Kamis, 15 Maret 2012

SUKSESI HUTAN MANGROVE PULAU MARSEGU


SUKSESI HUTAN MANGROVE PULAU MARSEGU
Oleh : Irwanto, 2007
1. SUKSESI
            Suksesi tumbuhan adalah penggantian suatu komunitas tumbuh-tumbuhan oleh yang lain. Hal ini dapat terjadi pada tahap integrasi lambat ketika tempat tumbuh mula-mula sangat keras sehingga sedikit tumbuhan dapat tumbuh diatasnya, atau suksesi tersebut dapat terjadi sangat cepat ketika suatu komunitas dirusak oleh suatu faktor seperti api, banjir, atau epidemi serangga dan diganti oleh yang lain (Daniel, et al, 1992).
            Perubahan bersifat kontinu, rentetan suatu perkembangan komunitas yang merupakan suatu sera dan mengarah ke suatu keadaan yang mantap (stabil) dan permanen yang disebut klimaks. Tansley (1920) mendefinisikan suksesi sebagai perubahan tahap demi tahap yang terjadi dalam vegetasi pada suatu kecendrungan daerah pada permukaan bumi dari suatu populasi berganti dengan yang lain. Clements (1916) membedakan enam sub-komponen : (a) nudation; (b) migrasi; (c) excesis; (d) kompetisi; (e) reaksi; (f) final stabilisasi, klimaks. Uraian Clements mengenai suksesi masih tetap berlaku. Bagaimanapun sesuatu mungkin menekankan subproses yang lain, contohnya perubahan angka dalam populasi merubah bentuk hidup integrasi atau perubahan dari genetik adaptasi populasi dalam aliran evolusi.
            Suksesi sebagai suatu studi orientasi yang memperhatikan semua perubahan dalam vegetasi yang terjadi pada habitat sama dalam suatu perjalanan waktu (Mueller-Dombois and Ellenberg, 1974). Selanjutnya dikatakan bahwa suksesi ada dua tipe, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Perbedaaan dua tipe suksesi ini terletak pada kondisi habitat awal proses suksesi terjadi. Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal, terbentuk habitat baru. Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas atau ekosistem alami terganggu baik secara alami atau buatan dan gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada.
            Laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies berlangsung dengan cepat pada fase awal suksesi, kemudian menurun pada perkembangan berikutnya. Kondisi yang membatasi laju pertumbuhan populasi dan komposisi spesies pada tahap berikutnya adalah faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu. (Marsono dan Sastrosumarto, 1981).
Soerianegara dan Indrawan (1988) menyebutkan dalam pembentukan klimaks terjadi 2 perbedaan pendapat yakni; paham monoklimaks dan paham polylimaks. Paham monoklimaks beranggapan bahwa pada suatu daerah iklim hanya ada satu macam klimaks, yaitu formasi atau vegetasi klimaks iklim saja. Ini berarti klimaks merupakan pencerminan keadaan iklim, karena iklim merupakan faktor yang paling stabil dan berpengaruh.
            Paham polyklimaks mempunyai anggapan bahwa tidak hanya faktor iklim saja, seperti sinar matahari, suhu udara, kelembaban udara dan presipitasi, yang dapat menimbulkan suatu klimaks. Penganut paham ini sebaliknya berpendapat bahwa ada faktor lain yang juga dapat menyebabkan terjadinya klimaks, yaitu edafis dan biotis. Faktor edafis timbul karena pengaruh tanah seperti komposisi tanah, kelembaban tanah, suhu tanah dan keadaan air tanah. Sedangkan biotis adalah faktor yang disebabkan oleh manusia atau hewan, misalnya padang rumput dan sabana tropika. Untuk golongan poliklimaks hutan mangrove merupakan suatu klimaks tersendiri, yakni klimaks edafis dengan kondisi tanah yang khusus.

2. HUTAN MANGROVE
            Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusuma et al, 2003).
            Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusuma et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
            Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et al, 2003).
            Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).
 
3. SUKSESI HUTAN MANGROVE PULAU MARSEGU
            Pulau Marsegu terletak di bagian barat Pulau Seram (Nusa Ina / Pulau Ibu) yang terkenal memiliki Taman Nasional Manusela. Secara Administratif pulau Marsegu termasuk dalam Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Pulau ini diberikan nama oleh masyarakat sebagai “Pulau Marsegu” karena mempunyai satwa Kelelawar yang begitu banyak. Kata Marsegu berasal dari bahasa daerah yang berarti Kelelawar.
            Pulau Marsegu dapat dikatakan sebuah pulau karang, karena sebagian dari pulau ini merupakan daerah berkarang. Di sebelah selatan pulau ini terdapat vegetasi hutan mangrove sedangkan sebelah utara merupakan daerah hutan yang tumbuh di atas karang. Sebelah barat laut merupakan daerah dinding karang yang berbatasan dengan pantai dengan ketinggian antara 8–10 meter. Sedangkan arah timur laut terdapat vegetasi hutan pantai yang mempunyai pantai pasir putih sepanjang 1720 meter. Di bagian utara pantai pasir putih terdapat zone Ipomea pescaprae yang didominasi oleh Ipomea pescaprae dan Spinifex littoreus (rumput angin). Lokasi ini merupakan tempat wisata yang menarik untuk menikmati pemandangan laut dan menghirup udara pantai yang segar
            Seluruh Daratan Pulau Marsegu masih dipengaruhi suasana hembusan angin laut karena titik terjauh dari garis pantai hanya berjarak 500 m. Pulau ini dikelilingi oleh terumbu karang yang beranekawarna dan kaya akan potensi sumberdaya alam laut. Tipe pasang surut daerah Pulau Marsegu merupakan semi diurnal (pasang semi harian) dimana terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dalam satu hari.
            Salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya komunitas hutan mangrove Pulau Marsegu adalah gelombang air yang minimal karena dikelilingi oleh terumbu karang. Daerah yang berdekatan dengan terumbu karang dan sepanjang pantai berkarang, benih mangrove hanya dapat menyangkut dalam celah atau sisi pantai, mungkin hanya ada satu zone dari Rhizophora. (Van stennis dalam Monk et al. 1997).

 
Sketsa Hutan Mangrove Pulau Marsegu

            Hutan mangrove pulau Marsegu dapat dibagi menjadi 3 zona; yaitu zona terdepan, zona pertengahan dan zona belakang/terdalam. Bagian terdepan mangrove dikuasai oleh spesies Rhizophora mucronata Poir, agak kedalam sekitar 20 - 30 meter Rhizophora mucronata Poir sudah bercampur dengan beberapa jenis mangrove lain tetapi masih dalam jumlah relatif kecil. Jenis-jenis tersebut adalah Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia alba Smith, Bruguiera gymnorrhiza Lamk, dan Bruguiera sexangula Poir, jenis-jenis ini masih kalah bersaing dengan dominasi Rhizophora mucronata Poir. Bagian tengah daerah mangrove didominasi berturut-turut oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza Lamk, Ceriops tagal CB Rob, Bruguiera sexangula Poir, Rhizophora apiculata Blume dan Rhizophora mucronata Poir. Bagian terdalam (tengah) didominasi oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza Lamk, Ceriops tagal C B Rob, Rhizophora apiculata Blume, Xylocarpus moluccensis Roem dan Bruguiera sexangula Poir dengan diameter pohon yang lebih besar.
            Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air dan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen, dalam kondisi ini hanya beberapa tumbuhan yang dapat hidup. Kebanyakan tumbuhan dalam hutan mangrove adalah “halofit”, yaitu tumbuhan yang beradaptasi untuk tumbuh dalam habitat yang asin (Ewusie, 1990). Tumbuhan bawah hutan mangrove Pulau Marsegu kadang-kadang ditemukan Acrostichum speciosum.
            Mangrove tropika sering memperlihatkan zonasi spesies dari lahan basah ke lahan yang lebih kering. Zonasi yang pertama sering terdiri dari Rhizophora atau Avicennia. Bila Rhizophora memantapkan diri dalam laguna mulai terjadi suksesi, karena akar tunjang pohon itu mulai menangkap partikel lumpur dan tumbuhan mati. Keadaan ini menyebabkan penimbunan bahan seresah yang membantu meninggikan permukaan tanah apabila tumbuhan Rhizophora tua mati, tempatnya sering digantikan oleh tumbuhan daratan yang lebih lazim yang khas untuk daerah lingkungan laguna itu (Ewusie, 1990).

Proses Suksesi Hutan Mangrove Pulau Marsegu


Mangrove zone terdepan

Mangrove zone terdepan bagian timur
Rhizophora mucronata Poir
Mangrove zone terdepan bagian barat
Perluasan daerah pertumbuhan Rhizophora mucronata Poir ke arah laut .


Mangrove zone pertengahan

Lumnitzera littorea Voigt
Bruguiera sp, Sonneratia sp

Mangrove zone belakang / terdalam
Rhizophora apiculata, Bruguiera sp, Ceriops sp, Xylocarpus sp
Rhizophora apiculata Blume

 Bruguiera sp, Ceriops sp, Xylocarpus sp
Ceriops sp, Bruguiera sp, Rhizophora sp


            Hasil pengujian salinitas air yang terdapat di hutan mangrove menggunakan refraktometer  menunjukkan bahwa air pada zone terdepan/terluar mempunyai salinitas yang hampir sama dengan air yang diambil dari zone bagian belakang/ terdalam hutan mangrove (40 ‰ dan 39 ‰). Ini berarti komunitas hutan mangrove Pulau Marsegu terbentuk dengan salinitas yang tinggi, tidak terdapat sumber air tawar (sungai) yang mengalir ke laut. Faktor ini dapat diketahui dengan jelas bahwa daerah mangrove Pulau Marsegu tidak terdapat jenis Nypa sp, jenis yang biasa tumbuh pada salinitas lebih rendah. Menurut Poedjirahajoe (1996a) Nypa merupakan bagian vegetasi penyusun mangrove yang sering dijumpai di tepian sungai lebih ke arah hulu.
            Kandungan unsur hara pada habitat mangrove lebih tinggi terutama pada daerah pertengahan dan bagian dalam, hal ini disebabkan bentuk perakaran mangove yang beragam dapat menahan sedimen partikel lumpur. Perakaran mangrove mempengaruhi peningkatan ketebalan lumpur, Bahan Organik, Nitrogen (total), Phospat (tersedia), Kalium (tersedia) dan suhu (Poedjirahajoe, 1996b).
            Bila dibandingkan keanekaragaman jenis hutan mangrove dengan komunitas hutan yang ada di pulau Marsegu, keanekaragaman jenisnya sangat rendah. Hal ini disebabkan tumbuhan yang hidup di daerah ini harus beradaptasi dengan genangan air laut dan salinitas yang tinggi. Jenis vegetasi mangrove mempunyai bentuk khusus yang menyebabkan mereka dapat hidup di perairan yang dangkal yaitu mempunyai akar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tundung akarnya yang khas tumbuh dari batang dan atau dahan. Akar-akar dangkal sering memanjang yang disebut ”pneumatofor” ke permukaan subtrat yang memungkinkan mereka mendapatkan oksigen dalam lumpur yang anoksik dimana pohon-pohon ini tumbuh. Daun-daunnya kuat dan mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi. Beberapa jenis tumbuhan mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam (Nybakken, 1988).

DAFTAR PUSTAKA
Clements, F.E. 1916.  Plant Succession. An Analysis of The Development of  Vegetation. Carnegie. Inst. Washington.
Daniel, Th.W., J.A. Helms, F. S. Baker., 1992, Prinsip-Prinsip Silvikultur (Edisi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh : Dr. Ir. Djoko Marsono), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ewusie, J. Y, 1990. Ekologi Tropika. Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik dan Dunia Baru. Penerbit ITB. Bandung.
Hogarth. P. J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford. University Press Inc. New York.
Kusuma, C, Onrizal dan Sudarmaji, 2003. Jenis-Jenis Pohon Mangrove di teluk Bintuni, Papua, Diterbitkan atas kerjasama Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan PT. Bintuni Utama Murni. Wood Industries. Bogor.
Marsono, Dj. dan Sastrosumarto, 1981. Pengaturan Struktur, Komposisi dan Kerapatan Tegakan Hutan Alam dalam Rangka Peningkatan Nilai Hutan  Bekas Tebangan HPH. Makalah Lokakarya Sistem Silvikultur TPI di Bogor. Bogor.
Monk, K.A, Y. de Fretes and G. R. Lilley, 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku.  Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg, 1974, Aims and Methods of Vegetation Ecology, John Wiley & Sons, New York.
Nybakken, J.W, 1998. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Poedjirahajoe, E. 1996a. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Pemalang. Buletin Penelitian Kehutanan No. 29/1996. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Poedjirahajoe, E. 1996b. Peran Perakaran Rhizophora mucronata dalam Perbaikan Habitat Mangrove di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Pemalang. Buletin Penelitian Kehutanan No. 30/1996. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Soerianegara, I  dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor,  Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger