Kamis, 15 Maret 2012

MAKALAH PERLINDUNGAN HUTAN


PEMBAHASAN

Pada dasarnya, pengaruh gangguan-gangguan hutan itu disebabkan oleh faktor manusia dan faktor alam. Faktor manusia biasanya disebabkan karena kelalaian dan kesengajaan membuat hutan terganggu, yaitu antara lain: pembukaan dan konversi lahan untuk perladangan berpindah, perkebunan, dan industri pertambangan, penggembalaan binatang ternak, dan kegiatan illegal logging. Selain itu, faktor alam pun ikut menyebabkan gangguan pada hutan. Di antara penyebab utama yang menyebabkan hutan terganggu adalah adanya bencana alam, seperti: tsunami, banjir, erosi, dan adanya angin topan atau puting beliung yang menyebabkan sebagian ekosistem hutan terganggu.
Pada pembahasan kali ini akan mengangkat secara khusus tentang studi kasus kegiatan pembalakan liar atau illegal logging. Seiring terjadinya krisis di negara Indonesia dan juga dimulainya reformasi di segala bidang kehidupan juga berdampak ke dalam kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Upaya memanfaatkan situasi berupa tindakan pelanggaran hukum di bidang kehutanan khususnya pencurian kayu jati dan kayu jenis lainnya oleh sebagian masyarakat desa sekitar hutan yang tidak bertanggungjawab dengan dalih krisis pangan mulai terjadi. Pencurian kayu jati dan kayu jenis lainnya dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan yang mengakibatkan nilai kerugian yang diderita oleh pemerintah semakin bertambah.
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Dalam beberapa bulan terakhir, sorotan media terhadap aktivitas illegal logging pun semakin gencar. Berbagai wawancara langsung dengan pelaku penebang pun telah terpublikasikan. Namun seolah-olah, aktivitas illegal logging masih belum tersentuh hukum. Saling lempar kewenangan dan tanggung jawab terjadi. Antara instansi teknis kehutanan, kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu terjadi pelimpahan tanggung jawab untuk menangani illegal logging.
Dari beberapa pengamatan, terdapat beberapa areal yang selama ini menjadi akar permasalahan yang hingga saat ini belum tersentuh di dalam penanganan permasalahan penebangan liar. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Semrawutnya kewenangan di sektor kehutanan
Undang-undang Otonomi dan Undang-undang Kehutanan sendiri konflik satu sama lain dalam menentukan legal tidak legalnya sebuah operasi kehutanan. Menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bupati berhak mengeluarkan ijin-ijin IPK, IPHH, dan berbagai macam ijin sah lainnya di tingkat kabupaten yang dipakai untuk mengeluarkan kayu-kayu dari hutan, dimana di sisi lain pemerintah pusat meradang akibatnya dan mengklaim bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan. Bahkan saat ini beberapa kabupaten telah mengeluarkan Peraturan Daerah yang berkaitan tentang Hutan dan Kehutanan yang memperbolehkan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Bupati dengan luasan hingga 50.000 hektar serta adanya SK Bupati untuk pemanfaatan kayu dengan alasan pembukaan areal untuk perkebunan serta pemberian ijin konsesi skala kecil. Hal ini diperparah dengan begitu mudahnya dikeluarkannya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) oleh Dinas Kehutanan, bahkan ada pihak yang mampu melakukan pemalsuan dokumen demi tujuan pengekstraksian kayu di hutan. Disisi penegakan hukum, hingga saat ini selalu terjadi saling lempar kewenangan dalam penanganan illegal logging. Kepolisian dan Kejaksaan yang harusnya menjadi aktor utama penegakan hukum pun telah patah arang, sehingga membutuhkan bantuan dari instansi teknis kehutanan. Sementara instansi teknis kehutanan selalu menyatakan bahwa kewenangan penegakan hukum hanya ada di Kepolisian dan Kejaksaan.
2.      Gap antara kebutuhan industri perkayuan dan ketersediaan kayu di hutan
Industri perkayuan di Kalimantan Timur misalnya, memiliki kapasitas produksi sebesar 9,1 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sementara saat ini Departemen Kehutanan hanya mengeluarkan ijin resmi sebesar 1,5 juta meter kubik kayu setiap tahunnya. Hal ini memicu pemenuhan kebutuhan industri perkayuan dari kayu yang tidak legal. Bahkan ketika industri kehutanan mengalami keterpurukannya, dimana 128 industri kehutanan berhutang hingga 22 triliun rupiah, pemerintah masih terus memberikan bantuan kepada pengusaha kehutanan dengan berbagai fasilitas dan suntikan uang rakyat bagi industri kehutanan.
3.      Ketidakpastian tenurial memicu pengrusakan sosial dan budaya masyarakat
Permasalahan tenurial telah menjadi titik kunci dari terus terjadinya pengrusakan hutan, dimana ketidakpastian tenurial telah membuat masyarakat terpaksa melepaskan kawasan kelolanya kepada pengusaha yang berimplikasi pada pelepaspaksaan budaya dan ikatan batin dengan kawasan kelola.
4.      Korupsi yang mengakar
Korupsi merupakan sebuah akar dari keseluruhan permasalahan negeri. Korupsi di sektor kehutanan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dengan tidak melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan, pemberian ijin yang tidak sesuai dengan kondisi aktual kawasan, kolusi dalam pemberian jatah tebang tahunan, menerima upeti dari penebang kayu tak berijin, hingga melakukan pembiaran terhadap pengrusakan hutan. Dampak kerusakan hutan di Indonesia menurut data dari Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan bahwa luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun, bahkan sejumlah laporan menyebutkan antara 1,6 sampai 2,4 hutan Indonesia hilang setiap tahunnya atau sama dengan luas enam kali lapangan bola hilang setiap menitnya (ICEL-Indonesian for Center Environmental Law, 19- 10-2003:2). Data terbaru dari Departemen Kehutanan (dikutip dari buku Andriana, 2004:1 dalam Nurdjana 2005:5 dalam Darsono, 2006) menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar pertahun dan negara telah kehilangan Rp 83 miliar per hari akibat illegal logging.
Seperti diketahui bahwa illegal logging mempunyai dampak yang cukup serius, baik itu dari segi sosial maupun ekonomi bahkan terhadap ekologi. Penanganan illegal logging tidak dapat jika hanya ditangani di dalam negeri, tetapi juga harus melibatkan luar negeri, karena illegal logging sangat terkait erat dengan banyaknya permintaan kayu dari luar negeri. Namun demikian masih terdapat cara-cara dalam rangka menanggulangi illegal logging. Pertama secara prefentif, yaitu cara-cara yang dilakukan dengan jalan pencegahan dan cara ini telah ditempuh oleh Departemen Kehutanan dengan melakukan hal – hal sebagai berikut:
1.      Menerbitkan SK Menhut. No.:541/Kpts-II/2002, yang isinya antara lain mencabut SK Menhut. No.: 05.1/Kpts-II/2000, untuk menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati / Walikota dalam menerbitkan HPH / Ijin pemanfaatan hasil hutan.
2.      Menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.: 1132/Kpts-II/2001 dan No.: 292/MPP/Kep/10/2001, tenang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih yang dikuatkan dengan PP No.: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log dari Indonesia.
3.      Kerjasama dengan negara lain, yaitu penandatanganan MOU dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan Pemerintah RRC pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan illegal trade.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah dilakukan, namun pada kenyataannya langkah-langkah itu belum efektif dan oleh karena itu perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Penegakan hukum yang tegas dan nyata dan tinggalkan perlakuan diskriminatif. Siapa yang terlibat harus ditindak, tanpa terkecuali.
2.      Pemberdayaan masyarakat disekitar hutan. Meskipun Perum Perhutani telah melaksanakan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namum demikian masih sangat perlu dukungan dari Pemerintah Daerah, karena dengan adanya Undang-undang otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang penuh untuk melangsungkan pembangunan berkelanjutan.
3.      Pemberantasan terhadap pedagang-pedagang sebagai penadah kayu dan industri-industri kayu yang menggunakan bahan baku kayu dari hasil illegal logging secara kontinu dan terprogram dengan melibatkan berbagai unsure dalam masyarakat.
4.      Memberikan penghargaan pada masyarakat atau aparat yang dapat menunjukkan atau menangkap pedagang – pedagang dan industri – industri yang menggunakan kayu dari hasil illegal logging.
5.      Penebangan liar bukanlah merupakan masalah yang berdiri sendiri atau tanggung jawab Departemen Kehutanan (untuk Pulau Jawa termasuk Perum Perhutani), akan tetapi merupakan masalah bersama yang harus diselesaikan dengan melibatkan instansi-instansi yang terkait termasuk Departemen Industri dan Perdagangan.



DAFTAR PUSTAKA

Darsono, Valentius, MS. Drs. 2006. Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Issue Kehutanan Masa Kini. [terhubung berkala] http://kyotoreview.cseas.Kyoto u.ac.jp/issue/issue1/article_178_p.html ICEL-Indonesian for Center Environmental Law, 19- 10-2003:2) [diakses tanggal 11 Mei 2004].

Pemberantasan pembalakan liar [terhubung berkala] http ://www.dephut.go.id. Departemen Kehutanan Koordinasi dengan Mabes TNI Dalam Pemberantasan Penebangan Liar. Siaran Pers Nomor. 51/II.PIK-1/2003. [Diakses tanggal 4 April 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger