ekosistem memiliki keterkaitan antara
satu dengan yang lain. Dalam konsep rantai dan jaring-jaring makanan, berbagai
individu melakukan interaksi makan memakan, baik dari produsen ke konsumen
primer atau tingkatan selanjutnya. Rantai makanan merupakan proses makan
memakan pada ekosistem yang melibatkan masing-masing satu pihak tiap tingkatan,
sedangkan jaring-jaring makanan merupakan gabungan dari beberapa rantai
makanan.
b. Komponen Abiotik
Komponen abiotik tersusun atas
benda-benda mati. Peranan komponen abiotik sangatlah beragam. Adapun berbagai
komponen abiotik dan fungsinya dalam ekosistem adalah sebagai berikut.
- Air merupakan komponen abiotik yang sangat penting bagi semua
jenis organisme. Semua makhluk hidup memerlukan air karena air merupakan
komponen terbesar dalam tiap makhluk hidup. Air berperan sebagai pelarut
biologis dan sebagai media berlangsungnya reaksi biokimia dalam tubuh makhluk
hidup. Hal itu disebabkan karena sebagian besar enzim pada tubuh hewan
merupakan enzim hidrolase, yaitu membutuhkan air untuk dapat melaksanakan
fungsinya.
- Udara merupakan komponen abiotik yang penting bagi makhluk
hidup. Udara menyediakan ruang hidup selain sebagai penyedia gas yang
dibutuhkan tubuh. Komponen udara terbesar di atmosfer bumi adalah
dinitrogen (78%), oksigen (21%), dan sisanya karbondioksida, argon, serta
berbagai gas lain mengisi 1% sisanya. Makhluk hidup memiliki kebutuhan terhadap
udara yang berbeda. Tumbuhan memerlukan karbondioksida sebagai bahan
fotosintesis. Sebagian besar makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk proses
respirasi seluler, kecuali pada beberapa organisme anaerob. Sebagian besar
hewan dan organisme lain mengeluarkan karbondioksida sebagai hasil respirasi.
Ada juga yang memerlukan gas dinitrogen atau nitrogen dari atmosfer seperti
bakteri Rhizobium yang mampu mengikat nitrogen bebas.
- Tanah dan Batuan memiliki fungsi yang beragam. Tumbuhan
menggunakan tanah sebagai tempat tumbuh dan sumber nutrien. Berbagai
jenis hewan menggunakan tanah sebagai tempat hidup, misalnya cacing tanah dan
serangga tanah. Manusia menggunakan tanah untuk tempat hidupnya. Tanah juga
berperan sebagai penyedia air tanah, karena tanah menyimpan air yang bisa
keluar melalui berbagai sumber air. Berbagai makhluk hidup seperti lumut,
anggrek, dan lumut kerak hidup pada batuan yang jarang ditumbuhi oleh tumbuhan
tingka tinggi.
Tanah
merupakan tempat teradinya siklus daur ulang berbagai materi serasah. Daur
ulang tersebut sebenarnya juga termasuk salah satu cara pembentukan tanah.
Tanah juga merupakan tempat remediasi berbagai materi karena didalamnya
mengandung banyak sekali jenis mikroorganisme.
- Cahaya Matahari merupakan komponen abiotik yang berperan
sebagai sumber energi terbesar di bumi ini. Energi yang dibawa oleh
cahaya matahari dinamakan dengan foton. Foton inilah yang digunakan oleh
tumbuhan untuk memulai dan melaksanakan reaksi fotosintesis. Energi cahaya
matahari akan diikat dalam ikatan kimia berenergi tinggi.
Energi
cahaya matahari setara dengan E=m.c^2. Persamaan tersebut merupakan persamaan
yang ditemukan oleh Enstein. E merupakan energi, m merupakan masa partikel, dan
c adalah kecepatan cahaya yang besarnya 3.10^8 m/s.
DAFTAR PUSTAKA
Ewusia, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi
Tropika. Terjemahan oleh Usman Tanuwidjaja. Penerbit I TB. Bandung
Hamilton, L.S dan HLM. N. King.
1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Diterjemahkan oleh Krisnawati
Suryanata. UGM Press. Yogyakarta
Heddy, S., S.B Soemitro, dan S. Soekartomo.
1986. Pengantar Ekologi. Penerbit Rajawali. Jakarta
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan.
Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Odum, E. 1993. Dasar-dasar Ekologi.
Terjemahan oleh Tjahjono samingan dari buku Fundamentals Ecology. UGM
Press. Yogyakarta
Resosoedarmo, S., K. Kartawinata, dan
A. Soegiarto. 1986. Pengantar Ekologi. Penerbit Redmaja Rosda Karya. Bandung
Setiadi, Y. 1983. Pengertian
Dasar Tentang Konsep Ekosistem. Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan
Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta
Soerianegara, I dan A. Indrawan.
1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manejemen Hutan Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar