Mata Kuliah: Pengelolaan Hutan Rakyat Hari/tanggal:
Kamis, 29 Maret 2012
LAPORAN
HASIL REVIEW JURNAL
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN CIAMIS
Sustainable Social Forest Management in The Ciamis Regency
Oleh:
Jajang Roni A.
Kholik (E14090090)
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS.
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Sumber Jurnal Review:
Jurnal Agritek Vol. 17 No. 3 Mei 2009 ISSN. 0852-5426
Judul:
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN CIAMIS
Sustainable
Social Forest Management in The Ciamis Regency
Hutan rakyat merupakan hutan
yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak
milik (hutan hak) yang dikelola oleh
rakyat. Pada
dasarnya hutan rakyat di Jawa Barat khususnya di daerah Ciamis, terdapat pada
daerah daratan yang kering dimana tanahnya merupakan lahan yang kemungkinan
sangat peka terhadap erosi. Terlebih lagi jika kondisi tanah yang ada sangat
tidak subur atau dengan kata lain adanya kekurangan unsur hara dalam tanah,
maka kejadian erosi tanah akan sangat mungkin untuk selalu terjadi. Akan
tetapi, kejadian erosi pada hutan rakyat yang ada di tanah kering tersebut
masih dapat diminimalisir dengan selalu menjaga kondisi hara tanah agar tetap
seimbang dan tanah selalu subur.
Pada dasarnya, pengelolaan hutan rakyat sudah lama dilakukan
oleh masyarakat yang ada di daerah Ciamis, hanya saja kendala yang terjadi sekarang
adalah mengenai luasan hutan rakyat dan pengetahuan budidaya hutan yang
dimiliki oleh petani/ masyarakat. Pertama,
bahwasannya hutan rakyat di daerah Ciamis khususnya, dan umumnya hutan rakyat
yang ada di seluruh wilayah pulau Jawa mempunyai luasan yang sangat kecil,
dimana rata-rata luasan yang dimiliki oleh satu orang petani/ masyarakat adalah
masih dibawah 1.0 Ha (< 1.0 Ha). Kedua,
pemanfaatan sumberdaya yang dihasilkan dari hutan rakyat. Adanya berbagai macam
tujuan yang ingin dicapai masyarakat atas hutan rakyat yang dimilikinya
menyebabkan sebagian besar hutan rakyat tidak dapat dikelola dengan lestari dan
optimal. Terlebih lagi dalam hal
pengetahuan masyarakat yang masih terlalu minim, menyebabkan masyarakat tidak
banyak peduli akan kelestarian tanah dan hasil hutan yang ada. Yang terpenting dipikiran
masyarakat selama ini adalah mengenai bagaimana hutan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari terutama kebutuhan pangan dan
sayur-sayuran, tanpa memikirkan cara yang baik untuk mengelola hutan dan tanah
agar tetap lestari dan memberikan hasil yang berkelanjutan di masa depan. Oleh
karena itu, kedua hal tersebut di atas merupakan salah satu aspek yang menjadi
kunci utama dalam perbaikan pengelolaan hutan rakyat di pulau Jawa khususnya di
daerah Ciamis.
Salah
satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan
lahan secara optimal adalah dengan usaha hutan rakyat berbasis Agroforestry,
dimana di dalam lahan tersebut dimanfaatkan sebagian besar oleh pohon-pohon
berkayu (pohon-pohon kehutanan) dan tanaman pertanian (sayur-sayuran,
buah-buahan, dan komoditas pertanian lainnya) sebagai tanaman sela yang mengisi
antar pohon kehutanan. Agroforestry merupakan suatu teknik yang memanfaatkan
lahan secara hemat dan tepat guna dimana semua lokasi lahan dimanfaatkan sebaik
mungkin tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Seperti yang sudah diketahui
bersama, bahwa pada pohon-pohon kehutanan terdapat aturan yang biasa disebut
dengan jarak tanam pohon. Pada jarak tanam ini, suatu tegakan diatur jarak
tanamnya antara pohon yang satu dengan yang lain guna menghasilkan tegakan yang
normal, seimbang, dan lebih produktif. Pada hutan alam maupun hutan tanaman,
biasanya diberikan jarak antar pohon ideal adalah sekitar 3 meter x 3 meter,
sehingga hanya sebagian kecil saja lahan yang bisa dimanfaatkan. Hal tersebut memang
baik dan sesuai aturan, karena dilakukan agar pohon tidak tertekan atau
terhambat petumbuhannya dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Akan tetapi, pemanfaatan
lahan tidak dapat dilakukan secara optimal. Berbeda halnya pada sistem agroforestry
ini, semua lahan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, atau dengan kata lain
tidak ada sedikitpun lahan yang tidak dipergunakan. Teknik yang digunakan pada
agroforestry ini adalah pada selang antar jarak tanam pohon kehutanan yang ada
dimanfaatkan dengan menanam tanaman pertanian, seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan. Dengan demikian, beberapa keinginan masyarakat yang saling
bertentangan yang selama ini terpikirkan di dalam memanfaatkan hasil hutan
dapat tercapai dengan agroforestry yaitu di samping petani/ masyarakat dapat memanfaatkan
sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di lahan hutan rakyat tersebut, petani
juga dapat senantiasa menjaga keberlanjutan fungsi lahan/tanah secara lestari
dalam hal unsur hara dan keberlanjutan hasil hutan (pohon berkayu) secara
lestari dan optimal.
Pengelolaan
hutan rakyat lestari adalah suatu sistem pengelolaan yang memperhatikan
kelayakan ekologi/ lingkungan, kelayakan pendapatan (ekonomi), dan kelayakan sosial yang dapat
menjamin dalam pemenuhan kebutuhan secara optimal dan berkelanjutan.
Kelayakan ekologi adalah memperhatikan kelangsungan fungsi ekologis dan
lingkungan, dalam hal ini bahwa hutan merupakan tempat tumbuhnya flora dan
fauna yang beraneka ragam yang harus dikelola dan dijaga agar tetap lestari,
serta tanah yang ada harus dijaga agar tidak menyebabkan terjadinya erosi.
Kelayakan ekonomis adalah bahwa hutan rakyat harus dapat menghasilkan nilai
ekonomi (pendapatan) dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat secara
berkelanjutan baik hasil untuk masa kini maupun masa depan. Sedangkan kalayakan
sosial adalah mengenai posisi dan fungsi hutan rakyat sebagai penyedia lapangan
kerja bagi masyarakat sekitar, sehingga semakin banyak hutan rakyat yang ada,
pekerjaan yang diberikan untuk masyarakat sekitar hutan akan bertambah pula.
Hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Eming Sudiana, dkk. (2009) mendapatkan sembilan basis pola tanam hutan
rakyat di daerah Ciamis yaitu pola tanam berbasis
tanaman sengon, mahoni, jati, karet, tanaman serbaguna, tanaman semusim,
coklat, kapulaga, dan kopi. Perbedaan
tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan dan kepemilikan bibit tanaman yang ada
di masyarakat. Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan mengenai tumbuhan
bawah penutup tanah. Tumbuhan bawah yang paling rapat terdapat pada pola tanam
berbasis jati, kemudian diikuti oleh pola tanam MPTS, dan kapulaga. Sedangkan yang paling jarang terdapat pada
pola tanam berbasis coklat, karet, dan sengon. Adanya tumbuhan
bawah yang jarang pada pola tanam berbasis coklat, karet, dan sengon disebabkan
karena petani lebih memilih model pengelolaan perkebunan, sehingga petani
berpikir bahwa tumbuhan bawah tersebut akan merusak dan mengganggu kebun mereka
sehingga dilakukan pembabatan tumbuhan bawah. Berdasarkan nilai erosi yang
diperbolehkan (ETol), hanya didapatkan pada tiga pola tanam yang optimal, yaitu pola tanam berbasis
tanaman jati, mahoni, dan tanaman
serbaguna (MPTS). Nilai erosi yang
didapat rata-rata 17 - 25
ton/ha/tahun atau dikatakan
masih dalam tingkatan erosi yang diperbolehkan.
Selanjutnya
adalah pengamatan mengenai biodiversitas (keanekaragaman) tumbuhan. Dari hasil yang didapat, memiliki korelasi yang cukup
berarti dengan produktivitas tanaman tahunan dan limpasan permukaan. Biodiversitas tumbuhan mampu menjelaskan ragam produktivitas
tanaman tahunan sebesar 53,10%, sedangkan terhadap ragam limpasan permukaan
sebesar 82,70%. Untuk meningkatkan
produktivitas tanaman khususnya pada
tanaman mahoni,
pisang, aren, dukuh, dan petai dengan nilai masing-masing sebesar 11,79 m3/tahun, 1.323,89
kg/tahun, 1.123,15 kg/tahun, 259,98 kg/tahun, dan 252,48 kg/tahun harus dihadapkan dengan resiko terjadinya peningkatan erosi
dan limpasan permukaan masing-masing sebesar 461,52 ton/ha/tahun dan 15.696,98 m3/ha/bulan.
Disamping itu, resiko yang terjadi adalah penurunan produktivitas pada tanaman
jati sebesar 3,34 m3/tahun, coklat 244,78 kg/tahun, kapulaga 931,60
kg/tahun, dan kopi 700,29 kg/tahun. Resiko lain yang dapat terjadi adalah
penurunan pendapatan petani. Dari data yang diperoleh, meskipun tampak terjadi
kenaikan penyerapan tenaga kerja pertanian sebesar 36,64 HOK/tahun dan kenaikan
cadangan karbon sebesar 626,01 Mg/ha, pendapatan petani semakin menurun dari
sebelumnya.
Solusi optimal yang diusulkan dalam penelitian ini adalah dengan cara penyusunan skenario
melalui perbaikan kerapatan tanaman dengan memprioritaskan pada kegiatan meminimalkan erosi
dan limpasan permukaan dengan
tetap memperhatikan kendala keterbatasan modal dan luas lahan yang dimiliki oleh petani/ masyarakat. Petani dengan luasan lahan yang sempit cenderung mengelola hutan ke arah pola tanam hutan rakyat monokultur, sedangkan pada lahan yang luas cenderung
dikelola dengan model hutan
rakyat campuran, seperti: pola tanam berbasis tanaman semusim dan
tanaman serbaguna (MPTS) maupun
perkebunan
campuran (Agroforestry), seperti: pola tanam karet, coklat, kapulaga, dan kopi.
Produktivitas hutan rakyat di kabupaten Ciamis yang masih berada pada kisaran mendekati target produktivitas hutan
sekunder, upaya tersebut tentunya mengarah pada pencapaian tujuan utama
pengelolaan hutan rakyat, yaitu: menekan seminimal mungkin erosi dan
limpasan permukaan, kemudian dilakukan tindakan selanjutnya untuk meningkatkan
tujuan ekonomi dan sosial. Sebab dengan langkah tersebut, kesuburan tanah dan ketersediaan
air dapat dipertahankan. Tanah subur dengan air yang cukup tersedia pada lahan
hutan rakyat akan terbangun ekosistem hutan rakyat yang sehat dengan unsur hara
yang banyak terdapat di dalamnya dan sekaligus dapat meningkatkan produktivitas
hasil hutan rakyat baik pohon-pohon kehutanan maupun sayur-sayuran yang menjadi
kebutuhan petani/ masyarakat, serta peningkatan pendapatan petani pengelola
hutan rakyat yang semakin bertambah terutama pada penambahan lapangan pekerjaan
yang diberikan dari adanya hutan rakyat di sekitarnya.