PEMBAHASAN
Pada dasarnya, pengaruh
gangguan-gangguan hutan itu disebabkan oleh faktor manusia dan faktor alam.
Faktor manusia biasanya disebabkan karena kelalaian dan kesengajaan membuat
hutan terganggu, yaitu antara lain: pembukaan dan konversi lahan untuk
perladangan berpindah, perkebunan, dan industri pertambangan, penggembalaan
binatang ternak, dan kegiatan illegal logging. Selain itu, faktor alam pun ikut
menyebabkan gangguan pada hutan. Di antara penyebab utama yang menyebabkan
hutan terganggu adalah adanya bencana alam, seperti: tsunami, banjir, erosi,
dan adanya angin topan atau puting beliung yang menyebabkan sebagian ekosistem
hutan terganggu.
Pada pembahasan kali ini akan mengangkat
secara khusus tentang studi kasus kegiatan pembalakan liar atau illegal logging.
Seiring terjadinya krisis di negara Indonesia dan juga dimulainya reformasi di segala
bidang kehidupan juga berdampak ke dalam kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar
hutan. Upaya memanfaatkan situasi berupa tindakan pelanggaran hukum di bidang
kehutanan khususnya pencurian kayu jati dan kayu jenis lainnya oleh sebagian
masyarakat desa sekitar hutan yang tidak bertanggungjawab dengan dalih krisis
pangan mulai terjadi. Pencurian kayu jati dan kayu jenis lainnya dari tahun
ketahun selalu mengalami peningkatan yang mengakibatkan nilai kerugian yang
diderita oleh pemerintah semakin bertambah.
Pembalakan liar atau penebangan liar
(bahasa Inggris: illegal logging)
adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah
atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Dalam beberapa bulan terakhir,
sorotan media terhadap aktivitas illegal logging pun semakin gencar. Berbagai
wawancara langsung dengan pelaku penebang pun telah terpublikasikan. Namun
seolah-olah, aktivitas illegal logging masih belum tersentuh hukum. Saling
lempar kewenangan dan tanggung jawab terjadi. Antara instansi teknis kehutanan,
kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu terjadi pelimpahan
tanggung jawab untuk menangani illegal logging.
Dari beberapa pengamatan, terdapat
beberapa areal yang selama ini menjadi akar permasalahan yang hingga saat ini
belum tersentuh di dalam penanganan permasalahan penebangan liar. Di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Semrawutnya kewenangan di sektor kehutanan
Undang-undang Otonomi dan Undang-undang
Kehutanan sendiri konflik satu sama lain dalam menentukan legal tidak legalnya
sebuah operasi kehutanan. Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Bupati berhak mengeluarkan ijin-ijin IPK, IPHH, dan berbagai macam ijin
sah lainnya di tingkat kabupaten yang dipakai untuk mengeluarkan kayu-kayu dari
hutan, dimana di sisi lain pemerintah pusat meradang akibatnya dan mengklaim
bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan. Bahkan saat
ini beberapa kabupaten telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan
tentang Hutan dan Kehutanan yang memperbolehkan pemberian Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Bupati dengan luasan hingga 50.000 hektar
serta adanya SK Bupati untuk pemanfaatan kayu dengan alasan pembukaan areal
untuk perkebunan serta pemberian ijin konsesi skala kecil. Hal ini diperparah
dengan begitu mudahnya dikeluarkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) oleh Dinas Kehutanan, bahkan ada pihak
yang mampu melakukan pemalsuan dokumen demi tujuan pengekstraksian kayu di
hutan. Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi saling lempar
kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan Kejaksaan yang
harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah arang, sehingga
membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara instansi teknis
kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di
Kepolisian dan Kejaksaan.
2.
Gap antara kebutuhan industri perkayuan dan ketersediaan kayu
di hutan
Industri perkayuan di Kalimantan Timur misalnya,
memiliki kapasitas produksi sebesar 9,1 juta meter kubik kayu setiap tahunnya,
sementara saat ini Departemen Kehutanan hanya mengeluarkan ijin resmi sebesar
1,5 juta meter kubik kayu setiap tahunnya. Hal ini memicu pemenuhan kebutuhan
industri perkayuan dari kayu yang tidak legal. Bahkan ketika industri kehutanan
mengalami keterpurukannya, dimana 128 industri kehutanan berhutang hingga 22
triliun rupiah, pemerintah masih terus memberikan bantuan kepada pengusaha
kehutanan dengan berbagai fasilitas dan suntikan uang rakyat bagi industri
kehutanan.
3.
Ketidakpastian tenurial memicu pengrusakan sosial dan budaya
masyarakat
Permasalahan tenurial telah menjadi
titik kunci dari terus terjadinya pengrusakan hutan, dimana ketidakpastian
tenurial telah membuat masyarakat terpaksa melepaskan kawasan kelolanya kepada
pengusaha yang berimplikasi pada pelepaspaksaan budaya dan ikatan batin dengan
kawasan kelola.
4.
Korupsi yang mengakar
Korupsi merupakan sebuah akar dari
keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi
dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi
aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima upeti
dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan
hutan. Dampak kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen
Kehutanan tahun 2003 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai
43 juta hektar dari total 120,35 hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun
terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun, bahkan sejumlah laporan menyebutkan
antara 1,6 sampai 2,4 hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan
luas enam kali lapangan bola hilang setiap menitnya (ICEL-Indonesian for Center
Environmental Law, 19- 10-2003:2). Data terbaru dari Departemen Kehutanan (dikutip
dari buku Andriana, 2004:1 dalam Nurdjana 2005:5 dalam Darsono, 2006) menyebutkan
bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar pertahun
dan negara telah kehilangan Rp 83 miliar per hari akibat illegal logging.
Seperti diketahui bahwa illegal logging
mempunyai dampak yang cukup serius, baik itu dari segi sosial maupun ekonomi
bahkan terhadap ekologi. Penanganan illegal logging tidak dapat jika hanya
ditangani di dalam negeri, tetapi juga harus melibatkan luar negeri, karena
illegal logging sangat terkait erat dengan banyaknya permintaan kayu dari luar
negeri. Namun demikian masih terdapat cara-cara dalam rangka menanggulangi
illegal logging. Pertama secara prefentif, yaitu cara-cara yang dilakukan
dengan jalan pencegahan dan cara ini telah ditempuh oleh Departemen Kehutanan
dengan melakukan hal – hal sebagai berikut:
1.
Menerbitkan SK Menhut. No.:541/Kpts-II/2002, yang isinya
antara lain mencabut SK Menhut. No.: 05.1/Kpts-II/2000, untuk menghentikan
sementara kewenangan Gubernur atau Bupati /
Walikota dalam menerbitkan HPH / Ijin pemanfaatan hasil hutan.
2.
Menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.: 1132/Kpts-II/2001 dan No.:
292/MPP/Kep/10/2001, tenang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih
yang dikuatkan dengan PP No.: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log
dari Indonesia.
3.
Kerjasama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MOU
dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan Pemerintah RRC
pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan
illegal trade.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah dilakukan, namun
pada kenyataannya langkah-langkah itu belum efektif dan oleh karena itu perlu
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Penegakan
hukum yang tegas dan nyata dan tinggalkan perlakuan diskriminatif. Siapa yang
terlibat harus ditindak, tanpa terkecuali.
2.
Pemberdayaan
masyarakat disekitar hutan. Meskipun Perum Perhutani telah melaksanakan program
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namum demikian masih sangat perlu
dukungan dari Pemerintah Daerah, karena dengan adanya Undang-undang otonomi
daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang penuh untuk melangsungkan
pembangunan berkelanjutan.
3.
Pemberantasan
terhadap pedagang-pedagang sebagai penadah kayu dan industri-industri kayu yang
menggunakan bahan baku kayu dari hasil illegal logging secara kontinu dan
terprogram dengan melibatkan berbagai unsure dalam masyarakat.
4.
Memberikan
penghargaan pada masyarakat atau aparat yang dapat menunjukkan atau menangkap
pedagang – pedagang dan industri – industri yang menggunakan kayu dari hasil
illegal logging.
5.
Penebangan
liar bukanlah merupakan masalah yang berdiri sendiri atau tanggung jawab
Departemen Kehutanan (untuk Pulau Jawa termasuk Perum Perhutani), akan tetapi
merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan dengan melibatkan
instansi-instansi yang terkait termasuk Departemen Industri dan Perdagangan.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, Valentius, MS. Drs. 2006.
Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.
Issue Kehutanan Masa Kini.
[terhubung berkala] http://kyotoreview.cseas.Kyoto u.ac.jp/issue/issue1/article_178_p.html
ICEL-Indonesian for Center Environmental Law,
19- 10-2003:2) [diakses tanggal 11 Mei 2004].
Pemberantasan pembalakan liar
[terhubung berkala] http ://www.dephut.go.id. Departemen Kehutanan Koordinasi
dengan Mabes TNI Dalam Pemberantasan Penebangan Liar. Siaran Pers Nomor. 51/II.PIK-1/2003.
[Diakses tanggal 4 April 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar