Nama : Jajang Roni Aunul Kholik Selasa, 21 September 2010
NRP : E14090090
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Kehutanan dan Etika Lingkungan
Dosen : Prof. Dr. Ir. H. Endang Suhendang, MS.
MANFAAT HUTAN DALAM PERDAGANGAN KARBON
Irwanto, S. Hut., 2010
Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark, pada tanggal 7-18 Desember 2009, walaupun gagal menandatangani dokumen terakhir yang berdaya mengikat secara hukum, namun telah meletakkan dasar yang kokoh bagi peningkatan kerjasama komunitas internasional. Kopenhagen akan menjadi titik tolak baru penanggapan perubahan iklim.
Melalui upaya bersama berbagai pihak, Konferensi Kopenhagen dengan tegas memelihara kerangka dan prinsip yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB dan Protokol Kyoto, sementara itu, mengayunkan langkah baru dalam mendorong negara-negara maju secara wajib melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan negara-negara berkembang secara inisiatif mengambil aksi pengurangan emisi. Konferensi mencapai kesepahaman luas mengenai target jangka panjang global, dukungan dana dan teknologi serta transparansi terkait. Persetujuan Kopenhagen yang diterima baik para peserta konferensi telah meletakkan dasar bagi berbagai negara di dunia untuk mencapai persetujuan global pertama dalam arti sesungguhnya mengenai pembatasan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Persetujuan Kopenhagen akan diserahkan berbagai negara kepada lembaga legislatif negeri masing-masing untuk disahkan pada Januari tahun 2010, agar persetujuan tersebut dapat disahkan sebagai dokumen hukum dalam konferensi iklim yang akan digelar di Kota Meksiko tahun 2010 mendatang.
Persetujuan yang dilakukan pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro melalui Protokol Kyoto sepakat untuk mengurangi emisi pencemaran udara (gas rumah kaca/GRK) sebesar rata-rata 5,3% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode komitmen pertama antara tahun 2008-2012. Sebenarnya emisi gas yang dimaksud dalam Protokol Kyoto bukan hanya karbon tetapi juga hidrokarbon, metan, nitrogen oksida, hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon, akan tetapi dalam perkembangannya seluruh gas tersebut dinyatakan dengan ekivalen karbon.
Dalam kaitan ini yang tidak mudah adalah kesepakatan untuk menentukan kriteria untuk menghitung jumlah biaya dan besarnya unit reduksi emisi yang diperjual belikan. Terlebih lagi salah satu persyaratan perdagangan karbon adalah Certified Emission Reduction yang dilakukan oleh Supervisory Executive Board Smits memberitahukan bahwa Yayasan Gibbon dan The Balikpapan Orang utan Survival Foundation telah memulai bermain dalam perdagangan karbon di Kalimantan. Dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki, lembaga tersebut bisa meyakinkan kepada pihak pembeli, sehingga mendapatkan pembiayaan untuk membangun hutannya bersama dengan masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepala keluarga. Harga jual karbon yang saat ini berlaku adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun. Kunci keberhasilannya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan. Pekerjaan ini berarti sudah bersifat resource and community based management. (Marsono, 2004)
Namun perdagangan karbon lewat jalur clean development mechanism (CDM) dianggap terlalu rumit. Kerumitan tersebut misalnya, dalam hal kriteria perlunya pemantauan agar penyerapan dan pelepasan karbon suatu lahan yang sudah ditanami kembali dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun kemudian. Sekalipun rumit diterapkan di Indonesia, negara lain yang memperoleh manfaat dari CDM, antara lain Filipina dan Brasil.
Setelah sulit menerapkan clean development mechanism (CDM), membuat Indonesia beralih ke jalur reduced emission from deforestation and degradation (REDD). Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat dari upaya pemeliharaan terhadap hutan untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD) menjelaskan bahwa REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sedangkan Perdagangan Karbon didefinisikan sebagai kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Daftar Pustaka:
Irwanto. 2010. Manfaat Hutan dalam Perdagangan Karbon. [Terhubung berkala] http://www.irwantoshut.com/carbon_trade_indonesia_forests.html [31 Agustus 2010]
INDONESIA GAGAL MANFAATKAN KARBON
Irwanto, S. Hut., 2010
Menjaga hutan sangat penting untuk mengendalikan emisi karbon dan juga dapat menguntungkan negara Indonesia dalam perdagangan karbon di dunia. Indonesia gagal memperoleh manfaat dari perdagangan karbon lewat jalur clean development mechanism (CDM). Kegagalan itu membuat Indonesia beralih ke jalur reduced emission from deforestation and degradation (REDD) yang saat ini mekanismenya masih dalam pembahasan di tingkat nasional ataupun global.
Peneliti bidang ekologi dari LIPI, Dr. Herwint Simbolon, kepada SP saat workshop Wild Fire Management in Peat Forest in Central Kalimantan di Jakarta, Kamis (5/3) mengatakan, kegagalan itu disebabkan rumitnya sistem perdagangan karbon lewat jalur CDM. Kerumitan itu misalnya, dalam hal kriteria. Suatu lahan yang sudah ditanami kembali, perlu dipantau agar penyerapan dan pelepasan karbon di lahan tersebut dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun kemudian.
Seperti diketahui, jalur CDM memperhitungkan perdagangan karbon melalui penanaman kembali lahan yang rusak. Emisi karbon yang bisa dikendalikan dengan penanaman itu dikonversikan dengan nilai/harga karbon secara global. Sektor yang bertanggung jawab di bidang penanaman kembali atau penghijauan ini adalah Departemen Kehutanan. "Harnpir tidak ada penghijauan, karena kriteria yang dipakai berat, juga kesulitan dalam lokasi dan manajemennya," ujar Simbolon.
Sekalipun sulit diterapkan di Indonesia, negara lain yang memperoleh manfaat dari CDM, antara lain Filipina dan Brasil. Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat. REDD merupakan upaya pemeliharaan terhadap hutan di suatu negara untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.
Terkait dengan persiapan itu, menurut Dr. Simbolon, Indonesia bekerja sama dengan Jepang dan Australia. Dari kerja sama itu, Indonesia diharapkan bisa melakukan pernantauan dan penghitungan karbon dari tahun ke tahun. Di samping itu, permasalahan yang belum bisa diselesaikan terkait dengan REDD adalah pihak atau institusi mana yang akan menerima keuntungan dari upaya pemeliharaan lahan. "Apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau perorangan yang menerima manfaat tersebut. dan besaran yang diterima juga belum ditentukan," kata Simbolon.
Daftar Pustaka:
Irwanto. 2010. Indonesia Gagal Manfaatkan Karbon. [Terhubung berkala] http://www.irwantoshut.com/global_warming1.html [31 Agustus 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar