MAKALAH
MATA KULIAH PENGELOLAAN NUTRISI HUTAN
“TEKNIK PENGELOLAAN
KESUBURAN TANAH SULFAT MASAM”
Oleh:
Jajang Roni Aunul Kholik (E14090090)
Dosen:
Dr. Ir. Basuki Wasis
DEPARTEMEN
SILVIKULTUR
FAKULTAS
KEHUTANAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lahan rawa di
Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera,
Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Luas lahan rawa Indonesia saat ini mencapai
± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha
dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan
berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I
(orde baru) sekitar tahun 1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang
Surut (P4S) (Widjaja-Adhi, 1995a dalam Rohim, 2009). Pemanfaatan lahan pasang
surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam mengimbangi
penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan untuk pembangunan
sektor non pertanian dan kehutanan, seperti: perumahan, jalan raya, industry,
dan pembangunan lainnya.
Pengembangan lahan
rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dengan
penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat.
Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang, dan pengelolaan yang sesuai
dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan
lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dalam Rohim, 2009). Teknologi
yang sesuai untuk pengelolaan tanah dan air tersebut antara lain adalah
teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan
pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan
penyakit, dan model usaha tani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa
umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa
kendala yaitu: modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas,
kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam
pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten dan berkelanjutan.
Berbagai kegagalan
telah didokumentasikan, namun keberhasilan juga telah dicapai sepanjang
pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor akibat reklamasi yang kurang
tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak perlu terulang lagi dalam
pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk pengembangan pertanian.
Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk
menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan agribisnis yang
menjadi program utama sektor pertanian, sehingga perhatian berupa investasi,
terutama pihak swasta dalam pemanfaatan lahan rawa yang seyogyanya dapat lebih
ditingkatkan.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
permasalahan-permasalahan umum yang sering terjadi pada tanah sulfat masam.
2.
Mengetahui proses
kimia yang terjadi pada tanah sulfat masam.
3.
Mengetahui teknik
pengelolaan kesuburan pada tanah sulfat masam
diantaranya dengan cara pengelolaan bahan organik, teknologi ameliorasi
dan pemupukan pada lahan sulfat masam, pengelolaan tanah dan air, dan
pengelolaan lahan sulfat masam melalui aktivitas mikroorganisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalahan Pada Tanah Sulfat Masam
Pertama kali tanah
sulfat masam dikenal dengan sebutan cat
clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan
sebagai lempung yang berwarna seperti warna pada bulu kucing, yaitu warna
kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan
senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit.
Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya
bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan
asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH
2-3). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki
lapisan gambut tipis < 20 cm, memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi
(bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50
cm.
Tanah sulfat masam
terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Sulfat masam
potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila tanah mengalami
drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan tidak
berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi
berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran
drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah
dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+.
Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit
berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff,
1986 dalam Rohim, 2009).
Pada kondisi
tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul masalah
keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik.
Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar
tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah
terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada
kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah terhambat.
Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan sangat terbatas dengan
hasil rendah.
Proses kimia pada
tanah sulfat masam
Proses kimia pada
tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama,
proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan
pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun. Kedua,
proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit.
a.
Proses reduksi
Pada kondisi aerob,
sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah: pembentukan pirit dan reduksi sulfat.
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah: pembentukan pirit dan reduksi sulfat.
Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida
yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air
mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat
halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan
Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya
1-4% (Van Breemen, 1972 dalam Noorginayuwati, et al, 2006). Pembentukan pirit memerlukan
persyaratan tertentu :
(1)
Lingkungan anaerob :
Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti
pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh
bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat masam sehingga lingkungan
bertambah masam.
(2)
Sulfat terlarut :
Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang.
(3)
Bahan organik :
Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri
pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi
bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk
berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri.
(4)
Jumlah besi : Tanah
dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak,
yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau
dijerap oleh senyawa organik yang larut.
(5)
Waktu : Waktu yang
diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui.
Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu
bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada
kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam
beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Noorginayuwati, 2006).
Pada kondisi tergenang atau anaerob,
selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga mengandung
karbonat yang berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir
kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar netral. Pirit adalah zat yang
hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada
waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat
kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan
tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi
dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
Gejala keracunan zat besi pada tanaman:
a. Daun tanaman menguning jingga; b. Pucuk daun mongering; c. Tanamannya kerdil;
d. Hasil tanaman rendah. Sedangkan Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah:
a. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman; b. Ada lapisan seperti minyak di
permukaan air; c. Ada lapisan merah di pinggiran saluran.
Tingkat kemasaman
tanah diukur dengan angka pH. Makin rendah angka pH, makin asam air atau
tanahnya. Tanaman padi menyukai pH antara 5-6 dan padi tidak dapat hidup jika
berada pada pH di bawah 3. Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam,
penggenangan akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa
minggu. Pada kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi
Fe2+. Ada tanah sulfat masam muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0
berkaitan dengan tingkat pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam
yang telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan
kadang-kadang tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1)
lambatnya proses reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti
misalnya oksida besi feri.
Pada kondisi pertama,
maka setelah penggenangan tidak akan terjadi perubahan nilai Eh atau pH yang
drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut
Dent (1986) dalam Noorginayuwati (2006), tanah sulfat masam yang sudah tua
mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga
sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid
besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah
penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor elektron
akan mengkonsumsi 4 proton.
Reduksi sulfat. Proses reduksi
sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada
pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi
sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat
masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan
adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk
sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat
meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam Noorginayuwati,
2006).
b. Proses oksidasi
Proses utama yang
terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi
lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di
dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi
tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber
kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang
besar antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang
menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Reaksi oksidasi pirit dengan
oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi
reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen
terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul H+ per
molekul pirit yang dioksidasi.
Pada nilai pH kurang
dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh
1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH,
karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans
tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin
secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di
antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.
Kecepatan oksidasi
pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4,
proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat
oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3)
kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium
karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana
reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah,
berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. Van Breemen (1976) dalam Noorginayuwati (2006) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. Van Breemen (1976) dalam Noorginayuwati (2006) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
Kandungan pirit di
tanah sulfat masam temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang
berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah sulfat masam dibuka untuk
pertanian. Masalahnya dimulai pada saat direklamasi, yaitu dengan penggalian
saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier,
dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah sulfat masam yang semula
basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap
digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase
tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi
kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini
mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di
lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk
dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan
organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan
bakau/mangrove.
Dalam kondisi reduksi,
pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat
penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka
(exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam
sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan
tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5),>4,0), tekstur liat berdebu
sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap.
Macam dan Jenis Tanah
Sulfat Masam
Sulfat masam potensial
Data profil sulfat
masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis,
sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu
tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan
debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara
40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk
liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat.
Reaksi tanah di
seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau
kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung
makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata
sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai
sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang
hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang
bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi
sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Kandungan bahan
organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah bervariasi
sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP dari
Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi sampai sangat
tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di
lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di lapisan atas, dan menurun
menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan bawah. Rasio C/N di
seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan
cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong tinggi (16-24) di
lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah.
Sulfat masam aktual
Data Sulfat Masam
Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan.
Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya
SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut
permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus,
dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah
lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas
berreaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah antara
kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8,
sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim.
Kandungan bahan
organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai sangat tinggi, sehingga
rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata
tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di
lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi,
dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong
tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat
potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari rendah sampai sangat
tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5
lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai sedang, sehingga
rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya kandungan K2O potensial
(HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi di semua lapisan,
sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g tanah).
2.2 Pengelolaan Kesuburan Pada Tanah Sulfat Masam
a. Pengelolaan Bahan
Organik
Pengelolaan
bahan organik di lahan sulfat masam memegang peranan penting. Walaupun pada
umumnya kadar bahan organik di lahan sulfat masam cukup tinggi, khususnya yang
berasosiasi dnegan gambut, tetapi di beberapa tempat kadar bahan organik tanah
mengalami kemerosotan karena pembakaran atau terbakar, perombakan alamiah,
terangkut melalui tanaman, dan tererosi/terlindi. Penyiapan lahan dengan
membakar umum, tidak saja dilakukan oleh petani atau peladangyang miskin,
tetapi juga oleh perusahaan perkebunan yang bermodal besar karena dianggap
mudah dan lebih murah.
Bahan
organik tidak hanya berperanan dalam memperbaiki fisik tanah, tetapi sekaligus
berperan dalam menekan oksidasi pirit. Dalam konteks tanah sulfat masam, kompos
humus (bahan organik) mempunyai fungsi untuk menurunkan atau mempertahankan
suasana reduksi karena dapat mempertahankan kebasahan tanah sehingga oksidasi
pirit dapat ditekan. Penekanan terhadap oksidasi pirit ini penting artinya bagi
pertumbuhan tanaman yang peka terhadap peningkatan kemasaman dan kadar meracun
kation-kation seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, dan
anion-anion seperti sulfida dan sisa-sisa asam organik.
Penyiapan
lahan secara konvensional oleh petani petani tradisional dengan sistem tajak-puntal-hambur
sebagaimana dkemukakan di atas merupakan kearifan lokal (indigenous
knowledge) dalam pengelolaan bahan organik yang patut dikembangkan. Proses
pengomposan praktis diserahkan kepada kebesaran alam dengan memanfaatkan
mikroorganisme perombak anaerob. Hasil analisis kompos dari purun (Eleocharis
sp.), bura-bura (Panicum repens), kerisan (Rhynchospora corymbosa)
menunjukkan mengandung rata-rata 31,74 % organik karbon, 1,96 % N, 0,68 % P,
dan 0,64 % K (Balittra, 2001 dalam Noorginayuwati, 2006).
Kadar
bahan organik tanah di sulfat masam perlu dipertahankan pada taraf 5 %,
terutama pada tipe luapan c untuk mempertahankan kebasahan tanah dan potensial
redoks. Pada lahan sulfat masam yang lapisan atasnya berupa gambut atau
lahan-lahan gambut yang dibawahnya terdapat lapisan pirit keberadaan lapisan
piritnya perlu dipertahankan setebal antara 15-25 cm (Noor, 2001). Lahan-lahan
gambut yang mempunyai lapisan pirit di bawahnya (seperti jenis tanah Sulfihemist,
dan Sulfohemist) merupakan lahan yang sangat berbahaya dan beresiko
serta sukar penulihan kembali apabila terdegradasi bila dibandingkan jenis
lahan sulfat masam seperti Sulfaquent. Produktivitas dan kesuburan tanah
rawa pasang surut berkaitan erat dengan ketebalan lapisan gambut atau kadar
bahan organik tanah (Hardjowigeno, S. 1986)
b. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam
Ameliorasi tanah
sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan
terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah
tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam
biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe,
Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan
kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh
karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk
memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan
amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan
digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk
memenuhi kebutuhan hara P-nya.
Beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam
Hardjowigeno, S., 1986)
adalah: 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3)
kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan
metode kebutuhan kapur, dan 7) waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah
sulfat masam dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu: 1) kebutuhan kapur
berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd.
Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan
kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu
tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan
kapur ditentukan pada nilai pH tertentu.
Menurut Mc. Lean (1982
dalam Hardjowigeno, S.
1986), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K)
sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk
mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan
Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin.
Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian
besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan
reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat
lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak
dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah.
Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar
dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang
menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya.
c. Pengelolaan Tanah dan Air
Pengelolaan tanah dan
air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan
pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam.
Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro,
penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.
a. Jaringan Tata Air Makro
Pengembangan lahan
rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai
dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang
mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian
sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek
lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan
dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Subagyo, 1996).
Sistem reklamasi lahan
rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal Pelita I
di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi
(1996) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro,
yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan
5) kombinasi garpu dengan sisir.
Sistem jaringan tata
air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada tipologi
lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan
menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem
terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara
pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi).
Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup
ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan
karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus
sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu
lurus dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi
seperti ini umumnya berhasil dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa,
terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan.
Selanjutnya dalam
pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata
letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan
kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan
saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya.
Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir
dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam
proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke
sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan
sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan muka
air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan
sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan
kemasaman (pH) air di saluran.
Selain itu, penurunan
permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible
drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence)
dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran
dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik
yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Subagyo (1996) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari
jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2)
sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai
konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi.
Untuk mencapai
jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola
pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase,
pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi
jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan
mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder mungkin
fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak dianjurkan.
Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti dilahan ex-PLG
sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi masyarakat sekitar
sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai dilakukan di
tingkat tersier ke bawah.
b.
Jaringan Tata Air
Mikro
Sistem pengelolaan
tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi
tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah
terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4)
mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di
saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang
sekaligus memperlancar pencucian bahan racun, Subagyo (1996) menganjurkan
pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan.
Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan
pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun.
Hasil penelitian
Subagyo et al. (1996), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas
pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan
interval 3-12 m dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi
lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak antar
saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyo et al. (1996)
pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan memasukkan air ke
petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah
pengolahan tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan baik apabila
terdapat cukup air segar, baik dari hujan maupun dari air pasang. Oleh karena
itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang
besar.
Pengelolaan air
tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1)
memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara
tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang
bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin
ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro
tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan.
Penataan air di lahan
petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system)
dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow system).
Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah
sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyo et al., 1996).
Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan berjalan
efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam
kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Pada sistem aliran
satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara terpisah. Pintu
klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi pintu
klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu klep membuka ke
arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan efektif. Pencucian
lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Fe2+,
sulfat, dan Al3+ keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih
baik.
c. Penataan Lahan
Penataan lahan perlu
dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan
antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada
tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan
sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi
dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola
pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan.
Sistem surjan dapat
digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah
sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya
dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan
tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari
oksidasi pirit.
Sistem surjan adalah
salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman
dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan
dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9
tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan
palawija, sayuran, dan tanaman industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel
diatas ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi
lahan dan tipe luapan. Sistem surjan baik dilakukan pada tipe luapan B dan C
sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk
tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola
pemanfaatan lahannya.
d. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Melalui Aktivitas
Mikroorganisme
Tanah sulfat masam
merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak
terdapat di daerah rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme
sangat berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang
senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan
memunculkan problem, bagi tanah, kualitas kimia perairan dan biota-biota yang
berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun yang berada di badan-badan air,
dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan tersebut. Sabiham (2007) menyebutkan
bahwa senyawa pirit tersebut merupakan sumber masalah pada tanah tersebut.
Dilihat dari luasan,
topografi, dan ketersediaan air, lahan tersebut sebenarnya mempunyai potensi
untuk pengembangan tanaman pangan dan tahunan. Di Indonesia, diperkirakan
terdapat sekitar 6,7 ha lahan berpirit tersebut, yang tersebar di pulau
Kalimantan, Sumatera, dan Irian (Sabiham, 2007). Topografi termasuk kategori
datar (<3%), yang bervariasi tergantung tipe luapan air. Sebagian lahan
tersebut telah dibuka untuk pemukiman transmigrasi, dan ditanami padi, palawija
dan buah-buahan dengan hasil yang bervariasi, dan umumnya dibawah potensi
produksi tanaman.
Pembukaan lahan pada
tanah tersebut selalu dibarengi dengan pembuatan saluran air untuk kepentingan
transportasi dan dranase/irigasi kawasan tersebut. Tapi dalam kenyataannya,
pengelolaan air tak terkendali dengan baik. Permukaan air tanah turun di bawah
permukaan lapisan pirit, terutama pada musim kemarau. Akibatnya terjadi
oksidasi senyawa pirit, yang menghasilkan asam sulfat, membuat pH tanah sangat
masam. Kemasaman yang rendah tersebut berdampak negatif terhadap sifat kimia
tanah dan aktivitas mikroba tanah. Tanah-tanah yang sudah teroksidasi ini, bila
tergenang pada musim hujan, akan terjadi proses reduksi. Proses tersebut
meningkatkan pembentukan besi ferro dan sulfida, yang dapat meracuni tanaman
padi.
Dilihat dari potensi
dan dampaknya, maka tanah tersebut membutuhkan pengelolaan yang tepat dan
terintregasi dari berbagai aspek. Untuk itu perlu dipelajari proses-proses
oksidasi dan reduksi dari senyawa pirit tersebut agar diketahui cara-cara
pengelolaannya yang sesuai. Reaksi oksidasi dan reduksi pada tanah tersebut
dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika tanah. Ditinjau
dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan
oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp.
Sedangkan dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S sangat
ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi sulfat Desulfovibro sp.
Karena itu dalam pengelolaan tanah sulfat masam dapat didekati melalui
pemanfaatan peranan kedua bakteri tersebut. Namun aktivitas kedua bakteri
tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, karena adanya saling ketergantungan
satu sama lain antara bakteri dan lingkungannya.
Adanya proses oksidasi
senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai
dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu
perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan
seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi.
Dalam proses
oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari
mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui
mikroorganisma dapat didekati dengan cara mencegah atau memperlambat terjadi
proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut,
melalui:
1.
Pemberian bakterisida.
Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang
spesifik. Hasil pengujian Sabiham (2007) mendapatkan bahwa bakterisida seperti
Panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichlorophenylmethane) dan deterjen
efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Arkesteyn (1980), pemberian NaN3 dan
N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So.
2.
Mengurangi suplai
oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat.
Menurut Sabiham (2007) adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari
1. Kemasaman ini menyebabkan masalah pada organisme lain dan melarutkan
logam-logam berat, sehingga lahan tidak layak digunakan untuk pertanian, tetapi
berguna untuk menghambat Streptomyces scabies penyebab penyakit pada
kentang. Kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk
oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen
> 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55oC (optimal 30oC),
pH 1.5-5.0 (optimal 3.3).
3.
Pemberian kapur,
sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi
terhambat, karena meningkatnya populasi bakteri lainnya yang dapat menyaingi
dalam pengambilan berbagai kebutuhan hidupnya seperti oksigen dan lainnya.
Menurut Mills (2002), terjadi suksesi bakteri dengan perubahan pH tanah. pH
yang cocok untuk habitat Thiobacillus ferrooxidans adalah 1,5-3,5,
dengan suhu optimal 30-35oC. Pada pH 3,5-4,5 didominasi oleh bakteri
metalogenium, sedangkan pada pH netral didominasi oleh bakteri
Thiobacillus thioparus. Selain itu, adanya ion Ca yang berasal dari kapur
akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga
menurunkan aktivitas ion sulfat.
BAB III
KESIMPULAN
Permasalahan utama
pada tanah sulfat masam adalah adanya kondisi tanah yang tergenang, kemasaman tanah dapat
dikurangi namun disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn,
Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai
adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena
tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase
tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme tanah terhambat.
Proses reduksi sulfat
menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di
bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Pembentukan pirit (FeS2) adalah mineral berkristal
kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya
bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Proses utama yang terjadi bila tanah
sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui
pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat
masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara
perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah
bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif.
Macam dan jenis tanah sulfat masam terdiri dari 2
jenis, yaitu: sulfat masam
potensial dan sulfat masam aktual. Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan
adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh
lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera
mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang
tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis
yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur
tua, 1974-1978.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Madjid Rohim. 2009. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Palembang: Program Studi Ilmu
Tanaman, Program Pascasarjana, Universitas
Sriwijaya.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya
fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Noorginayuwati, A.Rafiq, Yanti R., M. Alwi, A. Jumberi. 2006. Penggalian Kearifan Lokal Petani untuk Pengembangan
Lahan Tanah Sulfat Masam di Kalimantan. Kalimantan: Laporan Hasil Penelitian Balittra.
Sabiham, S. 2007. Pengembangan Lahan Secara berkelanjutan Sebagai Dasar
dalam Pengelolaan Lahan Sulfat masam di Indonesia. Makalah Utama disimpulkan
pada Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa di kapuas, tanggal 3-4 juli tahun 2007.
Subagyo, Marsoedi dan Karama, S. 1996. Prospek Pengembangan Lahan Tanah
Masam untuk Pertanian dalam Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan, 26
September 1996, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar