Kamis, 15 Maret 2012

MAKALAH PENGELOLAAN NUTRISI HUTAN



MAKALAH
MATA KULIAH PENGELOLAAN NUTRISI HUTAN

TEKNIK PENGELOLAAN KESUBURAN TANAH SULFAT MASAM

Oleh:
Jajang Roni Aunul Kholik      (E14090090)


Dosen:
Dr. Ir. Basuki Wasis




ipb_logo











DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Luas lahan rawa Indonesia saat ini mencapai ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun 1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) (Widjaja-Adhi, 1995a dalam Rohim, 2009). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian dan kehutanan, seperti: perumahan, jalan raya, industry, dan pembangunan lainnya.
Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dengan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang, dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dalam Rohim, 2009). Teknologi yang sesuai untuk pengelolaan tanah dan air tersebut antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model usaha tani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu: modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten dan berkelanjutan.
Berbagai kegagalan telah didokumentasikan, namun keberhasilan juga telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak perlu terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian, sehingga perhatian berupa investasi, terutama pihak swasta dalam pemanfaatan lahan rawa yang seyogyanya dapat lebih ditingkatkan.

1.2     Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui permasalahan-permasalahan umum yang sering terjadi pada tanah sulfat masam.
2.      Mengetahui proses kimia yang terjadi pada tanah sulfat masam.
3.      Mengetahui teknik pengelolaan kesuburan pada tanah sulfat masam diantaranya dengan cara pengelolaan bahan organik, teknologi ameliorasi dan pemupukan pada lahan sulfat masam, pengelolaan tanah dan air, dan pengelolaan lahan sulfat masam melalui aktivitas mikroorganisme.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Permasalahan Pada Tanah Sulfat Masam
Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan sebagai lempung yang berwarna seperti warna pada bulu kucing, yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm, memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm.
Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986 dalam Rohim, 2009).
Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan sangat terbatas dengan hasil rendah.

Proses kimia pada tanah sulfat masam
Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit.
a.      Proses reduksi
Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah: pembentukan pirit dan reduksi sulfat.
Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972 dalam Noorginayuwati, et al, 2006). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu :
(1)    Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat masam sehingga lingkungan bertambah masam.
(2)    Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang.
(3)    Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri.
(4)    Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut.
(5)    Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Noorginayuwati, 2006).
Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar netral. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
Gejala keracunan zat besi pada tanaman: a. Daun tanaman menguning jingga; b. Pucuk daun mongering; c. Tanamannya kerdil; d. Hasil tanaman rendah. Sedangkan Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah: a. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman; b. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air; c. Ada lapisan merah di pinggiran saluran.
Tingkat kemasaman tanah diukur dengan angka pH. Makin rendah angka pH, makin asam air atau tanahnya. Tanaman padi menyukai pH antara 5-6 dan padi tidak dapat hidup jika berada pada pH di bawah 3. Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam, penggenangan akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa minggu. Pada kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+. Ada tanah sulfat masam muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0 berkaitan dengan tingkat pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida besi feri.
Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986) dalam Noorginayuwati (2006), tanah sulfat masam yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton.
Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam Noorginayuwati, 2006).
b. Proses oksidasi
Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi.
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. Van Breemen (1976) dalam Noorginayuwati (2006) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
Kandungan pirit di tanah sulfat masam temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah sulfat masam dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah sulfat masam yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove.
Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5),>4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap.

Macam dan Jenis Tanah Sulfat Masam
Sulfat masam potensial
Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat.
Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah.
Sulfat masam aktual
Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas berreaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim.
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g tanah).


2.2   Pengelolaan Kesuburan Pada Tanah Sulfat Masam
a. Pengelolaan Bahan Organik
Pengelolaan bahan organik di lahan sulfat masam memegang peranan penting. Walaupun pada umumnya kadar bahan organik di lahan sulfat masam cukup tinggi, khususnya yang berasosiasi dnegan gambut, tetapi di beberapa tempat kadar bahan organik tanah mengalami kemerosotan karena pembakaran atau terbakar, perombakan alamiah, terangkut melalui tanaman, dan tererosi/terlindi. Penyiapan lahan dengan membakar umum, tidak saja dilakukan oleh petani atau peladangyang miskin, tetapi juga oleh perusahaan perkebunan yang bermodal besar karena dianggap mudah dan lebih murah.
Bahan organik tidak hanya berperanan dalam memperbaiki fisik tanah, tetapi sekaligus berperan dalam menekan oksidasi pirit. Dalam konteks tanah sulfat masam, kompos humus (bahan organik) mempunyai fungsi untuk menurunkan atau mempertahankan suasana reduksi karena dapat mempertahankan kebasahan tanah sehingga oksidasi pirit dapat ditekan. Penekanan terhadap oksidasi pirit ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman yang peka terhadap peningkatan kemasaman dan kadar meracun kation-kation seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, dan anion-anion seperti sulfida dan sisa-sisa asam organik.
Penyiapan lahan secara konvensional oleh petani petani tradisional dengan sistem tajak-puntal-hambur sebagaimana dkemukakan di atas merupakan kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam pengelolaan bahan organik yang patut dikembangkan. Proses pengomposan praktis diserahkan kepada kebesaran alam dengan memanfaatkan mikroorganisme perombak anaerob. Hasil analisis kompos dari purun (Eleocharis sp.), bura-bura (Panicum repens), kerisan (Rhynchospora corymbosa) menunjukkan mengandung rata-rata 31,74 % organik karbon, 1,96 % N, 0,68 % P, dan 0,64 % K (Balittra, 2001 dalam Noorginayuwati, 2006).
Kadar bahan organik tanah di sulfat masam perlu dipertahankan pada taraf 5 %, terutama pada tipe luapan c untuk mempertahankan kebasahan tanah dan potensial redoks. Pada lahan sulfat masam yang lapisan atasnya berupa gambut atau lahan-lahan gambut yang dibawahnya terdapat lapisan pirit keberadaan lapisan piritnya perlu dipertahankan setebal antara 15-25 cm (Noor, 2001). Lahan-lahan gambut yang mempunyai lapisan pirit di bawahnya (seperti jenis tanah Sulfihemist, dan Sulfohemist) merupakan lahan yang sangat berbahaya dan beresiko serta sukar penulihan kembali apabila terdegradasi bila dibandingkan jenis lahan sulfat masam seperti Sulfaquent. Produktivitas dan kesuburan tanah rawa pasang surut berkaitan erat dengan ketebalan lapisan gambut atau kadar bahan organik tanah (Hardjowigeno, S. 1986)
b. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam
Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Hardjowigeno, S., 1986) adalah: 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7) waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu: 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu.
Menurut Mc. Lean (1982 dalam Hardjowigeno, S. 1986), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin. Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya.
c. Pengelolaan Tanah dan Air
Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.
a. Jaringan Tata Air Makro
Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Subagyo, 1996).
Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi (1996) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.
Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan.
Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran.
Selain itu, penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Subagyo (1996) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi.
Untuk mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai dilakukan di tingkat tersier ke bawah.
b.   Jaringan  Tata Air Mikro
Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian bahan racun, Subagyo (1996) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun.
Hasil penelitian Subagyo et al. (1996), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyo et al. (1996) pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari hujan maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan.
Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyo et al., 1996). Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Fe2+, sulfat, dan Al3+ keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih baik.
c. Penataan Lahan
Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan.
Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.
Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel diatas ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya.
d. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Melalui Aktivitas Mikroorganisme
Tanah sulfat masam merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak terdapat di daerah rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem, bagi tanah, kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan tersebut. Sabiham (2007) menyebutkan bahwa senyawa pirit tersebut merupakan sumber masalah pada tanah tersebut.
Dilihat dari luasan, topografi, dan ketersediaan air, lahan tersebut sebenarnya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan dan tahunan. Di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 6,7 ha lahan berpirit tersebut, yang tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera, dan Irian (Sabiham, 2007). Topografi termasuk kategori datar (<3%), yang bervariasi tergantung tipe luapan air. Sebagian lahan tersebut telah dibuka untuk pemukiman transmigrasi, dan ditanami padi, palawija dan buah-buahan dengan hasil yang bervariasi, dan umumnya dibawah potensi produksi tanaman.
Pembukaan lahan pada tanah tersebut selalu dibarengi dengan pembuatan saluran air untuk kepentingan transportasi dan dranase/irigasi kawasan tersebut. Tapi dalam kenyataannya, pengelolaan air tak terkendali dengan baik. Permukaan air tanah turun di bawah permukaan lapisan pirit, terutama pada musim kemarau. Akibatnya terjadi oksidasi senyawa pirit, yang menghasilkan asam sulfat, membuat pH tanah sangat masam. Kemasaman yang rendah tersebut berdampak negatif terhadap sifat kimia tanah dan aktivitas mikroba tanah. Tanah-tanah yang sudah teroksidasi ini, bila tergenang pada musim hujan, akan terjadi proses reduksi. Proses tersebut meningkatkan pembentukan besi ferro dan sulfida, yang dapat meracuni tanaman padi.
Dilihat dari potensi dan dampaknya, maka tanah tersebut membutuhkan pengelolaan yang tepat dan terintregasi dari berbagai aspek. Untuk itu perlu dipelajari proses-proses oksidasi dan reduksi dari senyawa pirit tersebut agar diketahui cara-cara pengelolaannya yang sesuai. Reaksi oksidasi dan reduksi pada tanah tersebut dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika tanah. Ditinjau dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp. Sedangkan dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S sangat ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi sulfat Desulfovibro sp. Karena itu dalam pengelolaan tanah sulfat masam dapat didekati melalui pemanfaatan peranan kedua bakteri tersebut. Namun aktivitas kedua bakteri tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, karena adanya saling ketergantungan satu sama lain antara bakteri dan lingkungannya.
Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi.
Dalam proses oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui mikroorganisma dapat didekati dengan cara mencegah atau memperlambat terjadi proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut, melalui:
1.      Pemberian bakterisida. Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang spesifik. Hasil pengujian Sabiham (2007) mendapatkan bahwa bakterisida seperti Panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichlorophenylmethane) dan deterjen efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Arkesteyn (1980), pemberian NaN3 dan N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So.
2.      Mengurangi suplai oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat. Menurut Sabiham (2007) adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari 1. Kemasaman ini menyebabkan masalah pada organisme lain dan melarutkan logam-logam berat, sehingga lahan tidak layak digunakan untuk pertanian, tetapi berguna untuk menghambat Streptomyces scabies penyebab penyakit pada kentang. Kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55oC (optimal 30oC), pH 1.5-5.0 (optimal 3.3).
3.      Pemberian kapur, sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi terhambat, karena meningkatnya populasi bakteri lainnya yang dapat menyaingi dalam pengambilan berbagai kebutuhan hidupnya seperti oksigen dan lainnya. Menurut Mills (2002), terjadi suksesi bakteri dengan perubahan pH tanah. pH yang cocok untuk habitat Thiobacillus ferrooxidans adalah 1,5-3,5, dengan suhu optimal 30-35oC. Pada pH 3,5-4,5 didominasi oleh bakteri metalogenium, sedangkan pada pH netral didominasi oleh bakteri Thiobacillus thioparus. Selain itu, adanya ion Ca yang berasal dari kapur akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga menurunkan aktivitas ion sulfat.

BAB III
KESIMPULAN

Permasalahan utama pada tanah sulfat masam adalah adanya kondisi tanah yang tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah terhambat.
Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Pembentukan pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif.
Macam dan jenis tanah sulfat masam terdiri dari 2 jenis, yaitu: sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Madjid Rohim. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Palembang: Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Noorginayuwati, A.Rafiq, Yanti R., M. Alwi, A. Jumberi. 2006. Penggalian Kearifan Lokal Petani untuk Pengembangan Lahan Tanah Sulfat Masam di Kalimantan. Kalimantan: Laporan Hasil Penelitian Balittra.
Sabiham, S. 2007. Pengembangan Lahan Secara berkelanjutan Sebagai Dasar dalam Pengelolaan Lahan Sulfat masam di Indonesia. Makalah Utama disimpulkan pada Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa di kapuas, tanggal 3-4 juli tahun 2007.
Subagyo, Marsoedi dan Karama, S. 1996. Prospek Pengembangan Lahan Tanah Masam untuk Pertanian dalam Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan, 26 September 1996, Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger