Kamis, 15 Maret 2012

PENYEBAB DAN SUMBER KEBAKARAN


Pembahasan
Praktikum ini menjelaskan tentang penyebab dan sumber dari kebakaran hutan. Apabila kita lihat berdasarkan sumbernya, sumber api kebakaran hutan dapat terjadi secara alami dan secara buatan (disebabkan manusia). Secara alami, sumber api kebakaran dapat terjadi karena adanya petir dan letusan gunung berapi. Sedangkan secara buatan (disebabkan manusia) dapat terjadi karena bara sisa api unggun dan pembukaan lahan dengan sengaja membakar hutan.
Perlakuan pertama yang dilakukan pada praktikum ini adalah menguji secara langsung mengenai sejauhmana gesekan antara dua batang bambu atau dua batang kayu dapat menyebabkan kebakaran pada hutan. Sesuai apa yang telah kita uji pada praktikum ini dan berdasarkan apa yang tercantum pada lampiran hasil yang telah kita buat, terbukti bahwa gesekan antara dua batang bambu atau kayu yang telah kita uji selama sembilan kali pengujian yang masing-masing yaitu digesekkan selama satu menit (tiga kali pengujian), selama lima menit (tiga kali pengujian), dan sepuluh menit (tiga kali pengujian), dapat dibuktikan bahwa gesekan antar dua batang bambu ataupun kayu selama apapun kita menggesekkan pada saat praktikum, tidak akan menyebabkan terjadinya api atau munculnya api yang bisa menyebabkan kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan kekuatan gesekan bambu dan kayu tidak begitu kuat untuk menimbulkan api karena energi panas yang ditimbulkan sangat kecil. Akan tetapi, hal yang berkebalikan (menimbulkan api dari hasil gesekan) dapat saja terjadi meskipun itu hanya kemungkinan kecil, apabila kekuatan gesekan yang kita buat sangat keras dan kuat sehingga energi panas yang dihasilkan dari gesekan tersebut cepat panas dan akhirnya dari panas tersebut dapat saja menimbulkan api. Kekuatan gesekan dan energi panas yang dihasilkan akibat gesekan dalam hal ini menjadi salah satu syarat utama terjadinya sumber api kebakaran hutan. Namun, apabila kita melihat bagaimana proses gesekan secara alami di hutan terjadi, energi panas yang ditimbulkan akibat dua bambu atau kayu sangat kecil karena kekuatan gesekan alami dua kayu atau bambu yang bersinggungan sangat kecil dan sangat sedikit kemungkinan untuk menimbulkan api.
Perlakuan selanjutnya yang kita lakukan pada praktikum ini, adalah menguji sejauhmana bara api dari puntung rokok menimbulkan api dan menyebabkan kebakaran hutan. Sesuai yang kita uji secara langsung masing-masing selama sepuluh menit, dapat dibuktikan bahwa puntung rokok yang kita simpan pada serasah pinus yang sudah kering pada perlakuan pertama yaitu satu puntung rokok hasilnya tidak menimbulkan bara api yang nantinya dapat menimbulkan kebakaran. Begitu pula pada perlakuan kedua (dua puntung rokok secara bersamaan disimpan tetapi berbeda tempat) dan perlakuan ketiga (dua puntung rokok secara bersamaan disimpan dan diletakkan pada satu tempat) tidak menghasilkan bara api selama sepuluh menit pengamatan. Hal ini dikarenakan bara api dari puntung rokok tidak begitu kuat untuk membakar serasah yang ada meskipun serasah tersebut sangat kering. Kekuatan bara yang dihasilkan dapat menjadi salah satu indikator terjadinya api pada serasah. Selain itu, pengaruh lain seperti kelembaban udara dan tingkat kekeringan serta jenis serasah dapat juga menjadi salah satu indikator terjadinya sumber api. Jika bara api yang ditimbulkan sangat kuat, maka tidak menutup kemungkinan serasah tersebut akan segera terbakar dan menimbulkan api yang menyebabkan kebakaran pada hutan.





KESIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan yang telah dikemukakan dan menjawab tujuan praktikum yang ada, dapat dsimpulkan bahwa gesekan anatara dua batang kayu atau bambu tidak dapat menimbulkan api yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran karena kekuatan gaya gesek dan energi panas yang dihasilkan tidak begitu kuat. Selanjutnya, bara sisa dari puntung rokok juga dalam hal ini tidak dapat menimbulkan api karena kekuatan bara yang ditimbulkan kedua puntung rokok tidak begitu besar dan kuat sehingga kecil kemungkinan menyebabkan terjadi api kebakaran hutan.
msM � - r �� � Ketidakpastian tenurial memicu pengrusakan sosial dan budaya masyarakat
Permasalahan tenurial telah menjadi titik kunci dari terus terjadinya pengrusakan hutan, dimana ketidakpastian tenurial telah membuat masyarakat terpaksa melepaskan kawasan kelolanya kepada pengusaha yang berimplikasi pada pelepaspaksaan budaya dan ikatan batin dengan kawasan kelola.
4.      Korupsi yang mengakar
Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima upeti dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan. Dampak kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun, bahkan sejumlah laporan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan bola hilang setiap menitnya (ICEL-Indonesian for Center Environmental Law, 19- 10-2003:2). Data terbaru dari Departemen Kehutanan (dikutip dari buku Andriana, 2004:1 dalam Nurdjana 2005:5 dalam Darsono, 2006) menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar pertahun dan negara telah kehilangan Rp 83 miliar per hari akibat illegal logging.
Seperti diketahui bahwa illegal logging mempunyai dampak yang cukup serius, baik itu dari segi sosial maupun ekonomi bahkan terhadap ekologi. Penanganan illegal logging tidak dapat jika hanya ditangani di dalam negeri, tetapi juga harus melibatkan luar negeri, karena illegal logging sangat terkait erat dengan banyaknya permintaan kayu dari luar negeri. Namun demikian masih terdapat cara-cara dalam rangka menanggulangi illegal logging. Pertama secara prefentif, yaitu cara-cara yang dilakukan dengan jalan pencegahan dan cara ini telah ditempuh oleh Departemen Kehutanan dengan melakukan hal – hal sebagai berikut:
1.      Menerbitkan SK Menhut. No.:541/Kpts-II/2002, yang isinya antara lain mencabut SK Menhut. No.: 05.1/Kpts-II/2000, untuk menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati / Walikota dalam menerbitkan HPH / Ijin pemanfaatan hasil hutan.
2.      Menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.: 1132/Kpts-II/2001 dan No.: 292/MPP/Kep/10/2001, tenang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih yang dikuatkan dengan PP No.: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log dari Indonesia.
3.      Kerjasama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MOU dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan Pemerintah RRC pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan illegal trade.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah dilakukan, namun pada kenyataannya langkah-langkah itu belum efektif dan oleh karena itu perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Penegakan hukum yang tegas dan nyata dan tinggalkan perlakuan diskriminatif. Siapa yang terlibat harus ditindak, tanpa terkecuali.
2.      Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan. Meskipun Perum Perhutani telah melaksanakan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namum demikian masih sangat perlu dukungan dari Pemerintah Daerah, karena dengan adanya Undang-undang otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang penuh untuk melangsungkan pembangunan berkelanjutan.
3.      Pemberantasan terhadap pedagang-pedagang sebagai penadah kayu dan industri-industri kayu yang menggunakan bahan baku kayu dari hasil illegal logging secara kontinu dan terprogram dengan melibatkan berbagai unsure dalam masyarakat.
4.      Memberikan penghargaan pada masyarakat atau aparat yang dapat menunjukkan atau menangkap pedagang – pedagang dan industri – industri yang menggunakan kayu dari hasil illegal logging.
5.      Penebangan liar bukanlah merupakan masalah yang berdiri sendiri atau tanggung jawab Departemen Kehutanan (untuk Pulau Jawa termasuk Perum Perhutani), akan tetapi merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan dengan melibatkan instansi-instansi yang terkait termasuk Departemen Industri dan Perdagangan.



DAFTAR PUSTAKA

Darsono, Valentius, MS. Drs. 2006. Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Issue Kehutanan Masa Kini. [terhubung berkala] http://kyotoreview.cseas.Kyoto u.ac.jp/issue/issue1/article_178_p.html ICEL-Indonesian for Center Environmental Law, 19- 10-2003:2) [diakses tanggal 11 Mei 2004].

Pemberantasan pembalakan liar [terhubung berkala] http ://www.dephut.go.id. Departemen Kehutanan Koordinasi dengan Mabes TNI Dalam Pemberantasan Penebangan Liar. Siaran Pers Nomor. 51/II.PIK-1/2003. [Diakses tanggal 4 April 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger