LAPORAN AKHIR
PENYUSUNAN PEDOMAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI ERA OTONOMI DAERAH
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (Malay Archipelago), memiliki 17.508 pulau, 6.000 pulau di antaranya secara tetap dihuni oleh manusia,
sebagian besar dari pulau tersebut termasuk kategori pulau kecil (kurang dari 10.000 km2). Variasi ukuran, bentuk, umur, serta karakteristik ekologis pulau-pulau tersebut menyebabkan tingginya keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Tidak kurang dari 300 kelompok etnis terdapat di Indonesia. Ekosistem pulau/kepulauan menyebabkan Indonesia dicirikan oleh tingginya tingkat endemisme untuk seluruh kelompok organisme. Meskipun belum ada data yang akurat, endemisme untuk organisme mikro diperkirakan juga tinggi. Ekosistem pulau/kepulauan menuntut pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati yang sesuai dengan karakteristiknya agar tujuan pengelolaan tersebut dapat dicapai.
TUJUAN
Pedoman Pengelolaan Keanekaragaman Hayati pada Era Otonomi Daerah ini disusun dengan tujuan:
1. Mendorong penguatan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
2. Menyediakan instrumen bagi daerah untuk meningkatkan kinerjanya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
FUNGSI PEDOMAN
Pedoman ini memiliki fungsi untuk menyatukan cara pandang dan kerangka pikir, serta mensinergikan tindakan pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati pada era otonomi daerah. Fokus panduan adalah menyediakan instrumen yang dapat diacu oleh semua pihak guna merumuskan tindakan dan mengevaluasi kinerja pengelolaan keanekaragaman hayati di daerah. Secara umum, fungsi penting dari pedoman ini adalah:
1. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota: menjadi pedoman yang diacu oleh pemerintah daerah, perangkat daerah dan seluruh aktor pembangunan dalam mengelola keanekaragaman hayati sebagai bagian dari tata lingkungan daerah, mulai dari tahap perencanaan hingga monitoring dan evaluasi kinerjanya.
2. Bagi Pemerintah Provinsi: menjadi pedoman yang diacu oleh pemerintah provinsi dalam mengembangkan kebijakan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati oleh pemerintah kabupaten/kota.
3. Bagi Pemerintah Pusat: menjadi pedoman yang diacu oleh pemerintah pusat, termasuk seluruh sektor, dalam mengembangkan regulasi dan kebijakan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keanekaragaman hayati oleh pemerintah kabupaten/kota.
4. Bagi Masyarakat: menjadi pedoman untuk berpartisipasi aktif, termasuk mendorong terwujudnya kontrol sosial, dalam pengelolaan keanekaragaman hayati daerah.
STRUKTUR PANDUAN
Pedoman ini mencakup aspek-aspek pengelolaan keanekaragaman hayati oleh pemerintah kebupaten/kota dalam era otonomi. Struktur Buku terdiri dari:
BAB I: PENDAHULUAN
Menyajikan latar belakang perlunya pedoman, tujuan dan fungsi pedoman.
BAB II: KONSEP DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI NASIONAL
Menyajikan pengertian dan nilai keanekaragaman hayati, faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi keanekaragaman hayati, konteks, alat dan metode pengelolaan keanekaragaman hayati, penentuan prioritas konservasi keanekaragaman hayati, serta kebijakan, peraturan dan perundang-undangan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Untuk Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Nasional diadopsi dari dokumen IBSAP (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan) tahun 2003, menyajikan visi, misi, tujuan, dan sasaran pengelolaan keanekaragaman hayati nasional, serta strategi pelaksanaannya.
BAB III: PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI OLEH DAERAH
Menyajikan pengertian mengenai pemerintahan daerah di era otonomi, kriteria kinerja pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,
peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, serta upaya mewujudkan adi-praktis (best practices) dan tata kelola keanekaragaman hayati yang baik (biodiversity good governance) oleh pemerintah kabupaten/kota.
BAB IV: STRATEGI UMUM IMPLEMENTASI PANDUAN
menyajikan kebutuhan daerah untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia dan mekanisme pendanaan yang mungkin digali untuk mendukung penguatan kapasitas tersebut.
A. Konsep Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Pengertian dan Batasan
1. Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, baik di darat, laut, maupun perairan lainnya, interaksi di antara berbagai makhluk hidup serta antara mahluk hidup dengan lingkungannya;
2. Keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga makhluk yang mampu berpikir seperti manusia;
3. Keanekaragaman hayati mencakup fungsi-fungsi ekologi atau layanan alam, berupa layanan yang dihasilkan oleh satu spesies dan/atau ekosistem (ruang hidup) yang memberi manfaat kepada spesies lain termasuk manusia;
4. Keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika, dan kaitan di antara berbagai aspek ini;
5. Keanekaan sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga terkait erat dengan keanekaragaman hayati.
Nilai Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati, baik liar maupun budidaya, merupakan sumber seluruh sumberdaya biologi, dimana manusia mendapatkan seluruh kebutuhan hidupnya akan makanan, obat-obatan dan produk industri. Manfaat dari keanekaragaman hayati liar mencapai 4.5 % dari GDP di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, mencapai US $ 87 milyar per tahun. Perikanan yang sebagian besar tergantung pada spesies liar memberikan sumbangan pada pangan dunia lk. 100 juta ton pada tahun 1989.
Komponen keanekaragaman hayati sangat penting peranannya bagi kesehatan manusia
Pada masa lampau, hampir seluruh obat-obatan berasal dari tumbuhan dan binatang, bahkan hingga kini obat-obatan tersebut masih sangat penting peranannya. Selain bahan obat-obatan, prospek keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan juga sama pentingnya. Sangat sedikit spesies yang memiliki potensi ekonomi secara aktual dikenal di pasar dunia. Keanekaragaman genetik merupakan sumberdaya yang bernilai sangat tinggi tetapi tidak dihargai sebagaimana mestinya. Potensinya digambarkan secara menakjubkan pada penemuan spesies jagung liar (Zea diploperrennis) di bagian barat-tengah Jalisco, sebelah selatan Guadalajara oleh mahasiswa perguruan tinggi di Meksiko pada tahun 1970-an.
Di Indonesia, keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya vital bagi keberlajutan pembangunan nasional.
Berbagai sektor pembangunan secara langsung maupun tidak langsung tergantung keanekaragaman ekosistem alam dan fungsi-fungsi lingkungan yang diperankan oleh ekosistem tersebut. Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting artinya bagi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan, kesehatan, industri, rekreasi dan periwisata, serta pengembangan ilmu pengetahuan (Bappenas, 1993).
Meskipun Indonesia dkenal sebagai “mega-biodiversity country” yang mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat melimpah, namun sebagian besar belum diketahui manfaatnya. Dari kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut baru sekitar 6000 jenis tumbuhan, 1000 jenis hewan dan 100 jenis jasad renik yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang kebutuhan hidupnya (KPPNN, 1992).
Fenomena lain menunjukkan bahwa industri yang berbasis keanekaragaman hayati merupakan penggerak roda perekonomian domestik yang sangat penting. Sebagai contoh, saat ini terdapat 650 – 700 pengusaha jamu di Indonesia dengan total omzet USD 200 juta (Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia, 1999).
Potensi lain yang dapat digali dan dikembangkan dari keanekaragaman hayati untuk peningkatan pendapatan masyarakat adalah Ekowisata. Tren masyarakat global untuk back to nature serta kondisi alam Indonesia yang indah dengan berbagai macam species merupakan lahan subur yang belum banyak disentuh dan dikembangkan. Sebagai gambaran, pada tahun 1998/1999 sekitar 3,5 juta wisatawan baik domestik maupun manacanegara berkunjung ke kawasan konservasi. Sedangkan nilai jasa ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser saja sekitar Rp 37,15 milyar rupiah (Ditjen PHKA, 1996).
Masalah kepunahan spesies
Masalah kepunahan spesies nampaknya merupakan isu utama, baik di habitat perairan maupun habitat daratan. Akar Penyebab Kepunahan:
a. Pertumbuhan populasi manusia dan pola konsumsi sumberdaya yang tidak berkelanjutan.
b. Penyempitan terus menerus spektrum perdagangan produk-produk pertanian, kehutanan, dan perikanan.
c. Sistem ekonomi dan kebijakan yang gagal menilai lingkungan dan sumberdaya di dalamnya. Dalam hal ini juga termasuk kegagalan perencanaan ekonomi akibat internasionalisasi pasar dan penetapan harga komoditi yang tidak menentu (erratic pricing of commodities).
Mekanisme Kepunahan
a. Kerusakan dan fragmentasi habitat
b. Introduksi spesies
c. Eksploitasi berlebihan
d. Pencemaran tanah, air dan udara
e. Perubahan iklim global
f. Perkembangan industri pertanian dan kehutanan
g. Perubahan kondisi fisik habitat perairan
Keanekaragaman hayati sebagai bagian dari prinsip hidup hakiki. Setiap spesies mempunyai hak untuk hidup dan berkembang secara normal. Piagam PBB tentang alam menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan wajib dihormati tanpa memperdulikan nilainya bagi manusia, dan viabilitas genetik dimuka bumi tidak akan dikompromikan, sehingga membahayakannya;
Keanekaragaman hayati sebagai bagian dari daya hidup manusia. Keanekaragaman hayati membantu planet bumi untuk tetap hidup, karena keanekaragaman hayati memainkan peranan penting dalam berbagai bentuk sistem penunjang kehidupan, mulai dari mempertahankan keseimbangan materi kimiawi (melalui siklus biogeokimia) dan mempertahankan kondisi iklim hingga melindungi daerah aliran sungai dan memperbarui tanah.
Keanekaragaman hayati menghasilkan manfaat ekonomi. Keanekaragaman hayati merupakan sumber dari seluruh kekayaan sumberdaya biologis yang bernilai ekonomi. Dari keanekaragaman hayati, manusia memperoleh makanan, dan berbagai bahan baku. Keanekaragaman hayati merupakan gudang simpanan barang dan jasa. Spesies liar dan sumberdaya genetik yang terkandung di dalamnya memberikan sumbangan besar bagi pertanian, pengobatan dan industri, serta menghasilkan nilai jutaan dollar setiap tahunnya. Disamping itu, manusia menghargai kehidupan liar dan memanfaatkannya untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata yang juga bernilai jutaan dollar. keanekaragaman hayati juga diketahui mempunyai nilai budaya yang besar. Pada saat ini, kekayaan sumberdaya hayati Indonesia diperkiraan sedang mengalami penurunan dan kerusakan pada tingkat yang mengkhawatirkan dan dapat mengancam keberlanjutan pembangunan nasional.
Faktor Teknis
Yaitu: kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu sendiri.
Faktor kegiatan Manusia
a. Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang rendah: Sebagian lapisan masyarakat kurang memiliki kesadaran dan pemahaman tentang makna penting keanekaragaman hayati, baik bagi kehidupan sehari-hari.
b. Lewah Panen atau Pemanfaatan berlebih: Pemanfaatan sumber daya sering dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
c. Pemungutan dan perdagangan ilegal: Contoh jelas tentang hal ini adalah penebangan haram, serta perdagangan flora dan fauna, yang dilindungi maupun yang tidak, juga marak di Indonesia.
d. Konversi habitat alami: Diperkirakan sekitar 20-70% habitat alami Indonesia sudah rusak (Bappenas, 1993).
e. Monokulturisme dalam budidaya dan pemanfaatan: Pola monokultur ini mengarah pada ketidakseimbangan dan akhirnya menimbulkan keterancaman spesies serta erosi keanekaragaman genetik. Spesies yang diketahui nilai ekonomi pasarnya dieksploitasi secara berlebih, dan upaya budidayanya dilakukan. Sementara spesies yang dianggap tidak punya nilai ekonomi dibiarkan terancam punah tanpa ada upaya budidaya.
f. Tekanan penduduk: Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia dengan populasi mencapai 203 juta orang pada tahun 2000;
g. Kemiskinan dan keserakahan: kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah, merupakan ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati.
Faktor Alam
Salah satu faktor alam yang bisa mempengaruhi kerusakan dan penyusutan keanekaragaman hayati ialah perubahan iklim global. Perubahan iklim global, yang antara lain disebabkan oleh pemanasan global, mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan penghidupan manusia.
Faktor Struktural
Ada dua akar persoalan atau masalah struktural. Pertama, paradigma pembangunan yang dianut oleh pemerintah selama era 1970-an hingga 1990-an dan kedua, belum terbentuk tata kelola (good governance) yang baik dicirikan oleh pemerintah yang bersih, bertanggung gugat, representatif dan demokratis.
Kedua pangkal persoalan tersebut menimbulkan masalah struktural di bawah:
a. Kebijakan Eksploitatif, Sentralistik, Sektoral dan Tidak Partisipatif Paradigma pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah untuk melakukan sentralisasi pelaksanaan pembangunan dan penguasaan sumber daya untuk pembangunan, termasuk sumber daya alam.
b. Sistem Kelembagaan yang Lemah Indonesia belum mempunyai sistem yang kuat dan efektif untuk pengelolaan keanekaragaman hayati. Akibatnya, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati belum terpadu.
c. Sistem dan penegakan hukum yang lemah
Kerangka Kerja Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Pengelolaan keanekaragaman hayati merupakan upaya manusia untuk merencanakan dan mengimplementasikan pendekatan-pendekatan untuk:
a. Melindungi dan memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis dan menjamin pembagian keuntungan yang diperoleh secara adil.
b. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia, finansial, infrastruktur, dan kelembagaan untuk menangani tujuan diatas.
c. Menegakkan tata kelembagaan yang diperlukan untuk mendorong kerjasama dan aksi sektor swasta dan masyarakat.
Konteks Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Isi kebijakan dan rencana mengenai keanekaragaman hayati, baik di tingkat nasional maupun daerah, akan mempengaruhi keputusan mengenai pemilihan metode dan alat yang paling sesuai dengan kondisi budaya, sejarah, sosial, ekonomi dan realitas ekologis negara tersebut.
Metode Dan Alat Pengelolaan Keanekaragaman Hayati
Secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi jenis, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut.
b. Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi jenis tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan.
c. Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali jenis, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi jenis asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan jenis asli.
d. Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan.
e. Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak;
f. Mekanisme Pasar, meliputi upaya untuk menghargai setiap produk yang proses produksinya akrab lingkungan dan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati.
Pendekatan penyusunan prioritas
Pendekatan penyusunan prioritas berdasar jenis ditekankan pada analisis populasi dan distribusi geografisnya. Daerah penyebaran atau habitat mungkin dicerminkan didalam penentuan prioritas tetapi habitat tersebut dipilih bukan berdasarkan atas kelangkaan atau keunikannya.
Kebijakan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Tujuan utama dari KKH yaitu: (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai.
Sesuai dengan tujuannya KKH mewajibkan negara-negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia, untuk:
1. Membuat strategi dan rencana aksi nasional (seperti BAPI 1993 dan IBSAP 2003);
2. Memfasilitasi partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pelaksanaan KKH;
3. Mendukung pengembangan kapasitas bagi pendidikan dan komunikasi keanekaragaman hayati;
4. Menerapkan pendekatan ekosistem, bilamana memungkinkan, dan memperkuat kapasitas nasional serta lokal;
5. Mengembangkan peraturan tentang akses pada sumber daya genetis dan pembagian keuntungan yang adil.
UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya melalui:
a. Penetapan kawasan konservasi (KPA dan KSA) yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
b. Perlindungan spesies yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
c. Pemanfaaatan jenis secara berkelanjutan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
d. Pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata alam yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Undang-undang
a. Undang Undang RI Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
b. Undang Undang RI No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
c. Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
d. Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;
f. Undang Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang;
g. Undang Undang RI Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan.
STRATEGI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI NASIONAL
VISI “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang peduli, berdaya, mandiri dan cerdas dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
MISI
1. Membangun sikap mental dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia, serta berbagai unsur kelembagaan dan instrumen hukum yang ada, agar peduli terhadap kelestarian dan kemanfaatan keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat, selaras dengan ketentuan nasional serta konvensi internasional.
2. Memanfaatkan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal.
3. Melaksanakan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara seimbang.
4. Memperkuat kelembagaan dan penegakan hukum.
TUJUAN DAN SASARAN
1. Membentuk kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang peduli terhadap kelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang seimbang dan berkelanjutan.
2. Memperkuat dukungan sumberdaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan, serta kearifan lokal bagi perwujudan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang adil dan berkelanjutan.
3. Memperlambat, mengurangi dan menghentikan laju kerusakan/degradasi dan kepunahan keanekaragaman hayati nasional, regional maupaun lokal dalam kurun waktu 2003-2020, diiringi upaya rehabilitasi dan pemanfaatan berkelanjutan.
4. Meningkatkan keberadaan pranata kelembagaan, kebijakan, dan penegakan hukum di tingkat nasional, regional, lokal, maupun adat agar efektif dan kondusif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati secara sinergis, bertanggung jawab dan bertanggung gugat, adil, seimbang, dan bekelanjutan.
5. Mewujudkan keadilan dan keseimbangan peran dan kepentingan, serta memperkecil potensi konflik di antara seluruh komponen masyarakat bangsa Indonesia secara kondusif, sinergis, bertanggung jawab dan bertanggung gugat dalam pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
STRATEGI PELAKSANAAN IBSAP
Guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan diatas maka perlu perumusan strategi pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia tahun 2003-2020.
Strategi Waktu
Masa pelaksanaan IBSAP secara umum mengacu kepada jangka waktu pencapaian Visi Indonesia Masa Depan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor VII/2001, yang mencakup kurun waktu hingga 2020. Mengingat kurun waktu ini cukup panjang maka perlu diadakan pembabakan periode pelaksanaan IBSAP seperti berikut ini.
1. Tahap penyebarluasan dan inisiasi IBSAP (tahun 2003). IBSAP akan mulai dilaksanakan pada 2003 dengan kegiatan utama berupa program penyebarluasan dokumen IBSAP dan isinya. Persiapan infrastruktur kelembagaan maupun kebijakan nasionl yang berkaitan dengan pengelolan keanekaragaman hayati dalam jangka panjang.
2. Tahap transisi (2004-2008) Berbagai program dan kebijakan nasional, serta pola pikir dan pola tindak pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan akan dibentuk, disebarluaskan, dan mulai dilaksanakan sebagai dasar guna memantapkan pencapaian tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati pada periode berikutnya. Pada tahap ini pula sudah harus jelas upaya untuk mengurangi laju degradasi kerusakan keanekaragaman hayati, sebagai dasar bagi pengelolaan yang berkelanjutan.
3. Tahap pemantapan aksi (2009-2020). Tahap pemantapan dan akselerasi pelaksanaan secara komprehensif bagi seluruh rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati nasional. Salah satu komponen penting adalah program rehabilitasi, konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara terukur, berkeseimbangan, dan memperhatikan prinsip-prinsip kelestariannya. Penyelenggaraan tata kelola yang baik, khususnya dalam hal pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan bertanggung gugat diharapkan telahberkembang dalam periode ini.
Strategi Operasional Rencana Aksi
Kerangka strategis mencakup empat aspek utama yaitu: strategis pengarus-utamaan (mainstreaming strategy), strategi pembangunan kapasitas (capacity building strategy), strategi desentralisasi (decentralization strategy), dan strategi kebersamaan dan partisipasi (participation and movement strategy).
Strategi pengarus-utamaan
Kerangka strategi ini diarahkan pada pengembangan kerangka kebijakan dan penyusunan perundang-undangan nasional, yang juga mengacu kepada ketentuan berbagai konvensi internasional. Kerangka kebijakan dan perundangan ini diharapkan menjadi acuan perilaku dan tindakan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.
Strategi pembangunan kapasitas
Kerangka strategi ini diarahkan pada penyebarluasan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan, konsep dan metode serta pengetahuan dan teknologi, maupun informasi mengenai pengelolaan, rehabilitasi, dan konservasi keanekaragaman hayati yang berkelanjutan.
Strategi desentralisasi
Kerangka strategi ini dilandasi oleh asumsi bahwa pada dasarnya permasalahan pengelolaan keanekaragaman hayati lebih bersifat spesifik lokasi, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara seragam untuk semua tempat, dan keefektifannya sangat tergantung pada kemampuan masyarakat lokal bersama-sama aparatur pemerintah lokal.
Strategi kebersamaan dan partisipasi
Pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan tidak dapat dilakukan oleh satu instansi atau oleh pemerintah saja. Strategi kebersamaan dan partisipasi diarahkan pada pelibatan seluruh komponen bangsa di dalam pelaksanaan IBSAP dalam bentuk suatu gerakan di mana setiap kelompok masyarakat melakukan perannya dalam sinergi dengan kelompok lainnya.
Mekanisme pelaksanaan dan koordinasi
Proses penyusunan IBSAP nasional berlangsung di bawah koordinasi BAPPENAS, yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai unsur dan komponen masyarakat madani, akademisi, sektor swasta, dan aparatur pemerintahan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten. Dokumen IBSAP diharapkan menjadi acuan bagi lembaga manapun di Indonesia, instansi pemerintahan pusat dan daerah, ornop lokal, nasional dan internasional (yang beroperasi di Indonesia), sektor swasta ataupun lembaga donor yang berminat pada pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota hendaknya dapat menyusun Dokumen IBSAP Regional dan Lokal. Demikian pula sektor-sektor yang terkait, misalnya kehutanan, pertanian, atau kelautan, perlu menyusun rencana aksi sektoral di bidang keanekaragaman hayati dengan mengacu pada IBSAP nasional. Secara nasional pelaksanaan IBSAP menjadi tanggung jawab kepala pemerintah Republik Indonesia karena legitimasi dokumen IBSAP ini sesungguhnya telah terintegrasi dalam Ketetapan MPR No.VII/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Implementasi IBSAP di berbagai tingkat perlu dipantau dan dievaluasi secara berkala oleh unsur-unsur kelembagaan yang secara fungsional memiliki kewenangan dalam bidang itu. BAPPENAS secara nasional akan melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi kinerja pelaksanaan IBSAP melalui mekanisme yang telah baku di lingkungan pemerintahan. Sedangkan secara sektoral, pimpinan instansi pemerintahan dalam sektor-sektor yang bersangkutan, dan Menteri Lingkungan Hidup secara fungsional akan melakukan pemantauan dan evaluasi secara menyeluruh mengenai tingkat keberhasilan pelaksanaan IBSAP.
Secara independen, masyarakat dan swasta juga diberikan keleluasaan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan IBSAP sesuai dengan kompetensi masing-masing, baik pada skala nasional, regional, maupun lokal.
Mekanisme evaluasi IBSAP juga akan dipadukan ke dalam mekanisme perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah di tingkat nasional maupun daerah. Evaluasi periode berjalan yang pertama akan dapat dilaksanakan sejalan dengan penyusunan Propenas 2004-2009, dan selanjutnya pada setiap periode lima tahun sekali akan dilakukan evaluasi kemajuannya, dan jika diperlukan dapat dilakukan revisi atau penyesuaian rencana strategis dan rencana aksinya.
Peran dan Tanggung jawab Pemerintah Daerah
Fungsi alokasi meliputi alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa sebagai wujud atas komitmen pemerintah dalam pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Di dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perspektif pendelegasian urusan tersebut ditetapkan dengan menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar yaitu efisiensi, eksternalitas, dan akuntabilitas.
Pemerintahan Daerah di Era Otonomi
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembagian Urusan Pemerintahan Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/ akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan Pemerintahan Daerah.
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu: Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sedangkan pembangunan wilayah secara berkelanjutan antara lain dicirikan dengan pencapaian hasil (outcome) berikut:
1. Berkembangnya sistem swadaya masyarakat yang menghargai nilai-nilai keanekaragaman hayati untuk mendukung kesejahteraannya.
2. Kemandirian pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk pengelolaan kawasan lindung, yang mampu memberikan kontribusi optimal terhadap kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
3. Kemandirian pembangunan wilayah berbasis keanekaragaman hayati.
4. Penguatan Pengelolaan Keanekagaraman Hayati oleh Pemerintah Daerah Peran dan Tanggungjawab
5. Kesenjangan informasi dapat diatasi, mengingat Kabupaten/Kota lebih mengetahui potensi dan kondisi daerahnya masing-masing, sehingga pengelolaannya akan lebih efektif.
6. Lemahnya pengawasan dan pengendalian dapat dijalankan secara lebih efektif, mengingat ruang lingkup pengawasan menjadi lebih sempit sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan akan lebih kecil;
7. Partisipasi masyarakat akan menjadi lebih besar karena masyarakat sebagai penanggung resiko terbesar dapat diberikan arena untuk memainkan peranan kunci dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuannya dinyatakan dalam Pasal 3 UU tersebut untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Dalam pasal 4 konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dinyatakan sebagai tanggung jawab dan kewajiban pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) serta masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Nilai-Nilai yang Dianut
Dalam tata kelola keanekaragaman hayati, pemerintah kabupaten/kota harus memegang teguh nilai-nilai berikut:
(1) Kelestarian: pengelolaan keanekaragaman hayati berorientasi pada kelestarian sistem penunjang kehidupan dan modal alam pembangunan secara lintas generasi. Keanekaragaman hayati sebagai penyedia sumberdaya yang dapat diperbaharui hanya akan memberikan jasa dan manfaatnya bila ketersediaannya di alam tetap terjamin dalam jangka panjang. Kepemimpinan yang memiliki wawasan jauh ke depan diperlukan untuk mewujudkan kelestarian keaneakaragaman hayati.
(2) Demokratis: pengambilan keputusan mengikuti azas demokrasi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang relevan, namun dalam koridor-koridor hukum yang berlaku. Pengawasan dan penegakan hukum yang adil merupakan bagian tak terpisahkan dari nilai ini.
(3) Transparansi: membuka seluas-luasnya informasi pengurusan dan pengelolaan keanekaragaman hayati kepada seluruh pemangku kepentingan.
(4) Partisipatif: mengutamakan kemitraan dari para pemangku kepentingan dan memberikan ruang pengendalian bagiseluruh pemangku kepentingan dalam pengurusan dan pengelolaan keanekaragaman hayati.
(5) Pelayanan Publik: memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada seluruh pemangku kepentingan berdasarkanprinsip kesetaraan dan non diskriminatif.
(6) Berorientasi pada kepentingan rakyat: mengutamakan kepentingan publik dan rakyat secara umum dalam pengambilan keputusan pengelolaan keanekaragaman hayati.
(7) Berorientasi pada budaya lokal: mengadopsi secara adaptif budaya dan kearifan lokal dalam pengembangan teknologi pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
(8) Efektivitas dan efisiensi: pengelolaan keanekaragaman hayati dilaksanakan berdasarkan prinsip efektivitas dan efisiensi. Perwujudan prinsip ini memerlukan profesionalisme yang memadai dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.
(9) Tanggung-gugat (accountability):
Mekanisme Pendanaan
Untuk melaksanakan strategi di atas, berbagai peluang pendanaan dapat digali melalui jaringan kerja pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, antara lain:
a. Internasional:
b. Dana dari global environment facilities/GEF
c. Dana dari NGO internasional
d. Hubungan langsung antara Kab/kota dengan negara lain
e. Insentif Nasional (dana alokasi khusus/DAK konservasi, dana reboisasi/DR, dana perimbangan pengelolaan sda)
f. Kesepakatan antar kabupaten/Kota, misalnya kesepakatan dari retribusi hasil hutan; DAK DR daerah penghasil, dsb.
g. Perusahaan swasta yang mendukung konservasi (Pro-conservation private entities)
h. Hasil langsung dari usaha pengelolaan sumberdaya alam hayati dan jasa lingkungan (dari ekowisata, biopropeksi, penangkaran dsb)
Penguatan Kelembagaan
Penguatan lembaga yang menangani lingkungan hidup sebagai urusan wajib daerah, termasuk pengelolaan keanekaragaman hayati, perlu dilakukan dengan menugaskan Sekretaris Daerah atau Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah untuk menjadi “focal point” keanekaragaman hayati daerah. Penguatan kapasitas kelembagaan tersebut perlu diikuti dengan penyediaan infrastruktur, khususnya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pendataan, perencanaan, pertukaran informasi dan pelayanan publik di bidang pengelolaan keanekaragaman hayati. Selain itu, dalam lembaga tersebut perlu ditempatkan sumberdaya manusia yang memiliki kompentensi substansial dan manajerial yang tinggi.
Penguatan Sumberdaya Manusia
Upaya untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia diperlukan diberbagai bidang, khususnya di jajaran pemimpin daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Kompetensi kunci yang diharapkan dari para pemimpin daerah antara lain:
a. Pemahaman mengenai pengertian dan konsep pengelolaan keanekaragaman hayati dan manfaatnya bagi daerah.
b. Kemampuan untuk menetapkan kebijakan yang berorientasi pada kelestarian keanekaragaman hayati di seluruh sektor pembangunan.
c. Kemampuan untuk menetapkan keputusan yang berorientasi pada kelestarian keanekaragaman hayati di seluruh sektor pembangunan.
d. Kemampuan untuk menyusun rencana pembangunan berbasis sumberdaya hayati secara berkelanjutan.
e. Kemampuan untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pembangunan di seluruh sektor agar berdampak minimal terhadap keanekaragaman hayati.
f. Kemampuan untuk menegosiasikan kelestarian keanekaragaman hayati bagi kepentingan pembangunan daerah.
UPAYA PEMERINTAH KOTA
a. Penetapan kebijakan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berorientasi pada penetapan kawasan lindung dengan luasmemadai dan mewakili ekosistem-ekosistem bernilai konservasi tinggi, sertamengembangkan regulasi pada setiap kategori kawasan yang mempertimbangkan kelestarian keanekaragaman hayati.
b. Menyusun Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman hayati yang disyahkan melalui Perda.
c. Menyusun Rencana Strategis dan Program Aksi Pengelolaan Keanekaragaman hayati yang disyahkan dengan SK Bupati/Walikota daerah lain terhadap keanekaragaman hayati di wilayahnya juga perlu dicermati.
d. Mengembangkan kebijakan daerah untuk mendorong investasi swasta di bidang pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan industri jasa lingkungan baik skala besar, skala menengah maupun skala kecil.
e. Mengembangkan sistem restorasi dan rehabilitasi ekosistem terdegradasi berbasis pada kapital sosial yang ada di masyarakat.
STRATEGI DAN RENCANA AKSI KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA 2003-2020
INDONESIAN BIODIVERSITY STRATEGY AND ACTION PLAN 2003-2020
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
IBSAP DOKUMEN NASIONAL
Diterbitkan oleh:
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Jakarta, Indonesia 2003
Untuk mewujudkan potensi tersebut diperlukan strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati yang komprehensif, efektif dan partisipatif. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), telah menyusun Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia atau Biodiversity Action Plan for Indonesia (BAPI) pada 1993, yang diuraikan lebih lanjut pada bagian BAPI 1993 dan Implementasinya.
Penyusunan BAPI 1993 oleh BAPPENAS merupakan langkah strategis yang diambil Pemerintah Indonesia, sebelum meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH). BAPI 1993 diharapkan berfungsi sebagai sebuah panduan untuk menetapkan prioritas dan investasi di bidang konservasi keanekaragaman hayati selama periode Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) V dan VI (hingga 1999) maupun untuk jangka waktu yang lebih panjang.
Tujuan utama BAPI 1993 adalah:
1. Memperlambat laju kehilangan tutupan hutan primer, lahan basah, terumbu karang, serta habitat daratan maupun lautan lainnya yang sangat penting bagi keberadaan keanekaragaman hayati.
2. Mengembangkan ketersediaan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman hayati nasional, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat luas.
3. Memperluas pemanfaatan sumber daya hayati secara lestari dan lebih ramah lingkungan dibandingkan praktik yang telah berlangsung selama ini.
BAPI 1993 memprioritaskan konservasi in-situ, di dalam maupun di luar kawasan lindung, dan konservasi eks-situ, dengan empat kegiatan utama, yaitu:
a. Konservasi in-situ di taman nasional dan kawasan lindung daratan,
b. Konservasi in-situ di luar kawasan lindung,mencakup kawasan hutan, lahan basah dan kawasan budidaya pertanian,
c. Konservasi sumber daya pesisir dan laut,
d. Konservasi eks-situ melalui bank gen danbank benih, perlindungan varietas dan program penangkaran.
TUJUAN
Penyusunan strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional bertujuan untuk memfasilitasi pelaksanaan upaya konservasi dan pemanfaatannya secara lestari sebagaimana tercantum dalam KKH. Tujuan kegiatan IBSAP adalah:
· Melakukan kajian atas kebutuhan dan aksi prioritas yang tercantum dalam BAPI 1993 untuk mengetahui apa yang sudah dicapai, apa yang masih belum dilaksanakan, dan mencari penyebab mengapa dana dan/atau motivasi yang diperlukan belum didapatkan;
· Mengidentifikasi kebutuhan dan aksi prioritas yang baru dan merevisi rencana aksi menurut perubahan yang mungkin akan terjadi pada kebijakan lingkungan hidup di masa kini dan mendatang;
· Menentukan peluang dan kendala yang ada saat ini dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan atas keanekaragaman hayati secara efektif, termasuk kekurangan dalam pengetahuan yang ada dan sasaran serta tindakan yang realistis untuk menutup kekurangan ini;
· Menyusun strategi baru yang jelas, dan disertai dengan rencana aksi yang rinci.
KEANEKARAGAMAN HAYATI DEMI GENERASI KINI DAN MENDATANG
KKH mempunyai tiga tujuan utama: pelestarian keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetis. Salah satu kewajiban negara yang meratifikasi KKH adalah menyusun strategi dan rencana aksi di bidang pengelolaan keanekaragaman hayati di tingkat nasional.
MEMAHAMI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup serta antara mereka dengan lingkungannya. Secara teknis ilmu biologi ada tiga tingkatan keanekaragaman hayati yaitu ekosistem, spesies dan gen.
Keanekaragaman ekosistem: mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, di mana makhluk atau organisme hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya.
Keanekaragaman spesies: adalah keanekaan spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain.
Keanekaragaman genetis: adalah keanekaan individu di dalam suatu spesies. Keanekaan ini disebabkan oleh perbedaan genetis antara individu. Gen adalah faktor pembawa sifat yang dimiliki oleh setiap organisme serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mega biodiversity yaitu kawasan geografis yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. ciri kawasan tropis adalah keanekaragaman spesies tinggi, tetapi jumlah individu dalam suatu populasi spesies biasanya rendah.
Kegiatan manusia dan pola konsumsi juga cenderung mempengaruhi keanekaragaman hayati. Tindakan manusia, seperti membuka hutan untuk pertanian serta menebang kayu secara berlebih, berburu melampaui batas daya dukung spesies, maupun memanfaatkan spesies secara berlebih tanpa melakukan rehabilitasi akan mengurangi tingkat keanekaragaman hayati di suatu kawasan. Pola pemanfaatan atau budidaya yang bersifat monokultur, yaitu hanya terdiri dari satu atau dua spesies atau varietas saja (misalnya, perkebunan kayu jati atau sawah yang hanya ditanami satu varietas padi) juga mengancam keberadaan keanekaragaman hayati itu sendiri.
SISTEM BUDAYA DAN PENGETAHUAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaan budaya manusia dan sistem pengetahuan juga dapat dianggap sebagai bagian dari keanekaragaman hayati. Keanekaragaman budaya dicerminkan oleh keanekaan bahasa, kepercayaan, sistem pengelolaan lahan dan sumber daya alam, sistem pengetahuan, kesenian, musik, struktur sosial, seleksi tanaman pertanian dan pola makan, yang kesemuanya juga membantu masyarakat beradaptasi menghadapi perubahan (WRI, IUCN dan UNEP 1992).
Bahasa yang dikembangkan kelompok budaya tertentu memuat pengetahuan biologis dan ekologis tentang pemanfaatan dan pengelolaan tumbuhan, perilaku hewan dan hubungan ekologis di antara berbagai komponen keanekaragaman hayati.
Salah satu penerapan kearifan tradisional yang sudah terbukti amat berguna bagi manusia adalah sistem pengobatan tradisional. Sekitar 20.000 spesies makhluk hidup telah digunakan dalam pengobatan tradisional (WEHAB Working Group 2002). Dari 121obat-obatan modern yang dibuat dari tanaman, tiga perempatnya diperoleh dari penelusuran pengetahuan tradisional kelompok-kelompok kultural asli (etnofarmakologi).
Kearifan tradisional mengalami erosi atau transformasi karena keanekaragaman budaya terancam punah. Mittermeier dkk. (1997) menyatakan bahwa 80 kelompok budaya di Brazil telah punah sepanjang abad ke-20. Salah satu indikator erosi keanekaragaman kultural adalah hilangnya bahasa akibat jumlah penutur asli yang semakin terbatas.
NILAI DAN MAKNA PENTING KEANEKARAGAMAN HAYATI
Bagian berikut ini menyajikan beberapa makna penting dan nilai keanekaragaman hayati yang sebagian diadaptasi dari penilaian ekonomi sumber daya hayati yang dilakukan oleh program Natural Resources Management (NRM/EPIQ).
Sumber daya hayati sering diartikan sebagai modal untuk menghasilkan produk dan jasa saja, sementara keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengtahuan dan etika, dan kaitan di antara berbagai aspek ini.
METODE VALUASI EKONOMI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Valuasi sumber daya alam akan meningkatkan pengertian tentang nilai dan jasa yang disediakan oleh sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
Ada lima pendekatan valuasi (IIED 2001 dalam Vermeulen dan Koziell 2002):
a. Valuasi harga pasar, termasuk estimasi keuntungan dari konsumsi dan produksi subsisten;
b. Pendekatan pengganti pasar (surrogate market approaches), termasuk model biaya perjalanan, harga kenikmatan dan pendekatan barang subsitusi
c. Pendekatan fungsi produksi, yang menekankan pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan kegiatan pasar;
d. Pendekatan pilihan yang dinyatakan (stated preference approaches), terutama metode valuasi kontingensi beserta variannya
e. Pendekatan berbasis biaya, termasuk biaya pergantian dan biaya untuk mempertahankannya.
Nilai Eksistensi (intrinsik)
Nilai ini dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya di suatu tempat (Ehrenfeld 1991).
Nilai Jasa Lingkungan
Keanekaragaman hayati memberikan jasa ekologis atau jasa lingkungan bagi manusia. Nilai lingkungan dapat dimanfaatkan apabila keanekaragaman hayati dipandang sebagai satu kesatuan, di mana ada saling ketergantungan antara komponen di dalamnya.
Keanekaragaman spesies menyebabkan mereka mampu membentuk rantai makanan di antara tumbuhan dan hewan yang menjamin kelangsungan pasokan pangan masing-masing. Keanekaragaman genetis dibutuhkan oleh setiap spesies untuk menjaga kemampuan mereka berkembang biak, mengembangkan ketahanan terhadap penyakit serta kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Nilai Warisan
Nilai ini berkaitan dengan hasrat untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Sebagai contoh, masyarakat Kasepuhan di Gunung Halimun menyisihkan sebagian benih dari tiap varietas padi yang ditanamnya untuk bibit di musim tanam berikutnya, dan untuk melestarikan varietas padi mereka agar bermanfaat dari generasi ke generasi.
Nilai Pilihan
Nilai ini terkait dengan potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa depan (Primack dkk. 1998). Demikian pula halnya dengan berbagai koleksi plasma nutfah di beberapa balai penelitian, yang mungkin saat ini tampak tidak mempunyai manfaat langsung, padahal biaya penyimpanannya cukup tinggi.
Nilai Konsumsi
Nilai ini berupa manfaat langsung yang dapat diperoleh dari keanekaragaman hayati, misalnya pangan, sandang maupun papan. Berbagai spesies liar dari hutan, seperti Pasak bumi (Euriycoma longifolia), Tabat barito (Ficus deltoidea), dan Akar kuning (Arcangelisia flava), serta berbagai spesies budidaya, seperti Jahe (Zingiber officinale), Kunyit (Curcuma domestica), Kencur (Kaempferia galanga), Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) dan Kapulaga (Amomum cardamomum) juga digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh masyarakat lokal.
Nilai Produksi
Nilai ini adalah nilai pasar yang didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Nilai produksi keanekaragaman genetis (termasuk pada manusia) akan menjadi semakin penting di masa depan, terutama untuk menciptakan varietas tanaman baru, mikroorganisme baru untuk proses industri maupun pengobatan genetis pada hewan ternak dan manusia. Perkembangan industri ilmu kehidupan akan mengarah pada peningkatan komersialisasi keanekaragaman hayati. Dengan demikian proses tersebut akan lebih menitikberatkan pada nilai produktif daripada makna penting lain keanekaragaman hayati.
WARISAN BAGI GENERASI MENDATANG
Uraian di atas menggambarkan makna penting keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia dan pembangunan bangsa. Makna penting ini berlaku tidak hanya untuk generasi kini, tetapi juga untuk generasi mendatang, demi kelangsungan kehidupan umat manusia.
KONDISI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA
Sejarah geologi dan topografi Indonesia mendukung kekayaan dan kekhasan hayati. Misalnya, Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera serta Kalimantan) dan benua Australia (Pulau Papua) serta sebaran wilayah peralihan Wallacea (Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara), sehingga mengandung kekayaan hayati khas dari kawasan Asia, Australia serta kawasan transisi antara keduanya. Sejarah geologi pembentukan masing-masing pulau di Indonesia menimbulkan variasi iklim dari bagian barat yang lembap sampai bagian timur yang kering sehingga mempengaruhi pembentukan ekosistem dan distribusi binatang dan tumbuhan yang ada di dalamnya.
POTENSI
Diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 90 tipe ekosistem, mulai dari padang salju di puncak Jayawijaya, alpin, subpegunungan, pegunungan hingga hutan hujan dataran rendah, hutan pantai, padang rumput, savana, lahan basah, muara dan pesisir pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang hingga perairan laut dalam. Walaupun hanya melingkupi 1,3% dari luas total daratan dunia, Indonesia memiliki keanekaragaman spesies satwa yang sangat tinggi seperti yang diuraikan berikut ini (Dephut 1994; Mittermeier dkk. 1997):
• sekitar 12% (515 spesies, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia
• 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilia, urutan keempat di dunia
• 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima
• 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia
• 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar.
Selanjutnya, Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Indonesia juga merupakan satu-satunya negara setelah Brazil, dan mungkin Columbia, dalam hal urutan keanekaragaman ikan air tawar, yaitu sekitar 1400 spesies (Dephut 1994 atau Mittermier dkk. 1997).
Dalam hal keanekaragaman tumbuhan, Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia; yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Keanekaragaman palem di Indonesia menempati urutan pertama, mencapai 477 spesies, 225 endemik. Lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae) terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan (Dephut 1994; Newman 1999).
Kerusakan dan penyusutan sumber daya
Ekosistem hutan mengalami ancaman berupa penebangan hutan (deforestasi), fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Bank Dunia memperkirakan bahwa tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, hal yang sama juga akan terjadi di Kalimantan pada 2010, sementara di Sulawesi ekosistem hutan ini hanya tersisa 11% pada tahun 1997.
Penyusutan luasan kawasan hutan produksi, terutama di bioregion Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi diikuti oleh perubahan penutupan lahan yang mengindikasikan adanya penurunan penutupan hutan yang cukup signifikan. Hasil rekalkulasi hutan produksi yang dilakukan Dephut berdasarkan data Citra Landsat tahun 1997 sampai 1999 menunjukkan bahwa dari 46,7 juta luas hutan produksi, yang benarbenar masih berupa hutan primer tinggal 41%; areal bekas tebangan yang masih baik sampai sedang sekitar 2%; dan sisanya 30% merupakan areal hutan yang telah rusak. Perhitungan lainnya tentang kondisi tutupan hutan di seluruh Indonesia, yang dilakukan oleh FWI.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur di dalam wilayah pasang surut, dari tingkat air pasang tertinggi sampai tingkat air surut terendah. Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe utama; bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna, dan bentuk pulau (MacKinnon dkk. 2000).
Di antara hasil-hasil kayu dari beberapa pohon mangrove, Rhizophora sangat disukai untuk bahan bangunan, perancah dan produksi rayon, tetapi pemanenannya tidak dilakukan secara berkelanjutan, dan sekarang tidak ada tempat yang tersisa di mana pemanenan seperti ini dapat dilakukan. Hasil-hasil lain hutan mangrove adalah kayu bakar, kayu untuk manfaat lainnya, bahan-bahan kimia untuk penyamakan dan pewarna, minyak, pupuk hijau, dan Nipah (Nypa fruticans), yang berpotensi cukup besar untuk menghasilkan alkohol (Mercer dan Hamilton 1984, dalam
Whitten dkk. 1999).
Padang Lamun
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di air laut.
Peran dan manfaat ekologis padang lamun bagi wilayah pesisir dan laut antara lain sebagai penghasil detritus dan hara, pengikat sedimen dan penstabil substrat lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling-silang, sebagai tempat berlindung, mencari makan, berbiak dan bertumbuh bagi beberapa spesies biota laut, antara lain Penyu hijau (Chelonia mydas) dan Dugong (Dugong dugon).
Terdapat lima tipe interaksi di antara ekosistem lamun, mangrove dan terumbu karang, yakni fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak manusia (Ogden dan Gladfelter 1983 dalam Bengen 2001).
Terumbu Karang
Data terbaru mengenai terumbu karang, yang diperoleh melalui citra satelit, menyebutkan bahwa luas terumbu karang Indonesia adalah 21.000 km2 (Mahdi Kartasasmita, Kompas 5 Maret 2003).
Terumbu karang Indonesia merupakan salah satu yang terkaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati. Lebih dari 480 spesies karang keras telah dicatat di bagian timur Indonesia, mencakup sekitar 60% dari spesies koral yang telah diidentifikasi di dunia (Dahuri dan Dutton, dalam Burke dkk. 2002).
Pantai
Menurut Bengen (2001), ekosistem pantai terletak antara garis air surut terendah dengan air pasang tertinggi. Pantai berbatu merupakan suatu lingkungan pesisir dan laut yang subur. Kombinasi substrat keras untuk penempelan, frekuensi gelombang yang tinggi dan perairan yang jernih menyediakan habitat yang menguntungkan bagi biota laut.
Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap bagi organisme untuk melekat dan hidup, karena hempasan gelombang yang terus-menerus menggerakan partikel substratnya.
Manfaat dan nilai ekosistem pesisir dan laut
Seperti ekosistem hutan, kawasan pesisir dan laut juga mempunyai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Berbagai tumbuhan dalam hutan mangrove, misalnya dimanfaatkan sebagai bahan obat, makanan, bahan bangunan dan industri. Selain itu, kayu mangrove merupakan bahan baku industri arang dan chipwood.
Beberapa perkiraan nilai manfaat dari ekosistem pesisir dan laut adalah sebagai berikut:
1. Nilai kegunaan dan nonkegunaan dari hutan mangrove di Indonesia sebesar US$ 2,3 miliar (hasil perhitungan GEF/UNDP/ IMO 1999).
2. Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 567 juta (GEF/UNDP/IMO 1999).
3. Nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ ha/tahun (Bapedal dan PKSPL – IPB 1999).
4. Nilai ekologi dan ekonomi sumber daya rumput laut di Indonesia sekitar US$ 16 juta (GEF/UNDP/IMO 1999).
5. Nilai manfaat ekonomi potensi sumber daya ikan laut di Indonesia sebesar US$ 15,1 miliar (Dahuri 2002).
EKOSISTEM LAHAN BASAH
Menurut Konvensi Ramsar, lahan basah adalah “daerah berawa, payau, gambut atau perairan alami atau buatan, yang tertutup air yang tergenang atau mengalir secara tetap atau sementara oleh air tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada saat air surut”.
Ada dua tipe lahan basah, yaitu lahan basah alami dan lahan basah buatan. Menurut Ramsar, lahan basah alami terdiri dari hutan mangrove, rawa gambut, rawa air tawar, padang lamun, terumbu karang dan danau/situ. Lahan basah buatan terdiri dari sawah, kolam dan tambak.
Perikanan air tawar di Indonesia dicirikan oleh kekayaan spesies dan tingkat endemisme yang relatif tinggi. World Bank (1998) mencatat ada 1300 spesies ikan air tawar (dengan jumlah spesies endemik masing-masing 30 spesies di Sumatera, 149 spesies di Kalimantan, 12 spesies di Jawa, dan 52 spesies di Sulawesi (Kottelat dkk. 1993). Indonesia telah menetapkan dua kawasan lahan basah sebagai Situs Ramsar, karena kepentingannya secara internasional (untuk Kriteria Ramsar, lihat Glosari). Kedua kawasan ini adalah TN Berbak di Jambi dan SM Danau Sentarum di Kalimantan Barat.
Manfaat dan nilai ekosistem lahan basah
Lahan basah mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan karena mengatur siklus air (menyediakan air tanah, mencegah kekeringan dan banjir), mengatur siklus tanah dan mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu potensi terpenting lahan basah adalah sebagai sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya.
Kerusakan dan penyusutan sumber daya
Seperti uraian di atas, penyusutan sumber daya lahan basah telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Selain itu, juga terjadi kerusakan fisik dan biologis ekosistem lahan basah, terutama sungai, danau dan rawa, karena eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya yang tidak seimbang, pencemaran, konversi habitat dan faktor alam seperti bencana alam.
Penyempitan lahan basah terjadi di berbagai tempat yang padat penduduknya. Di Jawa misalnya, permasalahannya sangat kompleks karena waduk, danau, sungai dan rawa diuruk untuk kepentingan lain, seperti permukiman dan kawasan industri. Pemanfaatan waduk dan danau untuk kegiatan budidaya ikan dengan sistem karamba jaring apung sering kurang memperhatikan daya tampung limbah ke perairan.
Salah satu kerusakan ekologis terbesar pada lahan basah adalah pembukaan rawa gambut sejuta hektar melalui Proyek Pembukaan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah.
Fauna lahan basah juga mengalami penyusutan akibat pemanenan berlebih. Misalnya, Penyu hijau (Chelonia mydas) yang telah dilindungi undang-undang sejak 1990, ternyata di lapangan masih banyak diperdagangkan secara bebas, baik di Bali, Teluk Penyu Cilacap, Pangandaran maupun tempat-tempat wisata lainnya.
AGRO-EKOSISTEM
Keanekaragaman hayati mutlak diperlukan dalam bidang pertanian, baik untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya untuk ketahanan pangan.
Pengertian agroekosistem dalam dokumen ini adalah sebuah sistem ekologi dan sosio-ekonomi, yang mencakup hewan peliharaan dan tanaman serta manusia yang mengelolanya, untuk menghasilkan pangan, serat, dan hasil-hasil pertanian lainnya (Wood dan Lenne 1999).
Menurut Qualset dkk. (1995) keanekaragaman hayati pertanian mencakup semua tanaman, hewan peliharaan, kerabat liarnya, dan berbagai spesies yang terlibat dalam kehidupannya, seperti penyerbuk, spesies yang bersimbiosis, hama, penyakit, dan pesaingpesaingnya.
Plasma nutfah tanaman dan hewan budidaya merupakan aset bagi pengembangan varietas tanaman pertanian serta ras ternak dalam rangka ketahanan pangan nasional. Selain itu, plasma nutfah merupakan modal jangka panjang yang dapat digunakan dalam industri pangan, obat-obatan, pewarna, kosmetika, dan bahan baku industri.
Manfaat dan nilai agro-ekosistem
Agro-ekosistem merupakan tulang punggung pembangunan pertanian di Indonesia. Keanekaragaman hayati pada agro-ekosistem mempunyai nilai ekonomi bagi pertanian tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. PDB sektor pertanian terus meningkat dari Rp. 57.028 miliar (1998) menjadi Rp. 60.020 miliar (2000) atau 15,75% dari PDB nasional. Sementara, sektor pertanian melibatkan 21,4 juta rumah tangga di Indonesia (BPS 2001 dalam KLH 2002).
Keanekaragaman hayati tanaman obat juga merupakan potensi sosial dan ekonomi yang belum sepenuhnya digali. Dari 89% masyarakat yang mengatasi gangguan kesehatannya, 45,1% berobat sendiri dengan menggunakan ramuan obat tradisional, 26,9% menggunakan jasa kesehatan formal serta 16,7% menggunakan kedua cara tersebut (Sumoharyono dalam Bermawie 2002).
Agro-ekosistem juga mempunyai nilai sosial-budaya. Sebagai contoh, agro-ekosistem di lahan kering memungkinkan perpaduan berbagai spesies tanaman. Dalam sistem pekarangan, misalnya, masyarakat memadukan spesies tanaman setahun dan yang menahun.
EKOSISTEM KARST
Kawasan karst mempunyai bentang alam khas, yang dibentuk oleh proses pelarutan bantuan, umumnya batu gamping dan dolomit. Di Indonesia, yang umum dijumpai adalah batu gamping atau metamorfosisnya, yaitu marmer atau meta-gamping (KMNLH 1999).
Manfaat dan nilai ekosistem karst
Di Jawa, kawasan karst yang penting adalah Gombong Selatan dan G. Sewu. Di Kalimantan Timur, kawasan karst terdapat di Pegunungan Mangkalihat, yang merupakan hamparan batu gamping terluas di Kalimantan dengan banyak gua. Di Kalimantan Tengah, kawasan karst antara lain terdapat di G. Haje dan G. Menunting, di Muara Teweh. Kawasan karst Maros, seluas 400 km2, sangat terkenal sebagai obyek wisata dan penelitian. Sementara kawasan karst Waingapu di Sumba Barat mempunyai potensi utama sebagai sumber daya air. Beberapa gua mengandung nilai historis, prehistoris dan budaya yang tinggi, misalnya Gua Leang-leang di Maros. Sedangkan beberapa gua lainnya masih digunakan untuk upacara ritual atau keagamaan. Karst juga merupakan pencuci alami air tanah yang terkena polusi melalui pori-pori batu kapurnya.
KONDISI KEANEKARAGAMAN SPESIES DAN GENETIS
Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Di sektor perikanan, contoh spesies terancam punah adalah Ikan terubuk atau Chinese herrings (Clupea toli) yang dulu terdapatdi perairan pantai timur Sumatera dan Ikan terbang atau Flying fishes (Cypselurus spp.) di perairan pantai selatan Sulawesi.
KEANEKARAGAMAN BUDAYA DAN KEARIFAN TRADISIONAL
Seperti diuraikan pada Bab 2, Indonesia juga mempunyai keanekaragaman budaya yang tinggi. Misalnya, di Papua terdapat 250 kelompok etnis yang hidup dengan anekabudaya, bahasa serta tradisi yang mengatur hubungan di antara mereka dan hubungan mereka dengan alam. Bagi masyarakat tradisi onal, keanekaragaman hayati penting tidak hanya untuk pangan dan pengobatan, namun juga sebagai unsur pembentuk identitas kebudayaan mereka. Suku-suku di Papua menghargai ubi jalar tertentu sebagai bagian dari upacara tradisi untuk menyambut kelahiran sampai upacara meminang pengantin perempuan. Masyarakat Bajau percaya bahwamereka berkerabat dengan penyu laut sehingga mereka tidak memburunya. Masyarakat Pulau Komodo juga merasa mereka bersaudara dengan komodo.
KRISIS KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA
Krisis tersebut terjadi walaupun ada upaya mengelola keanekaragaman hayati seperti yang diuraikan pada bagian awal bab ini. Faktorpenyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks, dan kajian singkatnya disajikan pada bagian kedua bab ini. Selanjutnya bab ini diakhiri dengan telaah tentang konteks saat ini dan mendatang yang akan mempengaruhi pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk paparan tentang prinsip pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Kebijakan selanjutnya mengenai pelestarian keanekaragaman hayati adalah UU No.5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayatidan Ekosistemnya yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung.
Kebijakan penting lainnya adalah ratifikasi United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati KKH) melalui UU No.5/1994.
Tiga unsur kebijakan, yaitu UU No.5/1990, UU No.5/1994 dan BAPI 199 merupakan serangkaian upaya yang apabila dijalankan dapat menjadi sarana bagi pengelolaan kea nekaragaman hayati secara berkelanjutan. Program yang dicantumkan dalam Bab 16 meliputi lima bidang yaitu:
1.Meningkatkan pengembangan sistem kawasan lindung serta pengelolaannya secara efektif;
2.Melestarikan keanekaragaman hayati pada kawasan agro-ekosistem dan kawasan nonlindung/produksi;
3.Melestarikan keanekaragaman hayati secara eks-situ;
4.Melindungi dan mengembangkan sistem pengetahuan tentang konservasi keanekaragaman hayati; dan
5.Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragamanhayati secara berkelanjutan, termasuk pembagian keuntungan yang adil.
Pengelolaan Konservasi in-situ
Indonesia merupakan salah satu Negara tropis pertama di dunia yang mempunyai sistem kawasan lindung yang berfungsi sebagai sarana konservasi in-situ, yaitu upaya melin dungi ekosistem atau habitat alami untuk konservasi keanekaragaman spesies dan genetis.
Cagar Biosfer didifinisikan sebagai ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh Program Man And Biosphere (MAB) dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam.
Konservasi eks-situ
Konservasi eks-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya, biasanya di kebun binatang, kebun raya serta arboreta. Indonesia mempunyai empat kebun raya (dikelola oleh LIPI), 21 kebun binatang, dua taman safari, 17 kebun botani, 14 tamanhutan raya, 36 penangkaran satwa dan, tiga taman burung, empat lokasi rehabilitasi orang-utan, dan enam pusat pelatihan gajah. Semuanya ini merupakan upaya pelestarian keaneka ragaman spesies dan genetis.
Sistem informasi
Ada beberapa inisiatif yang telah dilakukan di bidang pengadaan dan pengembangan sistem informasi keanekaragaman hayati, diantaranya:
•Sejak tahun 1960-an LIPI menerbitkan dokumen yang berjudul Seri Sumber Daya Ekonomi. Beberapa di antaranya menyangkut Sumber Daya Hayati yang dikenalsebagai Seri Buku Hijau. Kemudian Balai Pustaka menerbitkannya sebagai buku pegangan untuk sekolah.
•PROSEA telah mendokumentasikan informasi tentang keanekaragaman spesies tanaman di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan telah menerbitkan belasan seri buku tentang spesies budidaya dan liar seperti tanaman buah-buahan, sayuran, kayu dsb.
•Penerbitan seri buku Ekologi Indonesia Sulawesi, Ekologi Jawa dan Bali, Ekologi Kalimantan, Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku, the Ecology of Indonesian Seas. Seri buku tersebut dalam versi bahasa Indone sia diterbitkan oleh Prenhallindo. Masingmasing jilid menguraikan secara rinci vegetasi, flora, fauna, biogeografi dan ekosistem serta interaksinya dengan manusia di berbagai pulau di Indonesia.
•Pembentukan Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) oleh Direktorat Jendral Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Dephut yang berfungsi mengelola data tentang kawasan konservasi di ndonesia. Sistem pengelolaan data dan aplikasinya masih belum dapat segera digunakan oleh pengguna awam.
•Ada cukup banyak buku panduan lapangan untuk mengidentifikasi flora dan fauna,yang diterbitkan oleh LIPI, beberapa lembaga internasional dan Dephut, namun belum merangsang publik untuk menggunakannya bagi panduan pelestarian alam (lihat Seri Panduan Lapangan dalam Daftar Pustaka).
•Biodiversity Information Center (BIC) yang terletak di gedung Widyasatwaloka, Bidang Zoologi-Pusat Penelitian Biologi LIPI merupakan pusat pengelolaan data keanekaragaman hayati Indonesia yang berbasis spesimen koleksi. Sebagian data dapat diakses melalui situs web: http:// bio.lipi.go.id atau http://biolipi.bogor.net
Upaya pengembangan sosial-ekonomi
Salah satu tujuan utama pembangunan adalah pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di antara beberapa program untuk mencapai tujuan tersebut adalah perhutanan sosial, yang melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan, dan mereka juga menikmati manfaat dari pengelolaan tersebut. Upaya lain adalah memberikan pengakuan atas hutan adat dan izin pemanfaatan hutan oleh masyarakat melalui kebijakan pemerintah.
Di bidang pertanian, program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dilaksanakan melalui Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) merupakan upaya untuk mengatasi masalah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. SL-PHT melatih para petani melakukan budidaya dengan bahan kimia minimum atau bahkan tidak sama sekali dan juga melatih para petani di bidang pengorganisasian diri mereka.
Peran sektor nonpemerintah Selain pemerintah, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi nonpemerintah (ornop), swasta dan juga kelompok-kelompok masyarakat. Ornop di bidang lingkungan hidup mulai bermunculan tahun 1980-an dan mengangkat persoalan keanekargaman hayati sejak 1990. Kegiatan mereka biasanya dalam bentuk advokasi kebijakan, pendidikan masyarakat dan pendampingan masyarakat di kawasan lindung.
SALAH ARAH DALAM PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Krisis keanekaragaman hayati disebabkan oleh berbagai faktor, yang kadang saling berkaitan. Berbagai faktor ini sering dikelomporkan menjadi dua, yaitu faktor teknis (kegiatan manusia, pemilihan teknologi, dan factor alam), dan faktor struktural (kebijakan, kelembagaan, dan penegakan hukum).
Faktor Teknis
Beberapa faktor teknis yang menimbulkan kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati diuraikan berikut ini. Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang Rendah. Pemanfaatan berlebih Pemungutan dan perdagangan illegal Konversi habitat alami Monokulturisme dalam budidaya dan Pemanfaatan Pembagian manfaat yang tidak adil Introduksi spesies dan varietas eksotis Penggunaan teknologi/teknik yang merusak Tekanan penduduk, kemiskinan dan Keserakahan.
Perubahan iklim Faktor Struktural
Ada dua akar persoalan atau masalah struktural. Pertama, paradigma pembangunan yang dianut oleh pemerintah selama era 1970-an hingga 1990-an belum mempertimbangkan kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Pemerintah memandang keanekaragaman hayati sebagai sumber daya yang berharga untuk dilikuidasi dalam rangka perolehan devisa, percepatan pertumbuhan ekonomi serta diversifikasi basis perekonomian (Dauvergne dalam Sunderlin dan Resosudarmo 1997). Dengan kata lain, pemanfaatan keanekaragaman hayati dilakukan dengan prinsip keruk habis, jual murah dan jual mentah. Oleh sebab itu, kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati meningkat seiring dengan melajunya pertumbuhan ekonomi. Kedua, belum terbentuk tata kelola8 (good governance) yang baik, yang dicirikan oleh pemerintah yang bersih, bertanggung gugat, representatif dan demokratis (KLH 2002). Kedua pangkal persoalan tersebut menimbulkan masalah struktural di bawah ini: Kebijakan eksploitatif, sentralistis, sektoral dan tidak partisipatif mempunyai ciri-ciri yang mengabaikan kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari, yaitu:
1. Hak negara untuk mendominasi pengelolaan sumber daya alam.
2. Pertumbuhan ekonomi dan pendekatan sektoral.
3. Pengelolaan sumber daya alam tidak efisien.
4. Penggunaan kekuatan ekstra yudisial (militer) untuk menangani konflik. Tidak ada mekanisme bagi partisipasi masyarakat.
Sistem dan penegakan hukum yang lemah
Pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari sulit terjadi karena sistem dan instrumen hukum yang ada masih lemah. Lembaga penegakan hukum sering tidak memahami substansi hukum yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, misalnya dalam hal perdagangan flora dan fauna secara ilegal. Bahkan aparat penegak hukum justru terlibatdalam pelanggaran hukum itu sendiri.
Riset, sistem informasi dan sumber daya manusia tidak memadai Karena paradigma pembangunan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang semata-mata mendorong eksploitasi bahan mentah, maka pemerintah belum terlalu memperhatikan perlunya riset terapan yang terkait dengan pengelolaan lestari serta pengembangan sistem informasi.
KONTEKS KINI DAN MENDATANG
Krisis keanekaragaman hayati perlu ditangani segera dengan membalikkan salah arah yang sudah terjadi. Perubahan arah ini sangat penting karena keanekaragaman hayati yang masih tersisa dan unik menempatkan Indonesia pada posisi tawar yang amat strategis dalam percaturan global. Dengan kekayaan hayati, Indonesia masih berpeluang menjadi gudang pangan dunia, sumber bahan baku obat dunia, tujuan wisata dunia dan paru-paru dunia. (Sukara 2002).
Dalam konteks perubahan tersebut, ada empat isu yang dibahas, yaitu krisis ekonomi dan reformasi, desentralisasi, globalisasi dan kecenderungan politik serta tata kelola. Krisis ekonomi dan reformasi Tahun 1997 Indonesia mengalami krisiskeuangan ketika nilai rupiah turun drastic terhadap dolar AS. Krisis ini kemudian dengan cepat berubah menjadi krisis ekonomi, social dan politik. Pada tahun yang sama Indonesia
Desentralisasi dan otonomi daerah Reformasi yang disebut di atas juga mendorong proses desentralisasi pemerintahan yang berlangsung pesat dalam skala besar (World Bank 2001a). Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan tonggak utama reformasi tata kelola di Indonesia paska Orde Baru, sebagai antitesis dari sentralisme yang mendominasi proses pembangunan selama ini.
Ada dua UU penting berkaitan dengan desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara PemerintahPusat dan Daerah. Globalisasi Globalisasi juga menyajikan peluang dan tantangan bagi pembangunan berkelanjutan (Plan of Action, WSSD 2002), yang mencakup pengelolaan keanekaragaman hayati. Ada dua unsur penting dalam globalisasi berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu kebijakan internasional (global) yang mempengaruhi pengelolaan keanekaragaman hayati di tingkat nasional dan lokal; dan globalisasi bisnis keanekaragaman hayati yang ditunjang oleh globalisasi teknologi di bidang biologi.
Globalisasi kebijakan Ada beberapa kesepakatan dan kebijakan internasional/global yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Kesepakatan di bawah PBB umumnya berkaitan denga pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari, biasanya melalui restriksi atau regulasi pemanfaatan serta alih teknologi dan kerja sama di bidangkegiatan pelestarian.
RENCANA AKSI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 2003-2020
Rencana aksi pengelolaan keaneakaragaman hayati nasional 2003-2020 disajikan dalam lima tabel berikut ini, sesuai dengan lima tujuan yang telah dirumuskan. Rencana aksi dilengkapi dengan kurun waktu pelaksanaan serta indikator kerja dan indikasi lembaga dan wilayah yang diharapkan bertanggung jawab melaksanakannya. Tabel 6.1. Rencana aksi pembangunan kapasitas manusia dan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati 2003-2020.
PRASYARAT BAGI IMPLEMENTASI IBSAP
PRASYARAT IDEAL
Bersifat terbuka dan melibatkan sebanyak mungkin pihak Proses penyusunan dan penyebarluasan dokumen IBSAP harus melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan, di tingkat pusat dan daerah. Proses penyusunan telah diupayakan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui proses dialog dan lokakarya di tingkat regional (Sumatera, Kalimantan, Jawa-Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua), diskusi kecil pada tingkat nasional dan pengumpulan pendapat melalui jaringan elektronik. Proses ini belum dapat dikatakan melibatkan semua pihak, tetapi merupakan langkah awal yang baik. Proses selanjutnya, yaitu penyebarluasan informasi tentang IBSAP, harus lebih terbuka dan melibatkan lebih banyak pihak (inklusif) melalui berbagai media dan metode. Misalnya, perlu diadakan program penyebarluasan melalui media massa elektronik dan cetak serta media alternative (media nonkonvensional yang diterbitkan ornop atau kelompok masyarakat, atau media seperti teater, wayang), terutama untuk menjaring pemangku kepentingan agar terus terlibat. Selain itu, di dalam pelaksanannya, IBSAP perlu bersinergi dengan inisiatif pengelolaan keanekaragaman hayati yang sudah dan sedang berjalan pada berbagai tingkatan, sehingga tercipta koordinasi yang mantap.
Program penyebarluasan IBSAP sudah harus mulai tahun 2003 dan diintensifkan sepanjang 2004-2009. Berwibawa dan mempunyai kekuatan hokum IBSAP harus menjadi dokumen yang berwibawa dan bisa diacu agar semua pihak bersedia melaksanakannya. Untuk itu ada dua strategi yang perlu ditempuh. Pertama adalah memastikan bahwa ada proses penyebarluasan seluas mungkin, diikuti proses konsultasi mengenai isi IBSAP dan bagaimana menjalankannya, seperti yang diuraikan dalam prasyarat pertama di atas.
Kedua, sebagai dokumen resmi Dokumen Nasional rintah IBSAP seyogianya mempunyai kekuatan hukum. Status hukum IBSAP perlu diupayakan selama periode 2003-2004, dengan kemungkinan sebagai berikut:
•Mengupayakan Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat memberikan kekuatan hukum bagi IBSAP. PP ini dapat dirumuskan di bawah payung UU No.5/1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, karena sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia berkewajiban menyusun dan melaksanakan strategi sertarencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati. PP juga dapat dirumuskan di bawah payung UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Langkah ini sudah harus diselesaikan pada akhir 2003.
•Apabila RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) sudah dirumuskan dan disahkan, maka dapat diadakan revisi agar kekuatan hukum IBSAP berada di bawah payung UU PSDA ini. Target waktu untuk kegiatan ini sesuai dengan proses penyusunan UU PSDA.
•Mengupayakan agar IBSAP dipadukan ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN) 2004 atau dokumen sejenis. IBSAP juga dapat disahkan dalam bentuk TAP MPR, dengan mengacu pada TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta TAP MPR No.VII/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan, atau kebijakan tinggi sejenis. Upaya ini perlu dimulai tahun 2004 dan diharapkan tahun 2007 sudah ada TAP MPR-nya. Dalam TAP ini atau kebijakan tingkat tinggi yang sejenis perlu dicantumkan bahwa IBSAP harus diintegrasikan ke dalam Undang-Undang Propenas atau program pembangunan sejenis setiap lima tahun hingga 2020. Dukungan dana dan teknologi Pelaksanaan IBSAP memerlukan dukungan pendanaan yang memadai. Sumber dana utama sebaiknya adalah Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara serta Daerah (APBN dan APBD). Dengan demikian program di dalam IBSAP harus dipadukan ke dalam program pembangunan nasional, daerah dan sektoral agar ada alokasi anggaran untuk pelaksa naannya. Salah satu sumber dana lain yang potensial adalah Dana Reboisasi di bidang kehutanan. Dana ini memang hanya boleh digunakan untuk pengelolaan hutan, sehingga perlu dicari strategi pendanaan lain bagi pengelolaan keanekaragaman hayati di kawasan nonhutan. Selain itu, perlu upaya penggalangan dana di luar anggaran belanja nasional, baik dalam bentuk hibah dari lembaga luar negeri, dana dari swadaya masyarakat maupun pajak dari kegiatan yang mengeksploitasi keanekaragaman hayati. Sumber dana lain adalah dalam bentuk kemitraan di antara para pihak yang memanfaatkan keanekaragaman hayati; masingmasing pihak menyumbangkan bagian tertentu dari keuntungannya bagi pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari. Di tingkat internasional, sumber dana potensial adalah dari Global Environmental Facility (GEF) yang dibentuk untuk membiayai program di bidang pembangunan berkelanjutan, khususnya di bidang perairan internasional, perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Mengingat proyek penyusunan IBSAP dilaksanakan dengan hibah dari GEF, maka sebagian dana bagi pelaksanaan IBSAP juga bisa diupayakan dari GEF. Untuk itu pemerintah perlu mulai melakukan pendekatan dari sekarang. Dukungan teknologi terutama dibutuhkan untuk menyiapkan basis informasi dasar dan strategis mengenai potensi dan kondisi keanekaragaman hayati. Oleh karenanya, perlu disiapkan teknologi informasi, teknologi inventarisasi potensi keanekaragaman hayati dan teknologi untuk klasifikasi organisme pada tingkat spesies dan genetis. Hal ini juga terkait dengan upaya pengembangan riset dasar (basic research) maupun riset terapan yang diperlukan. Pengaturan dan penguatan kapasitas kelembagaan Prasyarat penting selanjutnya adalah pengaturan kelembagaan dan penguatan kapasitas kelembagaan bagi pelaksanaan IBSAP. Seperti telah diuraikan pada Bab 4, selama inipengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan oleh berbagai lembaga sektoral, dan koordinasi di antara lembaga-lembaga tersebut lemah. Pembentukan lembaga baru khusus untuk menangani pelaksanaan IBSAP mungkin memang tidak perlu, tetapi upaya untuk mengefektifkan fungsi, tugas dan kewenangan lembaga yang sudah ada perlu mendapat perhatian. Misalnya, KLH sebagai fokal poin nasional un-109 Prasyarat Implementasi tuk KKH, BAPPENAS sebagai lembaga perencana pembangunan nasional, serta departemen sektoral yaitu Kehutanan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan dan lembaga terkait lainnya. Para pemangku kepentingan memandang penting untuk memperkuat posisi dan wewenang KLH, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas koordinasi pengelolaan lingkungan hidup secara keseluruhan. Namun ada juga beberapa insiatif yang berkembang di Indonesia, yang mengarah pada pembentukan lembaga baru. Karena itu, sebaiknya pelaksanaan IBSAP dipadukan dengan inisiatif tersebut, seperti yang diuraikan berikut ini:
• Pembentukan lembaga yang terkait dengan RUU PSDA yang sekarang masih dalam pembahasan tahap awal. Setelah inisiatif ini dirampungkan, maka mungkin akan dibentuk lembaga baru atau lembaga
yang sudah ada akan diperkuat wewenangnya; disarankan agar salah satu tugas lembaga ini nantinya adalah memfasilitasi, mengkoordinasi, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan IBSAP (Lihat Kotak4.8).
• Pembentukan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan (DNPB) saat ini juga masih dalam tahap pembahasan. Pembentukan DNPB dimandatkan oleh KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro dan diperkuat dalam keputusan WSSD di Johanesburg tahun 2002 (Lihat Kotak 4.8.). Proses pembentukan DNPB telah memakan waktu sekitar dua tahun dan saat ini Rancangan Keppres sedang diproses di Sekretariat Negara. Setelah terbentuk, DNPB dapat menjadi lembagayang bertugas memfasilitasi, mengkoordinasi, memantau dan mengevaluasi IBSAP. Lembaga serupa dapat diadakan ditingkat daerah hingga tingkat kabupaten, jika diperlukan.
• Pembentukan Balai Kliring Keanekara gaman Hayati, seperti telah diuraikan pada Bab 4, merupakan salah satu aspek paling penting dalam pengelolaan keane karagaman hayati mengingat kelemahan dalam bidang informasi di Indonesia. Pembentukan Balai Kliring dimandatkan oleh KKH yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan juga disepakati dalam Forum Kehati pada Juli 2001 (Lihat Kotak 4.8). Pembentukan lembaga-lembaga tesebut memang belum dapat dipastikan kapan akan terlaksana dan berfungsi. Karena itu perlu pengaturan interim, mengingat kegiatan IBSAP sudah harus berjalan sejak tahun 2003. Disarankan ada sebuah tim ad hoc (sementara) yang bersifat independen dan multipihak, yaitu terdiri dari wakil-wakil dari kalangan pemerintah, ornop, akademisi dan tokoh masyarakat. Jumlahnya lima atau tujuh orang dan mekanisme kerjanya harus sudah ditentukan paling lambat pertengahan tahun 2003.
Sifat independen berarti bahwa lembaga ini dibentuk dan diakui oleh pemerintah, tetapi berfungsi secara independen, melampaui kepentingan sektoral dan wilayah administrative pemerintahan. Lembaga ini pula yang akan bertugas memfasilitasi penyebarluasan IBSAP seluas mungkin, memastikan IBSAP mempunyai kekuatan hukum yang tepat dan merancang mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan IBSAP. Untuk itu tim ad hoc sebaiknya dibentuk paling lambat dua bulan setelah IBSAP terbit dan mulai bekerja dua bulan setelah tim dibentuk. Pembangunan berkelanjutan dan tata kelola yang baik Pelaksanaan IBSAP secara efektif memerlukan perubahan paradigma pembangunan nasional menuju pola pembangunan berkelanjutan dengan keseimbangan tiga pilarnya yaitu: pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Selain itu, pola dan pelaksanaan pembangunan juga harus berbasis masyarakat sehingga disesuaikan dengan kehendak dan kemampuan masyarakat local. Pada gilirannya, pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan tanpa tata kelola yang baik dan berkelanjutan (good sustainable governance). Prinsip ini harus diwujudkan dalam perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan pembangunan serta tata negara yang bersih (bebas korupsi, kolusi dan nepotisme), transparan, partisipatif dan bertanggung gugat, serta berlandaskan keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial. Pelaksanaan prinsip ini juga harus terjadi pada berbagai tingkatan, baik nasional maupun daerah, di kalangan pemerintah, bisnis dan nonpemerintah. Pada tingkat pelaksanaan, tata kelola yang baik dapat diawali dengan menjalankan tiga prinsip berikut (diadaptasi dari UNDP, UNEP, WRI dan World Bank, 2002):
a.Membuat keputusan pada tingkat yang tepat, yaitu keseimbangan antara keputusan di tingkat lokal dan nasional.
b.Memberikan akses pada informasi, partisipasi dan keadilan, artinya masyarakat harus memiliki akses pada informasi agar keputusan yang dibuat bersifat transparan, ada kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, dan ada jaminan keadilan bagi masyarakat.
c. Mengarusutamakan kepedulian tentang keanekaragaman hayati ke dalam semua aktivitas pembangunan.
PRASYARAT MINIMUM
Pelaksanaan IBSAP tidak dapat menunggu sampai kedelapan prasyarat ideal di atas sudah tersedia. Karena itu untuk sementara, ada persyaratan minimum yang harus dipenuhi agar pelaksanaan IBSAP efektif, dan persyaratan ini dapat diwujudkan dalam waktu singkat. Ada empat aspek yaitu: Pembentukan tim ad hoc Seperti disebutkan pada butir 3 di bagian Prasyarat Ideal, maka dalam waktu dua bulan sudah harus dibentuk tim ad hoc untuk menjaga kesinambungan proses penyusunan IBSAP serta memfasilitasi persiapan pelaksanaannya. Tim ini bersifat sementara, semi independen dengan tugas dan fungsi terutama mewujudkan prasyarat pelaksanaan IBSAP. Inisiatif ini dapat dilakukan oleh beberapa pihak, misalnya BAPPENAS, KLH dan Yayasan KEHATI atau pihak lainnya. Tiga prasyarat berikut ini menjadi bagian dari tugas tim ad hoc tersebut. Penyebarluasan, komunikasi dan sosialisasi IBSAP.
Langkah pertama yang perlu diambil oleh tim ad hoc adalah merumuskan program bagi penyebarluasan, komunikasi dan sosialisasi IBSAP kepada seluruh lapisan masyarakat, melalui media cetak, elektronik dan media alternatif. Koordinator Regional yang selama ini terlibat dalam penyusunan IBSAP juga dapat diminta untuk membantu program penyebarluasan, komunikasi dan sosialisasi IBSAP ditingkat regional. Program ini perlu dirancang berdasarkan prinsip inklusif (melibatkan semua pemangku kepentingan), terbuka dan dialogis. Kegiatan penyebarluasan awal akan dilakukan berkaitan dengan pembentukan Conservation Training and Resource Center (CTRC), yaitu inisiatif membangun pusat pelatihan di bidang konservasi alam. Inisiatif ini merupakan kolaborasi antara berbagai pihak yaitu The Nature Conservancy, CI, WWF, WCS, Dephut, BAPPENAS, IPB, CIFOR dan SEAMEO-BIOTROP. Salah satu program pertama CTRC adalah melatih para Bupati dan anggota DPRD dari berbagai daerah, dan kurikulumnya akan mencakup pemahaman tentang dokumen IBSAP.
Kekuatan hokum Ini adalah prasyarat penting agar semua pihak mau melaksanakan dan tersedia anggaran bagi pelaksanaan IBSAP. Kekuatan hokum harus diupayakan oleh tim ad hoc paling lambat Desember 2003. Membangun komitmen pemangku kepentingan Komitmen para pemangku kepentingan akan dapat dikembangkan apabila ada rasa memiliki terhadap dokumen IBSAP. Rasa memiliki dapat ditimbulkan melalui pelibatan pemangku kepentingan dalam semua proses penyusunan dan pelaksanaan IBSAP. Tim ad hoc harus menyusun program untuk membangun komitmen para pemangku kepentingan; dasarnya sudah ada yaitu para peserta lokakarya regional dan nasional dalam kerangka penyusunan IBSAP. Salah satu hal yang dapat diupayakan adalah mengomunikasikan perlunya penyusunan IBSAP di tingkat daerah.
Direktori Para Pemangku Kepentingan memuat daftar nama seluruh peserta yang terlibat dalam penyusunan dokumen IBSAP.
Prasyarat di atas, baik yang ideal maupun yang minimum harus dianggap sebagai bagian penting dari pelaksanaan IBSAP, bukan terpisah. Apabila prasyarat tidak diwujudkan, maka pelaksanaan IBSAP akan menemui banyak hambatan, atau bahkan IBSAP tidak dapat dilaksanakan. Apabila kondisinya demikian, maka krisis keanekaragaman hayati akan semakin sulit diatasi sehingga pilihan generasi masa depan untuk memenuhi kesejahteraannya akan semakin menciut pula, sementara keberlanjut bangsa Indonesia bergantung pada keberlanjutan keanekaragaman hayati.
LAMPIRAN 7. Daftar beberapa kebijakan yang terkait dengan pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia.
I.Umum
UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang beserta Keppres No.32/1990 tentang kawasan lindung UU No.5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity ¥UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS 2000-2004) TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah UU No. 14/2000 tentang Paten Agenda 21 Nasional, 1997 KLH melalui proses konsultasi terbatasInisiatif perumusan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA)
II. Sektoral UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Keppres No. 43/1978, Ratifikasi CITES Institusi: Dephut sebagai otoritas pengelola; LIPI sebagai otoritas ilmiah Keppres No. 48/1991 tentang Pengesahan Konvensi Lahan Basah (Ramsar) Institusi: Dephut dan KLH UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Inisiatif perumusan RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetis.
PROGRAM AKSI REGIONAL
MANDAT SUMATERA UNTUK PENYUSUNAN SUBSTANSI DOKUMEN IBSAP
Mandat Sumatera merupakan hasil kesepakatan berbagai konstituen yang terdiri dari Masyarakat Adat, Pemerintah Daerah, Per guruan Tinggi, Lembaga-lembaga Penelitian, Organisasi NonPemerintah yang ada di Sumatera serta Lembaga Bantuan Teknis Internasional di dalam upaya mendorong Inisiatif Membangun Konsensus Bersama Guna Mendukung Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia yang Adil dan Berkelanjutan. Mandat ini digagas dan dirumuskan melalui lokakarya regional Sumatera pada tanggal 21-22 Mei 2002 di Jambi. Mandat ini merupakan aspirasi berbagai konstituen di Sumatera untuk merumuskan dokumen IBSAP yang berwibawa, menjadi rujukan pembangunan dan berpihak kepada masyarakat adat serta kelestarian sumber daya hayati di Sumatera. Mandat Sumatera memuat berbagai hal penting yang merupakan upaya untuk mendorong proses dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Hal-hal penting dalam mandat tersebut adalah sebagai berikut:
I.Para konstituen sepakat untuk mendorong proses moratorium di Sumatera.
A.Moratorium:
Adalah istilah untuk jeda/menghentikan kegiatan yang merusak sumber daya alam, guna memberikan kesempatan kepada alam untuk memperbarui diri. Tindakan ini ditujukan untuk berbagai kegiatan legal yang merusak sumber daya alam. Sedangkan untuk kegiatan ilegal harus dilarang dan segera dihentikan.
B.Moratorium berlaku untuk:
a. Konversi lahan dan hutan
b. Penebangan hutan alam
c. Pertambangan di kawasan lindung
d. Ijin baru penebangan hutan
e. Kegiatan ekspor kayu
f. Industri pulp dan kertas yang mengandalkan bahan baku hutan alam
g. Pengambilan sumber daya laut
h. Proyek-proyek besar di Sumatera yang didanai dari hutang luar negeri
i. Terumbu karang dan hutan mangrove
j. Eksplorasi terhadap jenis endemic Sumatera
k. Perdagangan satwa liar
l. Kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan
m. Penambangan pasir laut
JAWA-BALI
KEANEKARAGAMAN EKOSISTEM
Hutan Keanekaragaman hayati Jawa-Bali saat ini terkonsentrasi di hutan alam. Hutan ini terdiri dari hutan konservasi (733.415 ha), hutan lindung (729.314 ha), hutan produksi terbatas (394.316 ha), dan hutan fungsi khusus (1.562.733 ha) (Dephut, Baplan 2001).
HUKUM DAN KEBIJAKAN
1.Pembinaan SDM, kepemimpinan, infrastruktur kebijakan dan mandat hukum
2.Peningkatan kemampuan pendanaan institusi lokal
3.Fasilitasi dan mendorong mandate hukum-sosial institusi lokal
4.Revisi produk hukum yang Sentralistik
5.Penyerahan wewenang dan tanggung jawab sesuai UU No. 22 tahun 2000
6.Koordinasi yang setara antara lokal dan pusat
PERILAKU DAN KAPASITA
1.Penguatan institusi penyelenggara pendidikan
2.Peningkatan pendidikan SDM
3.Peningkatan kesejahteraan pendidik
4.Peningkatan sarana dan prasarana
5.Reorientasi sistem: Pendidikan yang dikemas secara menarik dan tepat sasaran Optimalisasi mata pelajaran.
KALIMANTAN
HUTAN
Lebih dari 60% permukaan daratan Kalimantan merupakan kawasan hutan alam (Mac-Kinnon 2000). Tipe hutan yang mendominasi adalah hutan hujan tropis basah yang dicirikan oleh famili Dipterocarpaceae. Ekosistem hutan di Kalimantan tersusun oleh berbagai formasi hutan dan mempunyai potensi keanekara gaman hayati yang tinggi.
Taman Nasional Kutai Terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang dengan luas 198.629 ha. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional dengan tujuan untuk melindungi flora dan fauna. Selain itu terdapat beberapa daerah yang dapat dikembangkan menjadi obyek wisata yang cukup menarik.
Cagar Alam Padang Luway
Kawasan yang terletak di Kabupaten Kutai Barat ini luasnya 5000 ha; ditetapkan sebagai cagar alam untuk menjaga kelestarian populasi spesies anggrek serta kehidupan flora dan fauna lainnya.
Hutan Wisata Bukit Soeharto
Kawasan yang terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara ini luasnya 61.850 ha; ditetapkan sebagai Hutan Wisata karena memiliki beberapa potensi wisata.
Hutan Lindung Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus yang membentang melintasi tujuh Kabupaten di Kalimantan Selatan, yakni Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Tabalong dan Kotabaru. Masalah Tata ruang yang tumpang tindih Pembalakan ilegal dan legal Penegakan hukum yang lemah Kebijakan mengenai keanekaragaman hayati yang tidak prokonservasi Data base potensi keanekaragaman hayati yang belum lengkap Konversi hutan alam
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:
•Degradasi kemampuan lahan akibat:
- Pembukaan lahan pertanian tanpa memperhatikan lingkungan
- Lahan untuk menanam padi menjadi sangat langka dan pertanian tumpang sari jarang terjadi
- Gejala penurunan kualitas lingkungan akibat pertanian modern
- Produktivitas lahan produksi local Rendah
PESISIR DAN LAUT
Ekosistem ini mengalami tekanan yang saling besar akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan yang melibatkan konversi lahan, sementara itu rehabilitasi yang dilakukan di kawasan ini hingga Repelita VI hanya mencapai 10%.
KEHUTANAN
Strategi
1.Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berdasarkan data biofisik wilayah secara akurat dan melibatkan masyarakat lokal
2.Moratorium logging dan konversi hutan
3.Memberikan penghargaan bagi perusahaan yang berhasil mengelola keanekaragaman hayati
4.Penegakan hukum
5.Menyusun kembali kebijakan pembangunan yang berorientasi kelestarian kehati keanekaragaman hayati dengan melibatkan berbagai pihak
Rencana aksi
a.Merevisi UU 24/92 tentang tata ruang
b.Mendesain ulang kawasan secara hukum
dan definitif di lapangan Pemantapan pelaksanaan implementasi kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari menurut ITTO dan Departemen Kehutanan, transparan, partisipatif dan disosialisasikan
a.Memberlakukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Chain of Custody (COC) atau lacak balak b.Meningkatkan koordinasi pengawasan hutan Melakukan sosialisasi peraturan dan UU KH melalui kampanye, penyuluhan, penguatan kelembagaan dan pengembangan jaringan kontrol social Merevisi kebijakan pemerintah dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Rencana aksi
1.Melakukan inventarisasi jenis tanaman asli dan sistem pertanian yang khas
2.Mempertahankan dan meningkatkan system pertanian yang ada dengan menambah jumlah spesies tanah yang ada untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat petani
3.Memperkuat sistem pemasaran hasil pertanian yang khas
4.Melakukan survei pemasaran
5.Melengkapi fasilitas pemasaran produk
6.Membantu pengemasan produk pertanian yang khas
7.Mengembangkan informasi pasar
8.Memperkuat jaringan kelompok tani
9.Memperkenalkan teknologi pengolahan produk pertanian yang sederhana dan tepat guna
10.Melakukan dokumentasi dan publikasi informasi pertanian berbasis keanekaragaman hayati melalui media yang sesuai
11.Melaksanakan kegiatan belajar bersama tentang pertanian organik
12.Melakukan kampanye dan lobi tentang moratorium konversi hutan menjadi lahan pertanian kepada penentu kebijakan dari masyarakat secara umum
13.Mendata lembaga-lembaga yang mendukung pertanian berkelanjutan dan menukar informasi
14.Meningkatkan kapasitas petani dan kapasitas lembaga untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan
15.Melakukan dokumentasi tentang pengetahuan asli dan lahan adat
16.Melakukan dokumentasi tentang lahan adat untuk legitimasi formal atas hak
17.Melakukan kampanye atas penolakan hak paten mahluk hidup dan pengetahuan aksi
18.Menjaga sumber daya genetis dari pencurian
19.Meningkatkan penelitian atas pemanfaatan sumber daya genetis untuk masyarakat yang bersangkutan
20.Melakukan moratorium pestisida
Strategi
1.Pengembangan dan penguatan sistem pertanian khas Kalimantan (Lembo, simpong, tembawang, talun, pondong, huma, kebun rotan, karet alam)
2.Penyampaian informasi sistem pertanian berbasis pelestarian keanekaragaman hayati
3.Perbaikan/pendekatan produsen langsung kekonsumen
4.Penguatan posisi petani sebagai petani mandiri/merdeka
5.Pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik
6.Moratorium konversi hutan menjadi lahan pertanian
7.Pembangunan dan penguatan jaringan (lembaga) yang mendukung pertanian yang berkelanjutan
8.Pengakuan hak atas lahan adat dan pengetahuan asli
9.Penolakan hak paten atas lahan adat dan
pengetahuan asli
SULAWESI
KEANEKARAGAMAN EKOSISTEM
Hutan
Luas hutan di Sulawesi berada pada urutan keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera. Dari perbandingan data tahun 1993 dengan tahun 2001 tampak bahwa luas hutan konservasi (HSAW), hutan lindung (HL) dan hutan produksi tetap (HP) di Sulawesi mengalami pertambahan luas. Untuk hutan konservasi luasnya 863.145 ha, HL 362.041 ha, serta HP 3417 ha. Pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil Ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil Sulawesi merupakan ekosistem yang mengalami ancaman serius. Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 kurang lebih 4,25 juta hektar atau 26,7% dari luas hutan mangrove dunia seluas 15,9 juta hektar. Dari luas tersebut, hutan mangrove yang ada di Sulawesi, Maluku dan Papua adalah sekitar 37% dari luas hutan mangrove di Indonesia (Dahuri 1997).
Agro-ekosistem
Sektor pertanian dan perkebunan masih merupakan lapangan kerja utama bagi sebagian besar penduduk di Sulawesi.
Ekosistem karst
Lahan karst di Sulawesi dapat dibedakan dalam dua bentuk utama yang khas, yaitu karst dengan bukit kerucut, seperti yang ditemukan di sebelah utara Bone, Buton dan Muna, dan karst Menara seperti bukit-bukit di sekitar Maros dan Pangkep. Dari kawasan-kawasan yang ada, karst Maros Pangkep, dengan luas kawasan 30.000 ha, adalah yang terluas kedua di dunia setelah kawasan yang terdapat di Cina bagian Tenggara.
MASALAH LANGSUNG
Kerusakan ekosistem dan habitat Hutan di Sulawesi masih terus menghadapi tekanan berupa kebakaran hutan, baik yang disengaja atau alami, pemberian konsesi pertambangan jangka panjang kepada perusahaan multinasional di dalam kawasan konservasi di Sulawesi Utara serta di perbatasan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
MASALAH STRUKTURAL
Kebijakan dan implementasi
Pola pemanfaatan hutan yang tidak berkelanjutan di Sulawesi diwarnai oleh mekanisme pengelolaan yang tidak transparan. Ini tercermin dalam bentuk praktik pembalakan ilegal yang marak, legalisasi hasil tebangan liar melalui mekanisme lelang kayu tangkapan, serta jual-beli lahan hutan.
Sosial, ekonomi dan budaya
Nilai-nilai kearifan masyarakat local dalam pengelolaan hutan yang semakin luntur dan hak masyarakat adat yang hilang untuk memanfaatkan ikut memperparah tingkat kerusakan hutan.
STRATEGI OPERASIONAL
Strategi waktu Merujuk kepada pola pentahapan nasional untuk mencapai visi IBSAP. Namun, guna menyikapi kondisi kritis keanekaragaman hayati Sulawesi saat ini upaya untuk mempercepat tahap implementasi rencana aksi regional harus dilakukan dengan memperpendek rentang waktu persiapan dan pra-kondisi dokumen.
Strategi untuk membangun data dasar dan informasi Data dan informasi tentang potensi dan kondisi keanekaragaman hayati Sulawesi yang andal harus tersedia sebagai pendukung utama dalam mengimplementasikan rencana aksi. Strategi desentralisasi Mendorong pelaksanaan desentralisasi yang melibatkan pengelolaan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan, serta menghilangkan konsep penyeragaman dalam konservasi. Upaya konservasi yang spesifik lokasi harus ditumbuh-kembangkan secara simultan. Strategi pembangunan kapasitas Kapasitas stakeholder yang berinteraksi secara langsung dan tidak langsung dengan keanekaragaman hayati Sulawesi perlu dikembangkan sungguh-sungguh agar proses implementasi rencana aksi dapat dipercepat.
Strategi penekanan pola konservasi Penekanan pola konservasi ditujukan untuk kegiatan moratorium dan rehabilitasi hutan, PELA dan PPK, dan agroekosistem di Sulawesi yang telah kritis, dengan berbasis pengetahuan lokal dan kearifan tradisional.
Untuk ekosistem yang kondisinya masih baik perlu upaya konservasi in-situ maupun eks-situ yang perlu terus digiatkan. Strategi pendanaan Melakukan segala upaya yang mungkin untuk mendapatkan komitmen bagi pendanaan kegiatan-kegiatan konservasi, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Selain itu, strategi pendanaan konservasi nasional harus mengacu pada strategi desentralisasi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Rencana Aksi
· Menerapkan tebang pilih untuk HPH
· Menerapkan pola tebang-ganti
· Melakukan pemanenan dengan sistem rotasi di HTI
· Membangun kemitraan untuk memperkuat pengelolaan kawasan hutan melalui pembentukan badan pengelolaan bersama termasuk masyarakat sebagai stakeholder utama (co-management)
· Melakukan inventarisasi lahan-lahan yang tidak produktif Mengatur dan memperbaiki tata guna lahan
· Mengembangkan sistem pertanian di lahan marjinal
· Melakukan reboisasi dan pemulihan habitat
· Mendesak pemerintah untuk tidak memberi ijin perluasan areal konsesi penambangan
NUSA TENGGARA DAN MALUKU
KEANEKARAGAMAN EKOSISTEM
Hutan Hutan tropis mampu mendukung lebih banyak jenis tumbuhan dan binatang dibandingkan dengan ekosistem lainnya di dunia. Dalam satu hektar hutan tropis basah dataran rendah terdapat dua puluh kali lipat jenis pohon yang ada di hutan beriklim sedang di Eropa untuk luas yang sama. Jumlah jenis pohon yang sangat banyak tersebut dapat hidup berdampingan dengan berbagai macam komunitas tumbuhan dan binatang lainnya (Monk dkk. 2000).
Hutan kerangas
Hutan kerangas terdapat di tanah spodosols (tanah podsols). Tanah yang terlapuk berat dan mengandung silika terbentuk pada teras-teras pasir kuarsa, batuan pasir, atau puncak-puncak batu cadas pada setiap kondisi dataran rendah atau pegunungan di mana curah hujan tahunan lebih dari 2000 mm (Whitmore 1984 dalam Monk dkk. 2000).
Hutan basah dataran rendah
Hutan yang selalu hijau adalah yang paling subur dan kaya akan semua komunitas tumbuhan, tumbuh hampir di semua “kondisi pertumbuhan terbaik di lahan kering yang ada dimana pun di dunia” Hutan di atas batuan kapur Batuan kapur merupakan endapan batu lunak, sangat mudah tererosi ketika hujanlebat, sehingga membentuk jurang-jurang yang curam, batuan yang tersingkap, fenomena karst, dan gua-gua, khususnya di daerah-daerah yang selalu basah yang menerima curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun. Kantong-kantong tanah yang lebih dalam dan lebih subur mungkin terakumulasi antara ujung-ujung yang bergerigi dan puncak-puncak, sehingga tumbuh mosaik hutan yang subur dan yang miskin (Monk dkk. 2000).
Savana dan padang rumput
Di dalam wilayah yang sangat kering di NT&M, savana dan padang rumput merupakan formasi vegetasi yang sangat umum. Savana adalah peralihan antara hutan dan padang rumput: padang rumput yang ditumbuhi pohon atau sekelompok pohon yang terpencar-pencar.
Hutan monsun dataran rendah
Musim sangat mempengaruhi hutan monsun. Oleh karena itu, di banyak tempat di NT&M, tipe hutan yang dominan seharusnya hutan monsun. Hutan kering ini sudah menghasilkan banyak tumbuhan yang bernilai ekonomi, untuk hasil kayu atau minyaknya, seperti gelam, Melaleuca cajuputi untuk minyak kayu putih dan pohon kosambi Schleichera oleosa untuk minyak makasar. Namun, hutan ini sekarang merupakan satu dari banyak habitat yang cepat menghilang di NT&M, bahkan di seluruh Indonesia (Monk dkk. 2000). Hutan mangrove Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia (Silvius dkk. 1987 dalam Monk dkk. 2000). Namun data yang tepat tentang mangrove sulit diperoleh, meskipun ada beberapa publikasi yang menyebutkan bahwa luas mangrove di Nusa Tenggara 3678 ha (0,10% mangrove di Indonesia, yaitu 3.806.119 ha) dan di Maluku 100.000 ha (2,6% mangrove di Indonesia) (Wiroatmodjo dan Judi 1978 dalam Monk dkk. 2000).
ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Tumbuhan invasive Seperti telah banyak disebutkan, salah satu kebiasaan penduduk di Nusa Tenggara dalam mengelola lahan adalah dengan membakar lahan. Pada banyak daerah di wilayah ini, sejak tahun 1970-an banyak terlihat satu jenis tumbuhan baru yang umum pada areal bekas perladangan, lahan tidak terurus, dan sekitar Kerusakan terumbu karang Terumbu karang sering mendapat julukan hutan tropis wilayah perairan. Kekayaan ikan dan biota lainnya dalam ekosistem ini memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun aktivitas penangkapan ikan dan karang sering menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan (bom dan sianida) dan menyebabkan kerusakan kondisi terumbu karang di region ini.
Pemanenan rotan
Rotan di Nusa Tenggara hanya terdapat di beberapa tempat. Gaharu, pemanfaatan dan pemulihannya Pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an, gaharu merupakan primadona bagi masyarakat sebagai penghasil uang tunai. Pengusahaan kayu hutan Hingga akhir dasawarsa 1990-an, terdapat dua buah perusahaan kayu besar di NTB, yaitu HPH PT Veneer Product di sekitar G. Tambora dan HPH PT Angka Wijaya di Lombok dan Kabupaten Sumbawa.
Strategi pokok untuk mengatasi masalah-masalah di atas diringkas sebagai berikut:
Kehutanan
a.Mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi dan produksi.
b.Meningkatkan pemahaman peraturan perundangan di bidang kehutanan.
c.Mendorong kerja sama yang lebih erat di antara berbagai pihak yang berkepentingan.
d.Melaksanakan pembagian wewenang yang jelas antara pusat dan daerah untuk menegakkan peraturan di bidang kehutanan.
Pertanian
a.Menghentikan penerapan sistem pertanian lahan kering yang dilakukan dengan pola tebas bakar dan ladang berpindah.
b.Mengoptimalkan pemanfaatan lahan melalui pengadaan bibit lokal serta sertifikasi bibit unggul.
c.Mengembangkan penelitian dan dise minasi informasi tentang pemanfaatan pupuk organik.
Pesisir dan laut
a.Meningkatkan pemahaman berbagai pihak yang berkepentingan tentang potensi sumber daya ini.
b.Mendorong kerja sama berbagai pihak dalam mengelola sumber daya ini.
c.Membentuk jaringan kerja sama untuk memantau proses pengelolaan.
Langkah-langkah aksi Mengidentifikasi titik-titik rawan (penebangan liar, pencurian hasil hutan kayu dan nonkayu, penyerobotan kawasan dan titik-titik kebakaran) Melakukan patroli rutin/ gabungan di titik-titik rawan pencurian Membentuk dan memberdayakan kelompok masyarakat pelestari hutan (KMPH) atau sejenisnya Menata batas yang partisipatif Mengupayakan lokasi-lokasi kegiatan pertanian dan berkebun alternatif dengan translokasi atau sejenisnya guna menekan tingkat penyerobotan lahan/kawasan Membuat sekatan bakar (ilaran api) dan melakukan pendidikan, perlindungan, dan pengamanan hutan
PAPUA
secara biogeografi, Papua terbagi menjadi 4 wilayah utama (Petocz, 1989) yang terdiri 9 subunit biogeografi, yaitu:
1.Tumbuhan berkayu 20.000-30.000
2.Reptilia dan amfibi 330
3.Burung 650
4.Mamalia 164
5.Kupu-kupu 750
Papua
1.Dataran/kaki gunung Timur, terdiri dari Pegunungan Cyclops; Pegunungan FojaGauttier; dan Pegunungan van Rees.
2.Daerah Kepala Burung, terdiri dari Pegunungan Tamrau dan Arfak; dan Tanjung Wondiwoi dan Pegunungan Wandamen.
3.Daerah Selatan, terdiri dari Pegunungan Fak-Fak dan Kumawa; dan
4.Pulau-pulau lepas pantai, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, Misool dan Yapen; serta pulau-pulau di samudera seperti Biak- Supriori dan Numfor
KEANEKARAGAMAN HAYATI
Menurut perencanaan ekoregion yang dipelopori oleh World Wildlife Fund for Nature, yang membagi dunia menjadi sekitar 200 ekoregion utama, di Papua dan Papua Nugini terdapat 15 ekoregion hutan dan perairan. Kelima belas ekoregion ini mencakup Hutan Pegunungan Kepala Burung, Hutan Dataran Rendah Aru-Kepala Burung, Hutan Tropis Biak-Numfor, Hutan Tropis Yapen, Hutan Pegunungan Utara Papua, Hutan Tropis Dataran rendah dan Hutan Rawa-rawa bagian utara Papua, Hutan Rawa-rawa bagian selatan Papua, Hutan Tropis Dataran Rendah Selatan Papua, Savana dan Padang Alang-alang Sungai Fly, Daerah Subalpin-Pegunungan Tengah, Daerah Sungai dan Perairan bagian barat Papua, Daerah Sungai dan Perairan Kepala Burung, dan Daerah Sungai dan Perairan Besar bagian utara Papua (WWF 2001).
1. Pemantapan kawasan suaka
1.Inventarisasi dan identifikasi kawasan suaka
2.Pengkajian kawasan suaka yang telah diusulkan
3.Pemberian kewenangan penetapan kawasan di daerah
4.Penentuan prioritas pengelolaan kawasan suaka
5.Peningkatan pendanaan untuk pengelolaan kawasan suaka
6.Sosialisasi
2. Konservasi spesies endemik/langka di luar kawasan
1.Penelitian terpadu
2.Pengembangan kemitraan
3.Rehabilitasi dan relokasi
3. Pemanfaatan keanekaragaman hayati
1.Peninjauan status perlindungan dan pemanfaatan spesies tertentu
2.Pemanfaatan keanekaragaman hayati (hak atas kekayaan intelektual)
3.Penelitian populasi dan habitat
4.Penelitian kemungkinan budidaya
4. Peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian
1.Pembentukan forum konservasi (di provinsi dan kabupaten)
2.Jaringan data konservasi
3.Penerimaan pegawai (kawasan suaka)
4.Pengadaan kursus kader konservasi termasuk studi banding
5.Peningkatan peran serta pengelolaan kawasan suaka
6.Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan suaka
7.Penerbitan informasi praktis tentang kegiatan pelestarian
5. Peningkatan kegiatan konservasi jenis
1.Penegakan hukum melalui peningkatan sumber daya manusia penegak hukum maupun penyederhanaan aturan-aturan hukum
2.Penelitian untuk merevisi status serta menentukan prioritas spesies yang dilindungi
EKONOMI:
1.Paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu pada sektor
1.Pengalihan strategi pembangunan kehutanan dari sektor kayu ke sektor nonkayu
2.Pengembangan penelitian yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sektor nonkayu
3.Pengembangan program dan teknologi bagi pemanfaatan hasil hutan nonkayu
4.Promosi kepada investor untuk menanamkan modal dan keahli annya dalam sektor nonkayu
2.Penelitian bagi spesies yang mempunyai nilai ekonomi
1.Penelitian bagi spesies yang belum banyak diketahui, tetapi memiliki potensi ekonomi
2.Penelitian spesies untuk keperluan penentuan kuota bagi satwa yang diperdagangkan
3.Penelitian spesies perairan (air tawar dan air laut)
SOSIAL-BUDAYA:
1.Paradigma pembangunan kehutanan bertumpu pada sektor kayu
1.Penggeseran strategi ke hasil hutan nonkayu (HHHK)
2.Pengembangan penelitan terhadap potensi HHHK
3.Pengembangan program dan teknologi HHHK
4.Peningkatan investor untuk HHHK
2.Penghargaan terhadap tanah adat belum proporsional
1.Penelitian tentang hubungan antara masyarakat dengan tanah/lahan, terutama menyangkut perundang-undangan yang ada
2.Pemantapan hubungan yang ada (hasil dari butir 1) melalui peraturan daerah
3.Pemetaan tanah adat secara partisipatif
1.Kebijaksanaan yang masih tumpang tindih, tidak konsisten, serta lemah
1.Penjajakan kemungkinan pembentukan lembaga independen baru yang mengurus konservasi dengan tugas dan wewenang yang jelas
2.Pengembangan dan peningkatan aliansi strategis
3.Penguatan status hukum dan aturan
4.Penetapan aturan dan pertanggunggugatan yang jelas dan sederhana dari setiap lembaga dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
5.Pengembangan dialog interaktif antar berbagai pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar