Minggu, 01 Mei 2011

UPAYA LEGITIMASI TERHADAP PERILAKU KEKERASAN ANTAR UMAT BERAGAMA BERDASARKAN DALIL AL-QUR’AN




PENDAHULUAN
Mari kita ingat kembali sebuah peristiwa bersejarah dan dramatis yang terjadi dalam tempo kurang dari satu jam yaitu dua bilik paru-paru Amerika Serikat yang runtuh lantak oleh aksi para teroris dunia pada hari Selasa, 11 September 2001 lalu. Aksi sengaja dengan bersenjatakan belati tersebut telah berhasil menabrakkan tiga pesawat domestik ke Gedung Kembar World Trace Center (WTC) di New York, yang menjadi simbol kekuatan ekonomi AS dan Gedung Pertahanan Pentagon di Washington DC, simbol kedigjayaan militer AS. Menurut Robert Mueller, Direktur FBI waktu itu, tak kurang dari 41 kasus diskriminasi menimpa warga Muslim Amerika. Sedang versi lain yang dihimpun oleh Council American Islamic Relation (CAIR), menunjukkan data yang lebih tragis, lebih dari 300 kasus pelecehan, diskriminasi, dan tindak kekerasan dialami langsung oleh warga muslim di Amerika. Pasca kejadian meledaknya Gedung Kembar World Trace Center selain berimbas pada perilaku diskriminatif dan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Non-Muslim terhadap Muslim Amerika, juga terdapat upaya balas dendam terhadap perilaku diskriminatif Warga Muslim Amerika, hal ini membawa kepada Stigma negatif tentang Islam sebagai terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme. (Abdullah, 2005)
Perilaku kekerasan tersebut secara otomatis melibatkan kelompok-kelompok tertentu yang diduga kuat bertanggung jawab dibalik peristiwa teroris itu. Selain perilaku kekerasan yang melibatkan warga non-muslim yang menjadi korban, terjadi pula perilaku kekerasan internal (sesama muslim) yang dilakukan oleh kelompok yang disebut dengan fundamentalis agama yang membawa korban jiwa dan kerusakan material. Hal tersebut mempunyai latar belakang yang kompleks baik dari doktrin agama, sosio kultur, maupun unsur kepentingan lain. landasan pergerakan mereka banyak mengusung ayat-ayat suci Al-Qur’an, diantaranya sebagai berikut:
öNèdqè=ÏG»s%ur 4Ó®Lym Ÿw tbqä3s? ×poY÷FÏù tbqä3tƒur ßûïÏe$!$# ¬! ( ÈbÎ*sù (#öqpktJR$# Ÿxsù tbºurôãã žwÎ) n?tã tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÊÒÌÈ
Artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 193)
Ayat tersebut merupakan suatu bentuk legitimasi hukum dan pencapaian tujuan yang menafikan semangat pluralitas bangsa Indonesia. Gerakan dengan metode seperti ini menjadi ancaman bagi umat islam Indonesia yang penuh dengan keberagaman dan kebhinekaan kultural serta semangat toleransi. Selain itu negara dan rakyat didalamnya menjadi salah satu pihak yang dirugikan karena dampak ekonomi, politik, dan stabilitas nasional terancam.
A.    Kekerasan
Kekerasan merupakan tindakan agresif dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu. Ali Harb (2007) menjelaskan bahwa kekerasan adalah penyakit terbesar yang tidak mampu diobati dan dibatasi penyebarannya oleh umat manusia seiring dengan wacana-wacana toleransi agama, abad-abad, dan teori-teori kemajuan peradaban. Adanya kekerasan akan menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga keterpurukan yang akan dihasilkan dari perilaku kekerasan tersebut. Fenomena ini merupakan bukti kesalahan umat Islam dalam memahami konsep ajaran agama mereka, dan konsep “jihad” merupakan salah satu konsep Islam yang sering disalahpahami, tidak hanya oleh umat Islam yang menyamakan jihad dengan aksi teror, tapi juga oleh masyarakat barat yang mengidentikkan jihad dengan Holly War (Perang Suci). Akibatnya, ketika mendengar istilah jihad, serta merta mereka berasumsi pada kekerasan dan pertumpahan darah.


B.     Al-Qur’an sebagai Landasan Upaya Legitimasi Terhadap Perilaku Kekerasan
Legitimasi merupakan suatu pembenaran atau pengesahan suatu tindakan menurut hukum atau perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, legitimasi merupakan suatu pembuktian sah jati diri seseorang. Legitimasi dalam kaitannya dengan perilaku kekerasan adalah suatu usaha pembenaran perilaku kekerasan dengan menggunakan dalil atau dasar ayat-ayat suci Al-Qur’an. Dalam pengambilan dalil tersebut sangatlah tidak tepat jika berimbas dengan aksi kekerasan, karena Islam diajarkan dengan cara damai dan terbuka.
Al-Qur'an merupakan kitab suci umat yang beragama Islam. Umat Islam mempercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Kedudukan Al-qur’an adalah tertinggi dalam pencairan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah serta hal apapun apabila dibandingkan dengan Hadist, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad. Penggunaan ayat-ayat Al-qur’an sebagai upaya legitimasi perilaku kekerasan dapat dibuktikan dari kurangnya pemahaman terhadap ayat Al-qur’an salah satunya mengenai surat Al-Baqarah ayat 190, yaitu:
(#qè=ÏG»s%ur Îû È@Î6y «!$# tûïÏ%©!$# óOä3tRqè=ÏG»s)ムŸwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =ÅsムšúïÏtG÷èßJø9$# ÇÊÒÉÈ  
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah: 190)
Ayat tersebut secara sekilas merupakan ayat tentang perintah perang dan jika hanya dimaknai secara harfiah peperangan tidak akan mungkin dapat dicegah diantara kaum muslim dengan non muslim atau kaum muslim dengan muslim sendiri. Asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya) ayat tersebut perlu dipahami dan ditelaah sehingga tidak terjadi ketimpangan pemahaman. Ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa Perang Hudaibiyyah. Tatkala Rasul Muhammad SAW memasuki Masjidil Haram yang telah dihalang-halangi oleh kaum Musyrikin. Kemudian kaum Musyrikin mengajak damai dan ditetapkan bahwa beliau boleh melakukan ibadah haji tahun depan. Setelah waktu tersebut datang, kaum Muslimin hendak menjalankan Thawaf Qodho’, namun mereka takut kaum Musyirikin akan menghalang-halangi lagi, sehingga Allah SWT menurunkan ayat tersebut sebagai pembelaan kaum muslimin yang teraniaya. (Ahmad Mustafa al-maraghi, 1993: 153-154).
Dengan memperhatikan serta menelaah Asbabun nuzul ayat tersebut, terlihat jelas bahwa dalam Islam terdapat perang sebagai pembelaan atas tindakan kaum Kafir atau Musyrik yang memulai dengan aksi kekerasan lebih dahulu. Namun, tindakan kekerasan yang terjadi saat ini bukan sebagai upaya pembelaan diri, melainkan hanyalah keegoisan pihak atau golongan tertentu dengan mengatasnamakan dalil Al-qur’an. Hal tersebut bukanlah maksud dari Al-qur’an dan Islam, karena dalam Islam tidak mengajarkan adanya suatu kekerasan.

PEMBAHASAN
Latar Belakang dan Landasan Seseorang Melakukan Tindak Kekerasan
Perilaku kekerasan yang melibatkan muslim dengan non muslim atau antara muslim sendiri pada masa kini memiliki latar belakang serta histori yang berbeda-beda, antara lain sebagai berikut:
1.      Pemaknaan dan Pemahaman Konteks dalam Al-Qur’an
Terdapat berbagai ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memberikan perintah untuk melakukan jihad, baik melalui penolakan di dalam hati terhadap suatu penolakan, pernyataan penolakan melalui hati, lisan, pemberian (sedekah) harta benda, sampai pada perlawanan dalam bentuk berperang (Munawwir, 2002: 217). Adapun ayat-ayat tersebut adalah ayat yang menerangkan tentang tujuan-tujuan berperang supaya jangan sampai terjadi fitnah lagi dalam agama, ayat tersebut adalah seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 193. Penjelasan ayat diatas menunjukan bahwa terdapat beberapa kriteria tertentu yang menjadi alasan seorang Muslim melakukan peperangan. Perilaku kekerasan (dapat berupa peperangan, dan lain-lain) yang menggunakan suatu legitimasi Al-Qur’an sebagai landasan dan juga tujuan dapat dipahami melalui indikator dalam ayat diatas yaitu dengan menyebutkan kata jihad sebagai lisensi dari perilaku kekerasan.
Kata Jihad yang ada dalam Al-Qur’an lebih kepada pelabelan berperang. Seorang ulama pujangga India dan negarawan yang sangat dihormati oleh Nehru, Mawiana Abu Al-Kalam Azad, melihat pula distorsi yang berkembang disekitar pengertian jihad. Dalam  tulisannya yang membahas tentang persoalan khilafah, beliau menulis: Mengenai pengertian jihad terjadi kesalahpahaman yang serius. Banyak orang mengartikan jihad itu adalah berperang (kekerasan). Orang-orang yang memusuhi Islam juga terlibat dalam kesalahan ini. Padahal dengan pengertian ini membatasi arti dari hukum yang sangat luas lagi suci dan luhur. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jihad artinya usaha keras untuk mengatasi kepentingan pribadi guna kepentingan kebenaran, usaha ini dilakukan dengan lisan, harta, membelanjakan waktu, umur, dan sebagainya dengan memikul macam-macam kesukaran dan juga dengan menghadapi pasukan menumpahkan darah. Untuk menghadapi pasukan musuh memerlukan waktu tertentu, tetapi untuk menghadapi diri pribadi bagi seseorang adalah usaha seumur hidup (Raharjo, 2002).
Dari penjelasan mengenai  pemaknaan Al-Qur’an dan hakikat bahasa, Al-Qur’an sebagai kitab suci yang mengandung prinsip-prinsip kehidupan yang damai seharusnya dimaknai sebagai sebuah sandaran hukum untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan seimbang. Sehingga kata Jihad yang telah direduksi mengalami distorsi, pada zaman sekarang memiliki interpretasi perjuangan tanpa senjata, perjuangan moral, spiritual yang kesemuanya itu adalah jihad fi sabilillah atau perjuangan di jalan Allah yaitu suatu jalan kebenaran.
2.      Arogansi Keagamaan dan Kenangan Masa Lalu
Perilaku kekerasan tidak hanya dilandasi oleh Interpretasi ekstrem terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an, tetapi juga dari penganut keagamaan fundamentalis berperan sangat kuat terhadap lahirnya perilaku kekerasan ini. Hal ini dikarenakan adanya arogansi keagamaan yang bermuara pada kebencian terhadap umat non-muslim sehingga melahirkan upaya balas dendam. Arogansi keagamaan yang bermuara pada kebencian ini berpangkal dari sejarah masa lalu, yaitu ketika Charles Darwin menerbitkan buku yang berisikan teori evolusi yang mengatakan bahwa makhluk hidup berevolusi dari makhuk hidup lainnya secara kebetulan.
Teori ini secara garis besar mengungkap bahwa manusia dapat bertahan hidup dengan melakukan tindak kekerasan terhadap makhluk lain. Teori ini menjadi inspirator bagi musuh Islam untuk menunjukkan kekuatan mereka dengan melakukan perilaku kekerasan terhadap orang-orang yang tidak segolongan atau orang yang tidak tidak berasal dari suku, ras, dan agama mereka. Sehingga implikasi dari hal ini adalah salah satunya terjadi kerusuhan Poso di Indonesia yang mengakibatkan banyak korban yang sebagian besar adalah warga Muslim. Dari peristiwa ini kemudian lahir sebuah tindakan balas dendam oleh warga muslim dengan berlandaskan pada ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berbicara mengenai diperbolehkannya melakukan peperangan tanpa memperhatikan alasan-alasan lain.Semangat balas dendam ini kemudian mengalami metamorfsis menjadi sebuah kebanggaan sebagai upaya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar ini dimaknai hanya terbatas secara kasat mata, sehingga disamping menyebabkan kerusakan dari segi fisik juga berdampak pada psikologis pelakunya yaitu arogansi keberagaman. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar sendiri muncul sebagai etika, bukan hanya etika pribadi namun etika komunal dan sosial (Baso, 2003).
3.      Eksistensi Kelompok
Pelaku kekerasan bersikap menafikan unsur kesamaan agama. Artinya kelompok-kelompk dalam Islam tidak memperdulikan semangat persaudaraan sesama Muslim yang menuntut untuk saling memahami, toleransi, dan semangat keberagaman daerah yang menjadi wadah bagi keberadaan sebuah agama. Hal ini karena adanya sebuah tujuan berbeda dari masing-masing kelompok yang juga mempunyai metode tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Al-Qur’an sendiri telah menawarkan konsep etika sosial dalam kehidupan bermasyarakat, namun etika sosial yang bersumber dari Al-Qur’an berubah menjadi fanatisme golongan, sehingga masing-masing kelompok mencari sebuah sarana untuk menjaga popularitas dan eksistensi. Upaya untuk selalu menjaga eksitensisme ini dilakukan dalam sebuah peradaban, mereka mempertahankan diri dengan melakukan berbagai tindakan agar kelompok-kelompok lain mengakui keberadaannya. Akan tetapi, usaha ini terkadang dengan menggunakan suatu intimidasi, pemaksaan dogma, dan juga aksi terorisme simbolik atau nyata.
4.      Ketidakberdayaan terhadap Realitas
Ketidakberdayaan terhadap realitas merupakan kekalahan terhadap realitas. Sehingga realitas yang ada tidak sesuai  dengan apa yang dicita-citakan, bahkan bertolak belakang dengan apa yang menjadi prinsip dan idealisme suatu kelompok. Peristiwa ini menimbulkan upaya praktek perilaku kekerasan karena kekecewaan yang ada dan tidak adanya kemampuan untuk menyesuaikan realitas. Kekecewaan ini berlanjut dengan cara-cara negatif untuk tidak mengikuti realita yang ada. Mereka mengguakan provokasi dan propaganda dengan menyertakan simbol-simbol keagamaan yang melahirkan perilaku kekerasan. Provokasi dan propaganda ini digunakan karena berlatar belakang keberagaman yang ada. Sehingga terdapat kemudahan untuk terjadinya sebuah pertikaian atau perilaku kekerasan. Tindakan ini melahirkan perilaku kekerasan karena tidak dimungkinkan untuk menerima atau mempunyai sifat toleransi yang ada.
Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penganut keagamaan fundamentalis memberikan dampak yang sangat terasa tidak hanya bagi warga Muslim Indonesia tetapi warga Muslim dunia pun terkena imbasnya. Akibat gerakan tersebut memberikan kesan buruk bagi umat Islam yang identik dengan terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme. Dampak yang sangat terasa di negara Indonesia sendiri adalah pada sektor Ekonomi, Politik, dan Stabilitas Nasional. Dalam sektor Ekonomi, dampak yang terasa adalah banyaknya investor asing yang berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena adanya ketidakpercayaan dengan keamanan negara Indonesia. Pariwisata di Indonesia juga mengalami penurunan yang diakibatkan adanya terorisme bom sehingga warga asing enggan untuk berkunjung. Padahal pariwisata merupakan salah satu investasi yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia (Kemenbudpar, 2008).
Gerakan kekerasan dengan legitimasi ayat-ayat suci Al-qur’an tersebut juga memberikan dampak yang terasa dalam sektor stabilitas nasional. Dampak tersebut antara lain terdapatnya citra buruk bagi keamanan Indonesia karena tidak bisa menjaga keamanan dari dalam negeri sendiri. Adanya bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 cukup sebagai bukti bahwa pertahanan dan stabilitas nasional yang kurang kuat. Hal tersebut juga berpengaruh pada sektor politik Indonesia yang semakin terpuruk dan banyaknya pihak-pihak yang memanfaatkan momentum tersebut untuk mengunggulkan kelebihan individu dan menarik simpati serta empati dari warga (Kemenbudpar, 2008).
Solusi Perilaku Kekerasan yang Sesuai dengan Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an
Setelah melihat berbagai latar belakang serta histori terjadinya perilaku kekerasan antar muslim atau muslim dengan non muslim serta dampak negatif yang dirasakan, maka dibuthkan solusi untuk permasalahan diatas. Adapun solusi tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Pemaknaan  Al-Qur’an Sebagai Etika Sosial
Pemaknaan Al-Qur’an sebagai kitab suci secara tekstual telah menimbulkan kemungkinan timbulnya perilaku kekerasan. Karena itu mengingat hakikat bahasa dalam Al-Qur’an yang mengacu pada multi dimensi maka untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an tidak mungkin hanya berdasarkan kaidah linguistik belaka. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu pemaknaan dan pemahaman tentang Q.S. Al-Baqarah ayat 190 yang artinya sebagai berikut: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Q.S. Al-Baqarah: 190).
Ayat tersebut secara sekilas menunjukkan tentang perintah perang atau memerangi setiap orang yang mengganggu kehidupan kita. Jika ayat tersebut hanya dimaknai dan difahami secara harfiah atau tekstual saja maka perilaku kekerasan atau bahakan peperangan tidak akan dapat dicegah baik diantara kaum muslim dengan non muslim atau antara kaum muslim sendiri. Dalam memaknai serta memahami ayat tersebut harus memperhatikan Asbabun nuzul-nya dan untuk siapakah ayat tersebut diturunkan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pengaplikasiannya. Dengan melihat Asbabun nuzul ayat tersebut, dapat diketahui bahwa sebagai orang Islam tidak boleh mendahului peperangan dan perilaku kekerasan tanpa adanya sebab yang jelas dari orang kafir atau musyrik yang telah mendahului peperangan. Dan dapat dikatakan bahwa Islam lebih menekankan solusi permasalahan yang bersifat humanisme dan kekeluargaan tanpa adanya suatu tindak kriminalitas. Al-qur’an mengajarkan bahwa sebagai seorang muslim dilarang berbuat suatu  hal yang dapat memunculkan adanya permasalahan karena merusak kehidupan sosial antar manusia.
Dalam kasus pemaknaan tekstual Al-qur’an adalah kasus takfir (pengkafiran), fatwa hukum mati, dan pembuatan film “Fitna” merupakan bentuk kepicikan dalam pemikiran keagamaan. Pembuatan film Fitna tersebut dilandaskan pada Al-Qur’an yang telah di tafsirkan secara tekstual dengan tujuan agar masyarakat (khususnya masyarakat muslim) yang melihat film tersebut akan terdoktrin sehingga menjadikan Islam sebagai agama yang fanatisme dan tidak memiliki toleransi keagamaan. Oleh karena itu, pemaknaan Al-Qur’an harus dimaknai sebagai ajaran untuk publik yang dapat mengakomodasi segala bentuk perbedaan. Abdurrahman wahid (Gus Dur) mengatakan Islam seharusnya tidak menampilkan bentuk eksklusif (Baso, 2003).
Indikator dari sebuah implementasi ajaran Al-Qur’an adalah masyarakat luas dengan kerukunan, toleransi, dan kemajemukan yang ada. Jadi pelaksanaan Al-Qur’an tidak hanya bersifat privatisasi namun berdasarkan pada kemaslahatan umat manusia, kemudian hubungan vertikal dikonversikan ke dalam hubungan keseimbangan segitiga antara individu-masyarakat-Allah.
2.      Pencerahan Teologis
Teologi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan (Allah SWT). H. L. Mencken, seorang Ilmuan Teolog berpendapat bahwa pengertian Teologi adalah sebuah upaya untuk menjelaskan hal-hal yang tidak diketahui dalam pengertian-pengertian dari pihak-pihak atau orang-orang yang tidak pantas untuk mengetahuinya. Hal ini berbeda dengan pendapat Anselmus, seorang Ilmuan Teolog yang mengatakan bahwa Teologi adalah suatu bentuk dari iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum) (Wikipedia, 2008).
Guru besar Teologi dari Vancouver Canada berpendapat bahwa dalam setiap tradisi keagamaan selalu terkandung benih-benih ideologi dan atau teologi yang bersifat isolasionis (tiap-tiap agama hidup dan berkembang dalam batasannya sendiri-sendiri),  konfrontasionis (dalam agama satu dengan yang lain merupakan saingan yang harus dicurigai), dan bahkan kebencian (antara agama yang satu dengan lainnya merupakan musuh yang harus ditaklukkan). Batas-batas ketiganya sangatlah tipis dan kabur, apalagi ketika dikaitkan dengan logika kekuasaan yang secara inheren ada dalam setiap agama (Sahrasad, 2008).
Al-qur’an merupakan sumber hukum agama Islam mengandung bahasa yang multi dimensi sehingga membutuhkan pemahaman dan penalaran serta menghubungkan dengan aspek yang lain. Pemaknaan Al-Qur’an secara tekstual akan membawa para penganut agama kepada kebakuan agama. Maksudnya nilai-nilai yang seharusnya dapat tergali dan kemudian dimanifestasikan ke dalam masyarakat dalam bentuk keserasian menjadi terbelenggu dalam ruang lingkup pemahaman Al-qur’an secara tekstual belaka. Hal ini dapat dicontohkan dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179, yaitu:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ   öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ  
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah: 178-179).
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa. Dalam ayat tersebut menjelaskan hukum  Qishos bagi para pelaku pembunuhan baik orang merdeka, hamba  sahaya atau wanita. Jika dalam pemaknaan ayat tersebut hanya terbatas pada tekstualitas saja tanpa adanya pendalaman makna, maka hukum  qishos  akan selalu menjadi ukuran hukuman yang utama. Padahal dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa hukuman  qishos dapat diganti dengan pembayaran  diat sesuai dengan permintaan keluarga yang kehilangan, atau bahkan membebaskan pembunuh tersebut karena faktor sosial dan tingkat kemanusiaan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa  dalam Al-qur’an terkandung segi sosial dan kemanusiaan, bukan hanya tentang agama atau ketuhanan saja tetapi berhubungan dengan aspek yang lainnya. Tanpa adanaya pendalaman makna maka segi sosial dan segi yang lainnya dalam Al-qur’an tidak akan tergali dan menjadikan pemahaman yang dangkal dan tekstual. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memaknai Al-Qur’an dalam konteks transformasi sosial yang terletak dalam bentuk kesalehan sosial dan bukan hanya  hubungan vertikal semata, melainkan lebih menekankan pada hubungan horizontal atau hubungan dengan makhluk Tuhan.
Oleh karena itu, pembebasan secara teologis yang mengarah kepada prioitas kesinambungan kehidupan antara manusia menjadi orientasi. Hubungan manusia dengan manusia lain bukan hanya terletak pada sesama golongan namun manusia semuanya, tanpa membedakan suku, ras, agama dan yang lainnya. Meskipun demikian aspek-aspek Ketuhanan tetap akan terjaga tanpa adanya kekhawatiran pengkaburan makna dalam memahami Al-qur’an. 
3.  Upaya penggalangan aksi penolakan kekerasan dan upaya legitimasi melaui ayat-ayat suci Al-qur’an
Upaya penggalangan aksi penolakan kekerasan melalui legitimasi ayat-ayat suci Al-qur’an harus mendapat dukungan dari segala pihak baik dari pihak agama, keamanan, serta politik atau ekonomi di Indonesia. Perilaku kekerasan merupakan suatu pelecehan terhadap agama serta pelecehan terhadap kemanusiaan, sehingga perlu adanya kerjasama dari semua pihak untuk menanggulangi serta mengatasi hal tersebut. Tanpa adanya kebersamaan dan kerjasama yang kokoh maka perdamaian sulit dicapai, dan yang akan timbul hanyalah permusuhan serta aksi penghancuran dan berimbas pada buruknya citra Islam di mata Internasional. (http://islamlib.com/id).
Berdasaran uraian tersebut dapat diambil makna bahwa kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, pemaknaan Al-qur’an secara harfiahlah serta upaya legitimasi kelompok tertentu yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Upaya penggalangan penolakan kekerasan melalui legitimasi ayat-ayat suci Al-qur’an dapat dilakukan dengan berbagai langkah berikut:
 1.  Pendekatan melalui negara yang harus bersikap netral dan adil dalam kehidupan  keagamaan masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kasus-kasus penyesatan dan kriminalisaasi terhadap kelompok keagamaan, kepercayaan, dan  keyakinan apa pun.
2.  Menuntut negara untuk secara aktif memfasilitasi dan membuka ruang dialog secara damai, setara dan  terbuka serta menuntut negara untuk memberikan perlindungan kepada pimpinan dan anggota komunitas yang dituding  sesat dan sebagainya.
3. Menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat terutama bagi masyarakat muslim untuk bersikap  inklusif dan tidak panik dalam menghadapi munculnya berbagai aliran  keagamaan, keyakinan dan kepercayaan serta menghentikan  tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, baik secara fisik maupun verbal.
4. Menghimbau kepada semua pemuka agama untuk menghentikan klaim sesat dan menyesatkan kepada kelompok lain. Fatwa penyesatan justru menjadi pendorong, pemicu, dan pembenaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat tertentu.
Berdasarkan beberapa upaya tersebut menunjukkan bahwa langkah penanggulangan kekerasan melalui ayat-ayat suci Al-qur’an harus terjalin kerjasama antara masyarakat muslim, umat beragama, serta peran aktif negara. Tanpa ketiga hal tersebut maka kekerasan tidak akan pernah terselesaikan.
Islam hadir untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan perdamaian. Tugas kita semua untuk memberikan citra positif bagi Islam yang memang berwajah humanis dan  anti-kekerasan ini. Ajaran dan norma-norma Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk menjadikan perdamaian (salam), toleransi (tasamuh), keadilan (‘adalah), keseimbangan (tawazun), kebebasan (hurriyah), moderasi (tawasuth), konsultasi (syura), dan persamaan (musawah) sebagai dasar kehidupannya. Lebih dari itu, ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat baik (amal shaleh) kepada siapa pun, baik di kalangan Islam itu sendiri maupun non-Islam, dengan melakukan hal ini, konsep Islam sebagai agama rahmat akan membumi dan tindakan kaum fundamentalis yang mengatasnamakan Al-qur’an tidaklah sesuai dengan ajaran dan norma agama Islam yang sebenarnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Afif Zamroni. 2005. Liberalisme dalam Islam. [terhubung berkala] http://www.Islamliberal.com/ [diunduh pada tanggal 29 Maret 2011]

Al-Qur’anul Karim.

Harb, Ali. 2007. Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Tashwirul Afkar. Jurnal. Jakarta: Lakpesdam NU, Edisi Ke-2.

Pasifik link. 2003. Konsep, Kebijaksanaan, dan Strategi Kebudayaan Indonesia. [terhubung berkala] http://www.kongresbud.budpar.go.id/ [diunduh pada tanggal 13 Maret 2011]

Raharjo, M. Dawam. 2002. Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.

Sahrasad. 2008. Kekerasan Berjubah Agama. [terhubung berkala] http://sinarharapan.co.id/berita/0606/26/opi01.html [diunduh pada tanggal 13 Maret 2011]

Susanto, Happy. 2003. Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama. [terhubung berkala] http://islamlib.com//id.index.php?page=article&id=412/ [diunduh pada tanggal 29 Maret 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger