Jumat, 30 Maret 2012

REVIEW JURNAL: PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERKELANJUTAN DI KABUPATEN CIAMIS


Mata Kuliah: Pengelolaan Hutan Rakyat       Hari/tanggal: Kamis, 29 Maret 2012

LAPORAN HASIL REVIEW JURNAL

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN CIAMIS
Sustainable Social Forest Management in The Ciamis Regency

Oleh:
Jajang Roni A. Kholik                        (E14090090)


Dosen:
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS.











DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Sumber Jurnal Review:
Jurnal Agritek Vol. 17 No. 3 Mei 2009                                       ISSN. 0852-5426
Judul:

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN CIAMIS
Sustainable Social Forest Management in The Ciamis Regency

Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik (hutan hak) yang dikelola oleh rakyat. Pada dasarnya hutan rakyat di Jawa Barat khususnya di daerah Ciamis, terdapat pada daerah daratan yang kering dimana tanahnya merupakan lahan yang kemungkinan sangat peka terhadap erosi. Terlebih lagi jika kondisi tanah yang ada sangat tidak subur atau dengan kata lain adanya kekurangan unsur hara dalam tanah, maka kejadian erosi tanah akan sangat mungkin untuk selalu terjadi. Akan tetapi, kejadian erosi pada hutan rakyat yang ada di tanah kering tersebut masih dapat diminimalisir dengan selalu menjaga kondisi hara tanah agar tetap seimbang dan tanah selalu subur.
Pada dasarnya, pengelolaan hutan rakyat sudah lama dilakukan oleh masyarakat yang ada di daerah Ciamis, hanya saja kendala yang terjadi sekarang adalah mengenai luasan hutan rakyat dan pengetahuan budidaya hutan yang dimiliki oleh petani/ masyarakat. Pertama, bahwasannya hutan rakyat di daerah Ciamis khususnya, dan umumnya hutan rakyat yang ada di seluruh wilayah pulau Jawa mempunyai luasan yang sangat kecil, dimana rata-rata luasan yang dimiliki oleh satu orang petani/ masyarakat adalah masih dibawah 1.0 Ha (< 1.0 Ha). Kedua, pemanfaatan sumberdaya yang dihasilkan dari hutan rakyat. Adanya berbagai macam tujuan yang ingin dicapai masyarakat atas hutan rakyat yang dimilikinya menyebabkan sebagian besar hutan rakyat tidak dapat dikelola dengan lestari dan optimal. Terlebih lagi dalam hal pengetahuan masyarakat yang masih terlalu minim, menyebabkan masyarakat tidak banyak peduli akan kelestarian tanah dan hasil hutan yang ada. Yang terpenting dipikiran masyarakat selama ini adalah mengenai bagaimana hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari terutama kebutuhan pangan dan sayur-sayuran, tanpa memikirkan cara yang baik untuk mengelola hutan dan tanah agar tetap lestari dan memberikan hasil yang berkelanjutan di masa depan. Oleh karena itu, kedua hal tersebut di atas merupakan salah satu aspek yang menjadi kunci utama dalam perbaikan pengelolaan hutan rakyat di pulau Jawa khususnya di daerah Ciamis.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan lahan secara optimal adalah dengan usaha hutan rakyat berbasis Agroforestry, dimana di dalam lahan tersebut dimanfaatkan sebagian besar oleh pohon-pohon berkayu (pohon-pohon kehutanan) dan tanaman pertanian (sayur-sayuran, buah-buahan, dan komoditas pertanian lainnya) sebagai tanaman sela yang mengisi antar pohon kehutanan. Agroforestry merupakan suatu teknik yang memanfaatkan lahan secara hemat dan tepat guna dimana semua lokasi lahan dimanfaatkan sebaik mungkin tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa pada pohon-pohon kehutanan terdapat aturan yang biasa disebut dengan jarak tanam pohon. Pada jarak tanam ini, suatu tegakan diatur jarak tanamnya antara pohon yang satu dengan yang lain guna menghasilkan tegakan yang normal, seimbang, dan lebih produktif. Pada hutan alam maupun hutan tanaman, biasanya diberikan jarak antar pohon ideal adalah sekitar 3 meter x 3 meter, sehingga hanya sebagian kecil saja lahan yang bisa dimanfaatkan. Hal tersebut memang baik dan sesuai aturan, karena dilakukan agar pohon tidak tertekan atau terhambat petumbuhannya dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Akan tetapi, pemanfaatan lahan tidak dapat dilakukan secara optimal. Berbeda halnya pada sistem agroforestry ini, semua lahan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, atau dengan kata lain tidak ada sedikitpun lahan yang tidak dipergunakan. Teknik yang digunakan pada agroforestry ini adalah pada selang antar jarak tanam pohon kehutanan yang ada dimanfaatkan dengan menanam tanaman pertanian, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dengan demikian, beberapa keinginan masyarakat yang saling bertentangan yang selama ini terpikirkan di dalam memanfaatkan hasil hutan dapat tercapai dengan agroforestry yaitu di samping petani/ masyarakat dapat memanfaatkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di lahan hutan rakyat tersebut, petani juga dapat senantiasa menjaga keberlanjutan fungsi lahan/tanah secara lestari dalam hal unsur hara dan keberlanjutan hasil hutan (pohon berkayu) secara lestari dan optimal.
Pengelolaan hutan rakyat lestari adalah suatu sistem pengelolaan yang memperhatikan kelayakan ekologi/ lingkungan, kelayakan pendapatan (ekonomi), dan kelayakan sosial yang dapat menjamin dalam pemenuhan kebutuhan secara optimal dan berkelanjutan. Kelayakan ekologi adalah memperhatikan kelangsungan fungsi ekologis dan lingkungan, dalam hal ini bahwa hutan merupakan tempat tumbuhnya flora dan fauna yang beraneka ragam yang harus dikelola dan dijaga agar tetap lestari, serta tanah yang ada harus dijaga agar tidak menyebabkan terjadinya erosi. Kelayakan ekonomis adalah bahwa hutan rakyat harus dapat menghasilkan nilai ekonomi (pendapatan) dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat secara berkelanjutan baik hasil untuk masa kini maupun masa depan. Sedangkan kalayakan sosial adalah mengenai posisi dan fungsi hutan rakyat sebagai penyedia lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, sehingga semakin banyak hutan rakyat yang ada, pekerjaan yang diberikan untuk masyarakat sekitar hutan akan bertambah pula.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Eming Sudiana, dkk. (2009) mendapatkan sembilan basis pola tanam hutan rakyat di daerah Ciamis yaitu pola tanam berbasis tanaman sengon, mahoni, jati, karet, tanaman serbaguna, tanaman semusim, coklat, kapulaga, dan kopi. Perbedaan tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepemilikan bibit tanaman yang ada di masyarakat. Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan mengenai tumbuhan bawah penutup tanah. Tumbuhan bawah yang paling rapat terdapat pada pola tanam berbasis jati, kemudian diikuti oleh pola tanam MPTS, dan kapulaga. Sedangkan yang paling jarang terdapat pada pola tanam berbasis coklat, karet, dan sengon. Adanya tumbuhan bawah yang jarang pada pola tanam berbasis coklat, karet, dan sengon disebabkan karena petani lebih memilih model pengelolaan perkebunan, sehingga petani berpikir bahwa tumbuhan bawah tersebut akan merusak dan mengganggu kebun mereka sehingga dilakukan pembabatan tumbuhan bawah. Berdasarkan nilai erosi yang diperbolehkan (ETol), hanya didapatkan pada tiga pola tanam yang optimal, yaitu pola tanam berbasis tanaman jati, mahoni, dan tanaman serbaguna (MPTS). Nilai erosi yang didapat rata-rata 17 - 25 ton/ha/tahun atau dikatakan masih dalam tingkatan erosi yang diperbolehkan.
Selanjutnya adalah pengamatan mengenai biodiversitas (keanekaragaman) tumbuhan. Dari hasil yang didapat, memiliki korelasi yang cukup berarti dengan produktivitas tanaman tahunan dan limpasan permukaan. Biodiversitas tumbuhan mampu menjelaskan ragam produktivitas tanaman tahunan sebesar 53,10%, sedangkan terhadap ragam limpasan permukaan sebesar 82,70%. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman khususnya pada tanaman mahoni, pisang, aren, dukuh, dan petai dengan nilai masing-masing sebesar 11,79 m3/tahun, 1.323,89 kg/tahun, 1.123,15 kg/tahun, 259,98 kg/tahun, dan 252,48 kg/tahun harus dihadapkan dengan resiko terjadinya peningkatan erosi dan limpasan permukaan masing-masing sebesar 461,52 ton/ha/tahun dan 15.696,98 m3/ha/bulan. Disamping itu, resiko yang terjadi adalah penurunan produktivitas pada tanaman jati sebesar 3,34 m3/tahun, coklat 244,78 kg/tahun, kapulaga 931,60 kg/tahun, dan kopi 700,29 kg/tahun. Resiko lain yang dapat terjadi adalah penurunan pendapatan petani. Dari data yang diperoleh, meskipun tampak terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja pertanian sebesar 36,64 HOK/tahun dan kenaikan cadangan karbon sebesar 626,01 Mg/ha, pendapatan petani semakin menurun dari sebelumnya.
Solusi optimal yang diusulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara penyusunan skenario melalui perbaikan kerapatan tanaman dengan memprioritaskan pada kegiatan meminimalkan erosi dan limpasan permukaan dengan tetap memperhatikan kendala keterbatasan modal dan luas lahan yang dimiliki oleh petani/ masyarakat. Petani dengan luasan lahan yang sempit cenderung mengelola hutan ke arah pola tanam hutan rakyat monokultur, sedangkan pada lahan yang luas cenderung dikelola dengan model hutan rakyat campuran, seperti: pola tanam berbasis tanaman semusim dan tanaman serbaguna (MPTS) maupun perkebunan campuran (Agroforestry), seperti: pola tanam karet, coklat, kapulaga, dan kopi.
Produktivitas hutan rakyat di kabupaten Ciamis yang masih berada pada kisaran mendekati target produktivitas hutan sekunder, upaya tersebut tentunya mengarah pada pencapaian tujuan utama pengelolaan hutan rakyat, yaitu: menekan seminimal mungkin erosi dan limpasan permukaan, kemudian dilakukan tindakan selanjutnya untuk meningkatkan tujuan ekonomi dan sosial. Sebab dengan langkah tersebut, kesuburan tanah dan ketersediaan air dapat dipertahankan. Tanah subur dengan air yang cukup tersedia pada lahan hutan rakyat akan terbangun ekosistem hutan rakyat yang sehat dengan unsur hara yang banyak terdapat di dalamnya dan sekaligus dapat meningkatkan produktivitas hasil hutan rakyat baik pohon-pohon kehutanan maupun sayur-sayuran yang menjadi kebutuhan petani/ masyarakat, serta peningkatan pendapatan petani pengelola hutan rakyat yang semakin bertambah terutama pada penambahan lapangan pekerjaan yang diberikan dari adanya hutan rakyat di sekitarnya.

PENGAMATAN SPORA JAMUR KARAT DAN ISOLASI MIKROBA PENYEBAB MATI PUCUK/ LAYU BAKTERI PADA TANAMAN JATI (Tectona grandis)


Nama          : Jajang Roni Aunul Kholik
NRP           : E14090090
Kelompok  : 3

PENGAMATAN SPORA JAMUR KARAT DAN ISOLASI MIKROBA PENYEBAB MATI PUCUK/ LAYU BAKTERI PADA
TANAMAN JATI (Tectona grandis)

Tabel 1. Hasil Pengamatan Isolasi Mikroba
Hari ke-
Cawan Petri 1
Cawan Petri 2
Hari ke-
Cawan Petri 1
Cawan Petri 2
1.
2
3.
4.
5.
6.




Pembahasan
1.        Nama Inang                     : Jati (Tectona grandis)
Nama Penyakit                 : Jamur Karat
Nama Patogen                  : Olivia tectoneae (Parasit Obligat)
Tanda/ Gejala Bioekologi       :
Penyakit karat pada daun jati disebabkan oleh cendawan Olivia  tectoneae. Cendawan ini merupakan parasit obligat yang hanya mampu hidup pada inang (jati) yang masih hidup. Gejala yang ditimbulkannya merupakan bercak yang berwarna cokelat hingga hitam yang tersebar di bagian daun. Pada gejala mikroskopis, cendawan ini sering membentuk fase spora yang membulat dan berduri yang disebut uredospora. Hifa senosit dengan beberapa sporangium dapat dilihat dari penampakan gejala mikroskopis yang diisolasi dari gejala karat tersebut. Spora pada cendawan ini akan berkecambah ketika lingkungan sekitar dari cendawan ini mendukung kehidupannya. Gejala nekrosis yang ditandai dengan kematian jaringan pada daun Jati merupakan gejala yang tampak nyata karena cendawan ini mampu menyerap nutrisi sel pada jaringan daun Jati.
Cara Pengendalian                  :
Upaya pengendalian pada jenis cendawan ini, yaitu dengan cara menghilangkan daun yang terinfeksi agar gejala yang timbul tidak meluas hingga ke sel atau jaringan yang belum terinfeksi. Penggunaan fungisida merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan jika gejala penyakit ini tidak dapat dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan menyemprotkan larutan fungisida ke bagian daun yang terserang cendawan karat. Selain itu, dapat juga dengan menggunakan infus fungisida yang ditancapkan kedalam batang yang sebelumnya telah dilubangi oleh bor atau paku pada tanaman Jati.

2.        Nama Inang                     : Jati (Tectona grandis)
Nama Penyakit                 : Layu Bakteri
Nama Patogen                  : Pseudomonas tectoneae
Tanda/ Gejala (Bioekologi)     :
Pewarnaan pada bagian batang muda terutama bagian dalam yang dapat diamati secara langsung di lapangan. Mekanisme penyerangan dari patogen ini adalah dengan menyumbat jaringan pembuluh pada tanaman inang (Jati). Tilosit merupakan respon inang yang ditimbulkan akibat infeksi dari serangan bakteri tersebut. Tilosit menyebabkan keadaan tanaman menjadi tambah parah karena pembesaran bagian sel di tepian pembuluh yang dapat menyumbat jaringan pembuluh sehingga tanaman menjadi layu. Tanaman yang dapat terserang penyakit layu bakteri ini umumnya tanaman di bawah umur 1 tahun. Selain itu, daun menjadi layu, menggulung, kemudian mengering dan rontok. Pada batang terjadi proses layu dan mengering. Bila mana akar diperiksa, kondisi akar sudah rusak. Gejala awal daun layu, kondisi kulit batang tampak masih terlihat segar/ sehat. Namun bila mana diperiksa lebih lanjut dengan memotong dan menyeset kulit/ membelah batang yang terserang maka akan dapat dilihat bahwa bagian jaringan kambium dan kayu gubal (xylem) telah mengalami kerusakan, walaupun jaringan kulit (floem) masih terlihat hijau segar.
Cara Pengendalian                  :
Pengendalian penyakit layu bakteri dapat dilakukan dengan cara biologi, kimiawi, dan silvikultur. Untuk serangan pada masa persemaian, cocok dilakukan pengendalian dengan cara biologi dan kimiawi. Adapun untuk kasus serangan pada tanaman yang sudah berada di lapangan, maka cara silvikultur lebih efektif dan aman untuk dilakukan. Cara biologi dilakukan dengan menggunakan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dengan disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Cara kimiawi menggunakan bakterisida, disemprotkan ke seluruh permukaan tanaman dan sekitar perakaran. Aplikasi silvikultur untuk penanganan penyakit layu bakteri adalah dengan memperbaiki drainase lahan dan pengaturan jenis tumpang sari pada tanaman pokok jati, sehingga dapat diperoleh tanaman sehat dengan produktivitas tinggi.

3.        Nama Inang                     : Jati (Tectona grandis)
Nama Penyakit                 : Mati Pucuk
Nama Patogen                  : Phoma sp.
Tanda/ Gejala Bioekologi       :
Gejala yang ditimbulkan berupa titik-titik di dalam batang. Cendawan ini tergolong ke dalam Askomycetes yang memiliki hifa septat pada struktur vegetatifnya dan sering membentuk peritesium ketika lingkungan mengalami keadaan yang ekstrim. Gejala ini sering disebut dengan penyakit pecut karena penampakan batang dengan daun muda rontok yang menjulang.
Cara Pengendalian                  :
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan memotong bagian pucuk/ batang yang terserang agar patogen tersebut tidak menyebar ke seluruh bagian tanaman (jati). Cara silvikultur dapat dilakukan untuk penanganan penyakit ini. Begitu juga cara pengendalian menggunakan fungisida seperti penanganan penyebab penyakit karat pada daun jati dapat diterapkan untuk mengatasi gejala penyakit yang ditimbulkan dari patogen jenis ini.
Powered By Blogger