Kamis, 15 Maret 2012

HUBUNGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DENGAN KEGIATAN KONVERSI LAHAN MENJADI AREAL PERLADANGAN BERPINDAH


HUBUNGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DENGAN KEGIATAN KONVERSI LAHAN MENJADI AREAL PERLADANGAN BERPINDAH

I.             PENDAHULUAN
Kegiatan konversi hutan menjadi penggunaan lahan non kehutanan sangat marak terjadi dimana-mana. Kegiatan konversi ini dapat berdampak negatif terhadap penurunan kapasitas hutan terutama pada fungsi hutan sebagai penyangga pembangunan yang berkelanjutan, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, pencegah dan penanggulangan global warming, serta penyerapan karbon. Usaha yang dilakukan untuk tetap mempertahankan keberadaan dan kelestarian fungsi hutan tersebut menjadi sebuah perhatian yang serius dan memerlukan penangan yang bersifat multi sektor.
Menurut Barlow (1978) menyatakan bahwa pola penggunaan lahan ditentukan oleh besarnya land rent (nilai manfaat lahan) yang diterima pemilik atau pengguna lahan dari suatu pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan yang memberikan land rent yang tinggi yang diterima akan mengganti pola penggunaan lahan dengan manfaat lahan yang rendah. Nilai land rent yang rendah dari suatu penggunaan lahan akan digantikan oleh nilai land rent yang lebih tinggi dari suatu pola penggunaan. Selain faktor ekonomi, nilai land rent yang berpengaruh terhadap konversi lahan adalah faktor demografi (tekanan penduduk terhadap lahan) dan faktor kebijakan pemerintah (Manuwoto, 1992).
Pengetahuan tentang hubungan konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah dapat dijelaskan oleh beberapa faktor penentu yang meliputi: faktor pendapatan petani dari usaha hutan rakyat, faktor pendapatan dari konversi hutan rakyat menjadi areal perladangan berpindah, faktor nilai ekologi (nilai manfaat hutan terhadap perlindungan dan jasa lingkungan), faktor demografi (tekanan penduduk terhadap lahan pertanian), faktor aksesibilitas terhadap lahan dan pasar, serta faktor kelembagaan (akses petani terhadap hak pengelolaan hutan rakyat). Pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konversi hutan rakyat dapat dijadikan dasar pemikiran dalam perumusan kebijakan penanggulangan konversi hutan demi mewujudkan SFM (Sustainable Forest Management).
Salah satu contoh data yang dapat kita jadikan dasar dalam perumusan kebijakan tersebut adalah fenomena kerusakan hutan di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan terdapat lahan kritis seluas 682.784,29 ha di dalam kawasan hutan dan 369.986,5 ha di luar kawasan hutan dengan laju kerusakan hutan antara 23.341 ha sampai 33.951 ha per tahun. Faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan adalah konversi kawasan hutan menjadi areal non kehutanan, perladangan, dan perambahan hutan oleh 26.511 kepala keluarga dengan lahan garapan 38.743 ha, dan kegiatan illegal logging. Kerusakan hutan tersebut berdampak terjadinya bencana banjir dan erosi pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Dampak turunannya adalah suplai energi listrik untuk PLTA, suplai air baku PDAM dan air irigasi untuk produksi pertanian menurun (Alam, 2007).
Dalam mempelajari hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan rakyat dengan kegiatan konversi lahan menjadi areal perladangan berpindah dan konversi menjadi areal non kehutanan memerlukan beberapa variabel yang kemungkinan dapat mempengaruhi kegiatan mereka melakukan konversi hutan. Diantara variabel tersebut adalah: tangible benefit (ekonomi), intangible benefit (ekologi), kepadatan penduduk, aksesibilitas, dan kelembagaan. Salah satu contoh variabel yang harus diperhatikan adalah besarnya pendapatan perkapita atau per kepala keluarga yang ada di sekitar hutan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani, jarak antara penduduk dengan hutan rakyat, biaya produksi serta distribusi hasil hutan, serta status hak dalam pengelolaan hutan rakyat.

II.          PEMBAHASAN
Penentuan hubungan antara kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan kegiatan konversi lahan apabila dilihat dari beberapa variabel yang dijelaskan diatas, setelah diamati dan berdasarkan dari beberapa sumber yang ada, dapat ditentukan bahwa variabel yang memiliki hubungan negatif adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki masyarakat, persentase jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani, pendapatan dari pekerjaan sebagai petani, dan status hak dalam pengelolaan hutan rakyat. Sementara faktor yang memiliki hubungan positif adalah pendapatan dari kegiatan konversi hutan rakyat. Sedangkan untuk nilai ekologi mempunyai pengaruh yang tidak nyata dalam kegiatan konversi hutan menjadi lahan untuk kegiatan perladangan berpindah.
Apabila dijelaskan secara detail, beberapa variabel yang mempunyai hubungan dan berpengaruh terhadap persentase konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah adalah sebagai berikut:
1.      Pendapatan hutan rakyat terhadap kegiatan konversi berpengaruh negatif yaitu ketika pendapatan petani dari hasil hutan semakin tinggi, maka kegiatan konversi terhadap hutan rakyat menjadi areal ladang berpindah semakin rendah atau semakin sedikit masyarakat yang berkeinginan untuk mengkonversi hutan.
2.      Pendapatan usaha dari kegiatan perladangan berpindah berpengaruh positif terhadap kegiatan konversi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat petani yang diperoleh dari kegiatan ladang berpindah akan menyebabkan semakin meningkatnya kegiatan konversi hutan. Selain itu, dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan konversi hutan semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang lebih banyak.
3.      Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani berpengaruh negatif terhadap kegiatan konversi. Hal ini berarti semakin tinggi persentase penduduk yang bekerja sebagai petani di sekitar hutan, akan menurunkan tingkat konversi hutan rakyat menjadi areal perladangan berpindah.
4.      Luas lahan pertanian yang dikuasi petani memperlihatkan hubungan negatif terhadap konversi hutan rakyat. Hal ini berarti semakin luas lahan pertanian yang dimiliki petani, menyebabkan semakin menurunnya persentase konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah.
5.      Status lahan hutan rakyat juga berhubungan negatif terhadap konversi hutan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya status kawasan hutan negara, hutan lindung atau hutan konservasi yang diputuskan oleh pemerintah pada suatu daerah, akan menyebabkan semakin sedikit hutan yang akan dikonversi karena ketakutan masyarakat akan hukuman pidana dari kegiatan konversi hutan lindung tersebut.

Pengaruh Pendapatan Usaha Tani
Faktor ekonomi (tangible benefit) yang berpengaruh terhadap konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah adalah pendapatan petani dari lahan usaha pemanfaatan hasil hutan rakyat. Menurunnya pendapatan yang diperoleh petani sekitar hutan dari usaha pemanfaatan hasil hutan rakyat beberapa tahun ini menyebabkan petani melakukan konversi lahan hutan untuk digunakan sebagai ladang dan areal perkebunan. Namun yang paling berpengaruh adalah meningkatnya pendapatan petani dari areal lahan hutan yang terkonversi.
Hasil perhitungan analisis menunjukkan bahwa rata–rata luas hutan rakyat yang terkonversi per rumah tangga petani selama 10 tahun terakhir seluas 0,5 ha atau 43,4 % dari luas hutan rakyat yang mereka kuasai. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semakin rendah pendapatan petani dari usaha hutan rakyat akan meningkatkan presentase konversi hutan untuk pola konversi ke penggunaan ladang berpindah dan kebun kakao (Kartodiharjo, 1996). Hal ini memperkuat teori Vonthunen yang dikembangkan oleh Barlow (1978) tentang suksesi penggunaan lahan yang menyatakan bahwa land rent (sewa lahan) akan menentukan pola penggunaan lahan. Sewa lahan yang tinggi akan menggeser pola penggunaan lahan yang memberikan land rent yang lebih rendah. Namun pengertian land rent bagi petani adalah pendapatan yang diperoleh dari lahan tanpa memisahkan pendapatan tenaga kerja dan keuntungan mereka. Karena pola usaha tani dengan skala rumah tangga, petani sebagai pengelola, pemilik modal, pemilik lahan dan sekaligus sebagai tenaga kerja (Mosher, 1972 dalam Barlow, 1978). Selanjutnya hasil penelitian Yusran (2005) menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya land rent hutan rakyat adalah hak penguasan petani terhadap lahan dan sempitnya lahan yang diusahakan serta umur pohon yang sudah tua.
Pendapatan yang diperoleh dari lahan hutan rakyat yang terkonvesi untuk pola penggunaan ladang berpindah secara signifikan berpengaruh terhadap presentase konversi. Hal ini menjelaskan bahwa semakin meningkat pendapatan yang diperoleh petani dari areal hutan rakyat yang terkonversi menyebabkan meningkatnya kegiatan konversi. Lokasi hutan rakyat yang dekat dengan kota atau pusat kegiatan jual beli, biaya transportasi yang relatif lebih murah serta transportasi yang sangat lancar, membuat lokasi hutan rakyat tersebut lebih menguntungkan diusahakan sebagai tanaman hortikultura yang mempunyai permintaan pasar yang tinggi, jika dibandingkan dengan tetap mengusahakan tanaman dan pohon yang ada (Barlow 1978, kata yang digaris bawah dari penulis).
Kegiatan konversi hutan rakyat ke penggunaan lahan usaha tani lain memperkuat teori Vonthunen yang dikembangkan oleh Barlow (1978) menjadi teori suksesi penggunaan lahan yang mengemukakan bahwa suksesi pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh land rent yang diperoleh petani (pemilik lahan) dari suatu pola penggunaan lahan. Perubahan pola penggunaan lahan (konversi lahan) terjadi apabila pola penggunaan lahan sekarang memberikan land rent yang lebih rendah dibanding alternatif penggunaannya.
Pengaruh Luas pemilikan lahan
Bertambahnya jumlah penduduk sekitar hutan akan menyebabkan luas pemilikan lahan yang dikuasai per kepala keluarga semakin berkurang. Rata-rata luas lahan yang di kuasai rumah tangga petani seluas 2,1 ha. pola konversi pertanian menetap luas lahan yang dikuasai (1,8 ha/keluarga) lebih sempit dibandingkan pada petani yang mengkonversi hutannya kepada pola penggunaan ladang menetap dan perkebunan. Pengaruh luas lahan yang dikuasai petani terhadap konversi hutan pada pola konversi ladang berpindah dan menetap berpengaruh negatif, yang berarti bahwa semakin luas lahan yang dikuasai petani semakin rendah kegiatan konversi hutan ke penggunaan lahan lainnya. Hal ini disebabkan karena kebutuhan lahan untuk melakukan kegiatan usaha pertanian para petani yang menguasai lahan yang luas sudah dapat terpenuhi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sebaliknya, petani yang hanya mempunyai lahan yang sempit mereka harus menambah lahan untuk usahanya dan menggunakannya lebih intensif. Sempitnya lahan yang dikuasai petani menyebabkan mereka berusaha tidak efesien, dari segi penggunaan tenaga kerja, terutama pada pekerjaan penjagaan kebun yang memerlukan waktu siang dan malam untuk melindungi tanaman dari hama babi dan kera. Luas atau sempit lahan yang diusahakan petani, tetap memerlukan waktu yang sama untuk menjaga kebunnya dari gangguan hama (Alam, 2007).
Menurunnya luas lahan yang dikuasai petani dan meningkatnya biaya hidup mereka membuat petani semakin rasional (selektif) dalam memilih jenis komoditi yang diusahakannya, sehingga mereka memilih teknologi usaha tani dan pola penggunaan lahan yang dapat menjanjikan pendapatan paling tinggi.
Pengaruh Tekanan penduduk
Tekanan presentase penduduk sebagai petani pada setiap kampung sangat tinggi menyebabkan berkurangnya kegiatan konversi. Hubungan tekanan penduduk terhadap konversi hutan rakyat pada pola ladang berpindah tidak mendukung Teori Maltus yang mendengungkan paradigma bahwa penduduk bertambah dengan deret ukur (geometrik) sedang pangan bertambah dengan deret hitung (aritmetik), kemudian penganut Malthus (disebut Malthusian) menambahkan bahwa tekanan penduduk akan menyebabkan ancaman terhadap lingkungan. Demikian pula halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh A.I. Fraser (1996) yang menyatakan bahwa tekanan penduduk merupakan penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia. Pertambahan penduduk justru sebenarnya dapat mengurangi presentase konversi pada hutan rakyat di setiap rumah tangga. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan hutan rakyat yang dikuasainya sebagai akibat semakin jauhnya lahan hutan rakyat, menyebabkan petani mengurangi aktifitas konversi hutan rakyat dengan menggunakan lahannya yang dekat dari rumahnya lebih intensif dengan memanfaatkan teknologi yang dapat memberikan keuntungan usaha tani yang tinggi (Arifin, 2001).
Pengaruh Faktor Kelembagaan (Status hak penguasaan lahan)
Status hak penguasaan yang terbatas oleh rakyat pada kawasan hutan negara menyebabkan menurunnya konversi lahan hutan rakyat menjadi pola ladang berpindah. Pembatasan petani melakukan peremajaan di areal hutan rakyat yang terdapat dalam kawasan hutan, disamping menurunkan produktifitas pohon atau tanaman yang ada, juga berkurangnya areal tanam petani untuk tanaman pangan, terutama sayuran sebagai kebutuhan yang sangat mendasar bagi kelangsungan masyarakat peladang. Hal itu dikarenakan mereka tidak mudah memperoleh atau membeli lauk pauk seperti ikan dan bahan pangan lainnya. Semakin dibatasinya masyarakat dalam memanfaatkan lahan diluar kawasan hutan, menyebabkan semakin meningkatnya konversi kawasan hutan. Selain itu, meskipun ada larangan untuk memanfaatkan lahan hutan tanaman yang terdapat dalam kawasan hutan, sebagian dari mereka mengaku terpaksa melakukan konversi hutan rakyat dalam kawasan hutan, karena kebutuhan akan lahan pertanian untuk kebutuhan bahan pangan dan kebutuhan biaya hidupnya yang semakin meningkat.



DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsu. 2007. Studi Kasus Petani Hutan Rakyat Kabupaten Maros. Makassar: Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan-Unhas.

Barlow, R. 1978. Land Resources Economic. 3rd Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc., Engelwood Cliffs.

Kartodiharjo, H. 1996. Konsep Pengembangan Hutan Rakyat Suatu Tinjauan Kelembagaan Ekonomi. Makalah. Diskusi Panel Pemanfaatan Kayu Rakyat. Jakarta: Departemen Kehutanan.

Manuwoto. 1992. Sinkronisasi kebijaksanaan dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan, Suatu Pencegahan Alih Fungsi Lahan. Makalah dalam Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Lampung: UNILA.

Yusran, 2005. Analisis Performansi dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger