HUBUNGAN KONDISI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT DENGAN KEGIATAN KONVERSI LAHAN MENJADI AREAL PERLADANGAN
BERPINDAH
I.
PENDAHULUAN
Kegiatan konversi hutan menjadi penggunaan lahan non
kehutanan sangat marak terjadi dimana-mana. Kegiatan konversi ini dapat berdampak negatif terhadap penurunan kapasitas hutan terutama pada fungsi hutan sebagai
penyangga pembangunan yang berkelanjutan, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, pencegah dan penanggulangan global warming, serta penyerapan karbon. Usaha yang dilakukan untuk tetap
mempertahankan keberadaan dan kelestarian fungsi hutan tersebut menjadi sebuah perhatian yang serius dan memerlukan penangan yang
bersifat multi sektor.
Menurut Barlow (1978) menyatakan bahwa
pola penggunaan lahan ditentukan oleh besarnya land rent (nilai manfaat lahan) yang diterima pemilik atau pengguna lahan dari suatu pola
penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan yang memberikan land rent yang tinggi yang diterima akan mengganti pola penggunaan
lahan dengan manfaat lahan yang rendah. Nilai land rent yang rendah dari suatu penggunaan lahan
akan digantikan oleh nilai land rent
yang lebih tinggi dari suatu pola penggunaan. Selain faktor ekonomi, nilai land rent yang berpengaruh terhadap konversi lahan adalah faktor demografi
(tekanan penduduk terhadap lahan) dan faktor kebijakan pemerintah (Manuwoto,
1992).
Pengetahuan tentang hubungan konversi
hutan rakyat menjadi ladang berpindah dapat dijelaskan
oleh beberapa faktor penentu yang meliputi: faktor
pendapatan petani dari usaha hutan rakyat, faktor pendapatan dari konversi
hutan rakyat menjadi areal perladangan berpindah, faktor nilai ekologi
(nilai manfaat hutan terhadap perlindungan dan jasa lingkungan), faktor demografi (tekanan penduduk terhadap lahan pertanian),
faktor aksesibilitas terhadap lahan dan pasar, serta faktor kelembagaan (akses petani
terhadap hak pengelolaan hutan rakyat). Pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
konversi hutan rakyat dapat dijadikan dasar pemikiran dalam perumusan kebijakan
penanggulangan konversi hutan demi mewujudkan SFM (Sustainable
Forest Management).
Salah
satu contoh data yang dapat kita jadikan dasar dalam perumusan kebijakan
tersebut adalah fenomena kerusakan hutan di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan terdapat lahan kritis seluas 682.784,29
ha di dalam kawasan hutan dan 369.986,5 ha di luar kawasan hutan dengan laju
kerusakan hutan antara 23.341 ha
sampai 33.951 ha per tahun. Faktor penyebab
terjadinya kerusakan hutan adalah konversi kawasan hutan menjadi areal non
kehutanan, perladangan, dan perambahan hutan oleh
26.511 kepala keluarga dengan lahan garapan 38.743
ha, dan kegiatan illegal
logging. Kerusakan hutan tersebut berdampak terjadinya
bencana banjir dan erosi pada musim hujan dan kekurangan air pada musim
kemarau. Dampak turunannya adalah suplai energi listrik untuk PLTA, suplai air
baku PDAM dan air irigasi untuk produksi pertanian menurun (Alam, 2007).
Dalam mempelajari hubungan
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan rakyat dengan kegiatan konversi
lahan menjadi areal perladangan berpindah dan konversi menjadi
areal non kehutanan memerlukan
beberapa variabel yang kemungkinan dapat mempengaruhi kegiatan mereka melakukan
konversi hutan. Diantara variabel tersebut adalah: tangible benefit (ekonomi), intangible
benefit (ekologi), kepadatan penduduk, aksesibilitas, dan kelembagaan.
Salah satu contoh variabel yang harus diperhatikan adalah besarnya pendapatan
perkapita atau per kepala keluarga yang ada di sekitar hutan, jumlah penduduk
yang bekerja sebagai petani, jarak antara penduduk dengan hutan rakyat, biaya produksi
serta distribusi hasil hutan, serta status hak dalam pengelolaan hutan rakyat.
II.
PEMBAHASAN
Penentuan
hubungan antara kondisi
sosial ekonomi masyarakat dengan kegiatan konversi lahan apabila dilihat dari beberapa variabel yang dijelaskan
diatas, setelah diamati dan berdasarkan dari beberapa sumber yang ada, dapat
ditentukan bahwa variabel yang memiliki
hubungan negatif adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki masyarakat, persentase jumlah penduduk
yang bekerja sebagai petani, pendapatan dari
pekerjaan sebagai petani, dan status hak
dalam pengelolaan hutan rakyat. Sementara faktor yang memiliki hubungan positif adalah pendapatan dari kegiatan
konversi hutan rakyat. Sedangkan
untuk nilai ekologi mempunyai pengaruh yang tidak nyata dalam kegiatan konversi
hutan menjadi lahan untuk kegiatan perladangan berpindah.
Apabila
dijelaskan secara detail, beberapa variabel
yang mempunyai hubungan dan berpengaruh
terhadap persentase konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah adalah
sebagai berikut:
1. Pendapatan hutan rakyat terhadap kegiatan konversi berpengaruh negatif yaitu ketika
pendapatan petani dari hasil hutan semakin
tinggi, maka kegiatan
konversi terhadap hutan rakyat menjadi areal ladang berpindah semakin rendah atau semakin sedikit masyarakat
yang berkeinginan untuk mengkonversi hutan.
2. Pendapatan usaha dari kegiatan perladangan berpindah berpengaruh
positif terhadap kegiatan konversi. Hal
ini berarti bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat petani yang diperoleh dari kegiatan
ladang berpindah akan menyebabkan semakin
meningkatnya kegiatan konversi
hutan. Selain itu, dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan konversi
hutan semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan atau pendapatan yang lebih
banyak.
3. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani berpengaruh negatif terhadap
kegiatan konversi. Hal
ini berarti semakin tinggi
persentase penduduk yang bekerja sebagai petani di sekitar hutan, akan menurunkan tingkat konversi
hutan rakyat menjadi
areal perladangan berpindah.
4. Luas lahan pertanian yang
dikuasi petani memperlihatkan hubungan negatif terhadap konversi hutan rakyat. Hal ini berarti semakin luas lahan pertanian yang dimiliki petani, menyebabkan semakin
menurunnya persentase konversi hutan
rakyat menjadi ladang berpindah.
5. Status lahan hutan rakyat juga berhubungan negatif terhadap konversi hutan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya status
kawasan hutan negara, hutan lindung atau hutan konservasi yang diputuskan oleh
pemerintah pada suatu daerah, akan menyebabkan semakin sedikit hutan yang akan
dikonversi karena ketakutan masyarakat akan hukuman pidana dari kegiatan
konversi hutan lindung tersebut.
Pengaruh Pendapatan Usaha Tani
Faktor ekonomi (tangible
benefit) yang berpengaruh terhadap
konversi hutan rakyat menjadi ladang berpindah adalah pendapatan petani dari lahan usaha pemanfaatan hasil hutan rakyat. Menurunnya pendapatan yang diperoleh petani sekitar
hutan dari usaha pemanfaatan
hasil hutan rakyat beberapa tahun
ini menyebabkan petani melakukan konversi lahan hutan untuk digunakan sebagai ladang dan areal perkebunan. Namun yang paling berpengaruh adalah meningkatnya
pendapatan petani dari areal lahan hutan yang terkonversi.
Hasil perhitungan analisis menunjukkan
bahwa rata–rata luas hutan rakyat yang terkonversi per rumah tangga petani
selama 10 tahun terakhir seluas 0,5 ha
atau 43,4 % dari luas hutan rakyat
yang mereka kuasai. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa semakin rendah
pendapatan petani dari usaha hutan rakyat
akan meningkatkan presentase konversi hutan untuk pola konversi ke penggunaan ladang berpindah dan
kebun kakao (Kartodiharjo, 1996). Hal ini memperkuat teori Vonthunen yang dikembangkan
oleh Barlow (1978) tentang suksesi penggunaan lahan yang menyatakan bahwa land rent (sewa lahan) akan menentukan
pola penggunaan lahan. Sewa lahan yang tinggi akan menggeser pola penggunaan
lahan yang memberikan land rent yang
lebih rendah. Namun pengertian land rent
bagi petani adalah pendapatan yang diperoleh dari lahan tanpa memisahkan
pendapatan tenaga kerja dan keuntungan mereka. Karena pola usaha tani dengan
skala rumah tangga, petani sebagai
pengelola, pemilik modal, pemilik lahan dan sekaligus sebagai tenaga kerja
(Mosher, 1972 dalam Barlow, 1978). Selanjutnya hasil penelitian Yusran (2005) menyatakan
bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya land
rent hutan rakyat adalah hak penguasan petani terhadap lahan dan sempitnya
lahan yang diusahakan serta umur pohon yang sudah tua.
Pendapatan yang diperoleh dari lahan hutan rakyat yang
terkonvesi untuk pola penggunaan ladang berpindah secara signifikan berpengaruh
terhadap presentase konversi. Hal ini
menjelaskan bahwa semakin meningkat pendapatan yang diperoleh petani dari areal
hutan rakyat yang terkonversi menyebabkan meningkatnya kegiatan konversi. Lokasi
hutan rakyat yang dekat dengan kota atau pusat kegiatan jual beli, biaya transportasi yang relatif lebih murah serta
transportasi yang sangat lancar, membuat lokasi hutan rakyat tersebut lebih
menguntungkan diusahakan sebagai tanaman hortikultura yang mempunyai permintaan
pasar yang tinggi, jika dibandingkan dengan tetap mengusahakan tanaman
dan pohon yang ada (Barlow 1978, kata yang digaris bawah dari penulis).
Kegiatan konversi hutan rakyat ke penggunaan lahan usaha
tani lain memperkuat teori Vonthunen yang dikembangkan oleh Barlow (1978) menjadi teori suksesi penggunaan lahan yang mengemukakan
bahwa suksesi pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh land rent yang diperoleh petani (pemilik lahan) dari suatu pola
penggunaan lahan. Perubahan pola penggunaan lahan (konversi lahan) terjadi apabila pola penggunaan lahan sekarang memberikan land rent yang lebih rendah dibanding
alternatif penggunaannya.
Pengaruh Luas pemilikan lahan
Bertambahnya jumlah penduduk sekitar
hutan akan menyebabkan luas pemilikan
lahan yang dikuasai per kepala keluarga semakin berkurang. Rata-rata luas lahan yang di
kuasai rumah tangga petani seluas 2,1 ha. pola konversi pertanian menetap luas
lahan yang dikuasai (1,8 ha/keluarga)
lebih sempit dibandingkan pada petani yang mengkonversi hutannya kepada pola penggunaan ladang
menetap dan perkebunan. Pengaruh luas lahan yang
dikuasai petani terhadap konversi hutan pada pola konversi ladang
berpindah dan menetap berpengaruh negatif, yang berarti bahwa semakin luas
lahan yang dikuasai petani semakin rendah kegiatan konversi hutan ke penggunaan lahan lainnya. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan lahan untuk melakukan kegiatan usaha pertanian para petani yang menguasai lahan yang luas sudah dapat
terpenuhi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sebaliknya, petani yang hanya mempunyai lahan yang sempit mereka
harus menambah lahan untuk usahanya dan menggunakannya
lebih intensif. Sempitnya lahan yang dikuasai petani menyebabkan mereka
berusaha tidak efesien, dari segi penggunaan tenaga kerja, terutama pada
pekerjaan penjagaan kebun yang memerlukan waktu siang dan malam untuk
melindungi tanaman dari hama babi dan kera. Luas atau sempit lahan yang
diusahakan petani, tetap memerlukan waktu yang sama untuk menjaga kebunnya dari
gangguan hama (Alam, 2007).
Menurunnya luas lahan yang dikuasai petani dan
meningkatnya biaya hidup mereka membuat petani semakin rasional (selektif)
dalam memilih jenis komoditi yang diusahakannya, sehingga mereka memilih
teknologi usaha tani dan pola penggunaan lahan yang dapat menjanjikan
pendapatan paling tinggi.
Pengaruh Tekanan penduduk
Tekanan presentase penduduk sebagai
petani pada setiap kampung sangat tinggi
menyebabkan berkurangnya kegiatan konversi. Hubungan tekanan penduduk terhadap konversi hutan rakyat
pada pola ladang berpindah tidak mendukung Teori Maltus yang mendengungkan
paradigma bahwa penduduk bertambah dengan deret ukur (geometrik) sedang pangan
bertambah dengan deret hitung (aritmetik), kemudian penganut Malthus (disebut
Malthusian) menambahkan bahwa tekanan penduduk akan menyebabkan ancaman
terhadap lingkungan. Demikian pula halnya hasil penelitian yang dilakukan oleh
A.I. Fraser (1996) yang menyatakan bahwa tekanan penduduk merupakan penyebab
utama kerusakan hutan di Indonesia. Pertambahan penduduk justru
sebenarnya dapat mengurangi presentase konversi pada hutan rakyat di setiap rumah tangga. Hal ini dikarenakan keterbatasan lahan hutan rakyat yang dikuasainya sebagai
akibat semakin jauhnya lahan hutan rakyat, menyebabkan petani mengurangi
aktifitas konversi hutan rakyat dengan menggunakan lahannya yang dekat dari
rumahnya lebih intensif dengan memanfaatkan teknologi yang dapat memberikan
keuntungan usaha tani yang tinggi (Arifin, 2001).
Pengaruh Faktor Kelembagaan (Status hak penguasaan lahan)
Status hak penguasaan yang terbatas oleh rakyat pada kawasan hutan negara
menyebabkan menurunnya konversi lahan hutan rakyat menjadi pola ladang berpindah.
Pembatasan petani melakukan peremajaan di areal hutan rakyat yang terdapat
dalam kawasan hutan, disamping menurunkan produktifitas pohon atau tanaman yang ada, juga berkurangnya areal
tanam petani untuk tanaman pangan, terutama sayuran sebagai kebutuhan yang
sangat mendasar bagi kelangsungan masyarakat peladang. Hal itu dikarenakan mereka tidak mudah memperoleh atau membeli lauk pauk
seperti ikan dan bahan pangan lainnya. Semakin dibatasinya masyarakat dalam memanfaatkan lahan diluar kawasan hutan, menyebabkan semakin meningkatnya konversi kawasan hutan. Selain itu, meskipun ada larangan untuk memanfaatkan lahan hutan tanaman yang terdapat dalam
kawasan hutan, sebagian dari mereka mengaku terpaksa melakukan konversi hutan
rakyat dalam kawasan hutan, karena kebutuhan akan lahan pertanian untuk
kebutuhan bahan pangan dan kebutuhan biaya hidupnya yang semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsu. 2007. Studi Kasus Petani Hutan Rakyat Kabupaten Maros. Makassar: Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas
Kehutanan-Unhas.
Barlow, R. 1978. Land Resources
Economic. 3rd Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.,
Engelwood Cliffs.
Kartodiharjo, H. 1996. Konsep
Pengembangan Hutan Rakyat Suatu Tinjauan Kelembagaan Ekonomi. Makalah. Diskusi Panel
Pemanfaatan Kayu Rakyat. Jakarta: Departemen
Kehutanan.
Manuwoto. 1992. Sinkronisasi kebijaksanaan
dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan, Suatu Pencegahan Alih
Fungsi Lahan. Makalah dalam Pembangunan dan Pengendalian Alih
Fungsi Lahan. Lampung: UNILA.
Yusran, 2005. Analisis Performansi
dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi
Selatan. Disertasi tidak
diterbitkan. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar